Memasuki kafe menjadi salah satu kekhawatiran untuk Lena sekarang. Tidak, maksudnya hari ini. Iya, itu karena semalam atasannya yang mendadak meminta dihibur olehnya. Jangankan untuk melakukan permintaan itu, berharap untuk bertemu barang sedetikpun Lena tidak ingin. Keluar dari ruangan pegawai pun, ia mengalihkan pandangannya dari ruangan Jay. Iya, memang terhalang pintu, namun ia tak ingin wajahnya nampak jika saja sang atasan keluar begitu aja.
Beruntung kursi yang digunakan pada bawah meja kasir itu merupakan kursi yang memiliki kaki pendek. Lena sama sekali tak melihat adanya batang hidung Dita, setidaknya bersama temannya itu sedikit membuatnya tenang. Gadis itu menundukkan pandangannya, melihat sesuatu yang bisa ia lihat di atas meja, dibandingkan mengamati keadaan kafe. Barangkali ada yang bisa ia perhatikan dalam waktu yang lama selagi tidak ada orang yang ingin memesan.
"Dita, tolong—"
Lena mendongak, kedua maniknya terbuka lebar melihat Jay yang baru saja terhenti ketika berbicara. Pandangan mereka saling bertubrukan, masing-masing bibir bungkam. Bahkan, untuk menelan salivanya sendiri, Lena sampai kesulitan, hingga dengan gerakan cepat ia berdiri tegak dengan posisi yang sopan. Demi apapun, jantungnya bertalu tak karuan, sebisa mungkin ia tak menunjukkan kegugupannya itu.
"Maaf, pak. Sejak tadi, saya juga belum meli—"
"Tidak, tidak. Aku membutuhkanmu, masuklah ke ruanganku," titahnya yang langsung meninggalkan Lena penuh kegelisahan.
Sejemang mengatupkan kedua matanya, Lena berjalan dengan langkah yang cukup lambat. Andai dia bisa mengulur waktu, pasti sudah ia lakukan. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, menarik nafasnya panjang sebelum membuka kenop pintu di depannya. Tersenyum dengan setengah hati saat berdiri di depan meja kerja Jay. Pandangannya bertemu sekilas, sebelum Lena kembali menundukkan kepalanya.
Ada banyak perasaan yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Ingin berontak, namun tak memiliki kuasa. Hanya hening menyambangi daksanya, menuntut untuk mengikuti perintah sang atasan. Sekilas melihat jari tangan Jay yang mengarahkan untuk dirinya duduk.
"Aku mengunjungi rumah orang tua kekasihku," Jay memberi jeda pada kalimatnya, dan itu membuat keterkejutan pada Lena yang tak menyangka Jay akan langsung bercerita. Pun pandangannya terangkat, menantikan kelanjutan cerita atasannya. "Demi mencarinya ke sana, bahkan aku rela keluar dari kota ini dan menuju desa tempat asal Hana. Sebenarnya, sudah ketiga kalinya dalam satu tahun ini aku mendatangi orang tua Hana, sayangnya yang aku dapatkan sama saja. Mereka mengatakan jika Hana juga belum mengunjungi mereka," sambungnya.
Lena perhatikan dengan lamat, tak ada raut kebahagiaan. Hanya kesengsaraan menguasai pikiran dan tubuh Jay. Bahkan, dari kedua maniknya menatap Lena, laki-laki yang terkesan dingin dan cuek itu nampak menyedihkan. Ia tak bermaksud untuk menganggap rendah atasannya, namun memang apa yang diperlihatkan Jay padanya saat ini bukanlah sikap Jay seperti biasanya. Lena anggap, ini adalah alasan Jay yang kemarin berbuat seenaknya pada Lena, hingga mengambil jam kerjanya—kendati kafe ini adalah milik Jay.
"Aku hanya ingin menemuinya. Sudah lelah aku mencari, dan selalu membuahkan hasil yang sama," katanya lagi dengan tangannya kulit ibu jarinya.
Mungkin karena saat itu Jay pernah menceritakan tentang Hana padanya, kini ia tak tanggung untuk menceritakan kembali penderitaannya guna mencari sang pujaan. Retina Lena tersorot pada laki-laki yang tersenyum sumbang. Pribadinya tengah menggunakan kepalanya untuk berpikir sejenak, mencari akal untuk menghibur atasannya. Iya, Lena sudah memutuskan untuk menghibur Jay.
