Terhitung sudah tiga bulan lamanya Lena bekerja di kafe ini, sepasang tangannya juga sudah mulai terbiasa pada hal-hal yang berkaitan dengan kafe—dia juga cukup piawai dalam melayani tamu, lantaran itu adalah hal wajib bagi seorang penjaga kasir.
Selama tiga bulan kebelakang, ia menjalani hari-harinya sebagai mahasiswi dan pegawai kafe. Untuk tempat tinggal, Lena masih berada di kost-an milik tantenya. Memang agak rumit bernego dengan orang yang apa-apa dijadikan sebagai bisnis. Setiap Lena membujuk agar tidak keluar dari kost-an itu, tantenya selalu meminta bayaran yang lebih. Bukan dalam bentuk uang, melainkan permintaan-permintaan yang kadang tidak masuk akal untuk Lena wujudkan. Kendati begitu, ia bersyukur lantaran masih diizinkan untuk tinggal lebih lama.
Saat ini, Lena baru saja beristirahat selepas daksanya berdiri dalam waktu cukup lama demi melayani para pembeli yang nampak antusias dengan promo yang diberikan. Pada dasarnya, setiap bulan kafe milik Jay ini selalu mengadakan promo yang mana itu menarik perhatian pembeli, dan membuat kafenya dapat kembali ramai. Semua itu sudah diperhitungkan dengan matang oleh sang pemilik, sebagai pegawai mereka hanya perlu menjalankannya.
Hari ini gadis itu kembali sendirian, pasalnya ia tadi pagi mendapat berita jika Dita mengundurkan diri dari tempat kerja ini. Entahlah, Lena juga belum mendapat balasan mengenai alasan temannya itu mengundurkan diri. Kini pribadi itu tak memiliki teman dekat di sini. Yah, singkatnya dia harus menjadikan tubuh dan bayangannya sebagai teman berbicara.
Tak ada yang dia lakukan, hanya bernafas seperti biasanya dan memandang kosong pintu kaca yang tertutup rapat. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan birai yang bergerak kecil. Sampai suara lonceng berbunyi menampilkan seseorang yang baru saja membuka pintu. Dia adalah Jay, pemilik sekaligus atasannya, dengan cergas Lena menegakkan tubuh sebelum akhirnya berdiri dengan kedua tangan yang menyatu di depan tubuh. Gadis itu membungkuk sopan pada Jay yang berlalu menuju ruangannya.
Selama ini juga, hubungan antara Lena dan Jay tak pernah sedekat sebelumnya. Semenjak keduanya bertemu Hana, baik Jay dan Lena nampak menjaga jarak tanpa persetujuan keduanya. Pun jika mereka berhadapan, Lena cukup diselimuti rasa canggung. Hal itu disadari oleh Steve, laki-laki itu sempat mengerutkan keningnya melihat kedua orang itu yang nampak berbeda.
"Ada apa dengan kalian ini?"
Steve nampak menyandarkan tubuhnya pada meja kasir, memperhatikan Lena dengan tatapan penuh kebingungan. Gadis itu sama sekali tak mempertemukan pandangan mereka, dan lebih memilih untuk menata ulang meja kasir yang sudah rapi. Sampai akhirnya Steve mengetuk meja itu beberapa kali, hingga Lena mau menatapnya.
"Memangnya ada apa? Aku dan dia baik-baik saja," bantah gadis itu.
Beberapa detik Steve memperhatikan gadis itu dalam diamnya, sebelum akhirnya ia memilih untuk abai bersamaan dengan kedua bahu yang terangkat singkat. Dirinya tersenyum tipis saat melihat Lena yang terus menunduk. Namun tak berlangsung lama ketika ia mendengar suara lonceng pintu yang berbunyi. Detik itu juga saat suara melengking memekakkan telinganya.
Helaan nafasnya keluar begitu saja saat melihat perawakan Rana yang melangkah mendekat ke arahnya serta Lena. Sirine peringatan mulai berbunyi menandakan akan ada serangan dari sepupu milik Lena. Semakin hari, Rana semakin lengket dan membuatnya ingin menghindar darinya. Entahlah, sepupu Lena ini tak ada bedanya dengan ulat bulu. Tapi Steve berusaha untuk lebih tenang untuk menghadapinya, tak enak terhadap Lena yang berada di depannya.