"Pak," panggilnya disela-sela Jay mengosongkan pikiran. "Ikut dengan saya, mau tidak?" tanyanya dengan nada bicara yang berhati-hati.
"Kemana?" suara berat itu mulai melambung.
"Ikut saja. Saya juga tidak tahu akan kemana,"
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, Lena pun berdiri dengan cepat. Beberapa langkah menuju pintu, ia seketika terhenti dan menyadari jika saat ini masih mengenakan seragam kafe. Menoleh ke kanan sebelum berujar, "Pak, lalu seragam ini bagaimana?" tanyanya kebingungan.
"Kembalilah ke tempatmu, nanti akan aku panggil lagi,"
Memang agak bingung untuk Lena, namun ia hanya perlu mengikuti perintah sang atasan. Tangannya bergerak membuka pintu ruangan ini, memberikan hormat dengan membungkuk sebelum menutup pintu. Gadis itu berjalan menuju kasir, ntar duduk di kursi yang biasanya menjadi tempat persinggahannya. Pribadinya menangkap semua ini biasa dan salat tidak terjadi apapun di antara dirinya dengan Jay.
Selang beberapa menit ia terduduk di sini, seorang laki-laki baru saja keluar dari ruang jangan menatap ke arahnya dan memanggil namanya. Beberapa karyawan di sekitar sana turut melihat ke asal suara. Jay dan Lena ketika menjadi pusat perhatian para pegawai. Jujur saja, Lena agak khawatir dengan keadaan saat ini, namun saat atasannya itu mengatakan jika dirinya akan mengajak Lena karena membutuhkan bantuannya, seketika pandangan mereka semua terlepas dari dua orang itu. Ya, Lena pernah mendengar rumor yang sempat dibicarakan di kafe ini, tentang dirinya yang yang sengaja diangkat menjadi pegawai demi membuat hidupnya semakin susah.
Entahlah, apakah kali ini juga termasuk dalam rumor itu, Lena tidak bisa memahaminya. Melihat pupil Jay yang bergetar, Lena rasa ini bukan tipuan. Lagipula, dia sendiri yang membuatnya secara tak sengaja masuk ke dalam urusan pribadi Jay.
"Gantilah pakaianmu, dan masuk ke mobilku," titah laki-laki itu.
Wah, dari suara beratnya yang terus melayang memberikan perintah pada Lena, bisa dipastikan jika semua pegawai akan berpikir Jay dalam keadaan serius, yang mana para pegawai tak pernah meragukan paras atasannya yang mematikan. Di sebelah Lena, ada Dita yang terkejut mendengar suara itu, sempat menoleh ke arah Lena dan memberikan usapan pada lengan atasnya.
Lena berjalan menuju ruang pegawai guna mengganti pakaian dan membawa beberapa benda pentingnya. Melangkahkan kaki baju mobil sedan hitam yang sudah terdengar suara mesinnya.
"Tak ada yang mencurigaimu, 'kan?" tanya Jay begitu pegawainya memasuki mobil.
Lena menggeleng, tangannya bergerak cara memasang sabuk pengaman yang dililitkan pada tubuhnya. Gadis itu sama sekali tidak memberitahu tujuan mereka pada sang atasan, dan justru menyuruh laki-laki itu untuk mengikuti kemana arah tangannya menujuk jalan. Sekilas mencoba memberanikan diri untuk melirik wajah atasannya, yang ternyata masih memasang raut yang tak mengenakkan. Ditambah, saat beberapa kali Lena telah menunjukkan jalan, Jay mengerutkan alisnya dan menatap Lena penuh tanya.
"Kenapa kau telah menunjukkan jalan ke arah rumahku?" tanya Jay bersamaan dengan berhenti di depan gerbang rumahnya.
Belum dijawab oleh Lena, ia malah turun dan membukakan gerbang besar yang menutupi keindahan rumah milik pemuda ini. Tangannya memberikan isyarat untuk laki-laki itu membawa masuk mobilnya. Pun Lena berjalan mengikuti mobil itu setelah menutup pintu gerbang.
"Hey, kau belum menjawab pertanyaanku,"
"Iya, akan saya jawab," Lena berhenti tepat di depan tubuh jangkung sang atasan, "Karena kita akan menaiki kereta," pungkasnya, membuat pandangan mereka bersirobok.