"Steve..!! Bagaimana bisa kau mengabaikanku setelah aku mengakui perasaanku?!"
Lena mencoba abai dan tetap fokus dengan pekerjaannya—walau dia tak melakukan pekerjaan apapun. Membiarkan Steve dan Rana dengan urusan mereka, sedangkan dirinya hanya tertawa kecil mendengar celotehan Rana.
"Kau mengabaikan pesanku juga," kata Rana lagi.
Tak ada kalimat apapun yang Steve keluarkan, laki-laki itu hanya memijat pangkal hidung dengan mata terpejam. Lantas menarik pergelangan tangan Rana menjauh dari Lena menuju luar kafe. Nampak gadis itu melipat kedua tangannya di depan tubuh, memasang wajah cemberut lantaran Steve tak menanggapinya.
Laki-laki itu berkacak pinggang, menatap Rana dengan tatapan yang berbeda. Ada sulut amarah yang ia pendam. Steve sama sekali tak menyukai tingkah Rana yang seperti ini. Padahal, ia sendiri juga sudah mengatakan jika dirinya tak memiliki perasaan apapun pada gadis itu, barang sedikitpun. Sayangnya Rana menutup telinga akan hal itu, dan tetap mendekat padanya.
"Aku mohon, kau jangan bersikap seperti ini. Tingkahmu yang begini justru tak membuatku tertarik padamu," jelas Steve.
Terdapat lengkungan ke atas pada wajah Rana, hati gadis itu terasa seperti ditusuk belati panas. Pun kedua maniknya mulai menampung peluh yang sebentar lagi akan turun jika tak kuat untuk bertahan. Rana seperti ini karena dia ingin Steve melihat sisi lucu dan bahagianya, bukan hanya sikap yang terkesan menjahati Lena—Steve sedikit banyak mengetahui tentang sikap Rana terhadap Lena.
Tak ingin menampik, Rana sangat mengerti jika Steve memang lebih berpihak pada Lena. Dirinya pun juga merasa berterimakasih pada sepupunya, karena Lena bisa mengenalkannya Steve. Namun, Rana juga iri pada keakraban mereka berdua. Rana ingin bisa berada diposisi Lena yang dikelilingi orang-orang yang peduli padanya. Dirinya tak seberuntung itu.
Tepat setelah satu tetes air matanya jatuh, dengan segera tangannya menyeka, meninggalkan Steve tanpa mengucap satu katapun. Hatinya terlanjur sesak mendengar kalimat Steve, seolah laki-laki itu merasa jijik padanya. Kendati Steve memanggil namanya berkali-kali, Rana abai dan terus berjalan menjauhi kafe.
Steve kembali masuk ke dalam kafe dengan penampilan kacau. Dia melewati Lena yang tengah mengelap gelas-gelas kaca, sempat terhenti setelah mendengar kalimat gadis itu.
"Perkataanmu terlalu menyakitkan," ucap Lena.
Ditolehnya Lena dengan wajah yang layu, menatap kedua manik dalam waktu beberapa detik. Walaupun Steve tak memiliki perasaan terhadap Rana, sekalipun pribadi itu berniat untuk menyakiti perasaan seorang perempuan.
"Abaikan saja semua yang kau tau tentang aku dan dia. Dibandingkan dengan ibunya, Rana masih memiliki hati yang tulus," sahut Lena lagi.
"Lalu, aku harus apa?"
"Kau tinggal meminta maaf padanya,"
Steve kebingungan, percuma ia mengejar Rana yang pasti sudah jauh dari kafe ini. Dan bahkan, ia juga tidak tahu apa Rana benar-benar pulang ke rumahnya atau tidak. Lantas Steve mengacak rambutnya kasar, ia berjalan meninggalkan Lena tanpa kalimat. Akan ia pikirkan cara untuk meminta maaf karena ucapan kasarnya.
Lena hanya memperhatikan punggung lebar yang dibalut kemeja berwarna biru muda. Cukup merasa kasihan dengan Steve dan Rana. Rasanya seperti dia menonton sebuah drama. "Aku harap Rana tak melakukan hal-hal aneh ketika di rumah nanti. Bisa-bisa aku yang akan disalahkan lagi," gumamnya.