Ferdi menatap nanar dirinya didepan cermin, tubuhnya sudah dibalut dengan Jas mahal khas seorang pengantin. Terkesan mewah dan sangat cocok ditubuh tampannya, tapi sayang penampilan perfek itu tak didukung dengan senyuman menawan pria itu yang telah hilang entah sejak kapan.
Bagaimana mungkin ia tersenyum, sedangkan hatinya hancur. Hancur karena kehendak orang tua yang begitu egois, karena harta dan tahta semua orang seakan lupa jika semua manusia itu dilahirkan sama.
Beberapa menit lagi ia akan mengucapkan ijab kabul untuk seorang wanita yang tidak dicintainya, dan setelah pernikahan ini sah, Ferdi yakin ia tak akan bahagia seperti dulu lagi.
"Aduh... Gantengnya anak tante. Kamu benar-benar cocok dengan bela. Yang satu cantik yang satu ganteng ... Pasangan yang serasi." Wanita paruh baya itu adik dari ibunya, wanita itu terus saja memuji Ferdi meskipun tak direspons sedikit pun.
"Ya jelas dong. Kan aku yang pilih calon mantu, pasti lah cocok." Dengan bangga Sarah memuji pilihannya.
Mila terdiam mendengar penuturan sang kakak, ia mengernyit tak mengerti. Kenapa kakaknya malah bilang seperti itu, terkesan ia yang merencanakan semua ini.
"Kok malah kakak yang cari sih, bukannya Ferdi sendiri?" tanya Mila, ia menunggu jawaban dari kakaknya yang main asyik tertawa.
Farah terhenti tertawa, mendengar pertanyaan adiknya membuat wanita itu tersenyum licik. Teman-teman sosialita Farah ikut menyimak obrolan mereka, tak ada yang menyela, mereka malah menikmati saja, toh itu bukan urusan mereka.
"Kamu itu ya, Mila. Calon mantu itu ya kita yang cari, kalau disuruh anak kita pasti mencari yang enggak benar. Mereka itu hanya tahu tentang cinta, tapi kita yang lebih tua tentu tahu orang yang pantas menjadi bagian dalam keluarga kita." Perkataan itu mungkin sederhana, tapi mampu membuat ibu-ibu disana bungkam.
Mila yang merasa ada keanehan, melihat keponakannya dengan iba. Sekarang ia tahu kenapa wajah Ferdi terlihat begitu murung, terlihat tak bersemangat sedikit pun, padahal ini hari penting anaknya itu, bukankah seharusnya ia penuh canda dan tawa?
"Aku rasa kakak salah. Menikah itu perkara bersama seumur hidup, jika didasari dengan paksaan pasti tidak akan menjadi berkah." Mila mencoba membantah.
Farah merasa tak senanang dengan Jawaban adiknya, wanita paruh baya itu tersenyum sinis. Farah itu tak suka perkataannya dibantah apalagi didepan teman-teman nya, ia akan merasa rendah diri jika ada yang berani membantah ucapannya.
"Tahu apa kamu tentang cinta, dek? Kamu kan belum punya anak yang mau menikah, besok-besok kamu juga pasti akan menyesal berbicara seperti itu."
Mila tahu sifat keras kepala kakaknya, karena itu ia tak ingin melanjutkan pertengkaran itu. Banyak para tamu di luar, dan juga teman-teman kakaknya sini. Ia tak ingin mengacaukan acara bahagia ponakannya, Jadi ia memilih untuk mengalah.
Mila mengusap lengan Ferdi, seolah memberi semangat pada anak muda itu.
"Tante gak tau apa yang terjadi, tapi tante hanya berdoa kamu selalu bahagia. Kamu harus semangat!"
Ferdi menoleh saat tantenya memberi semangat, tapi baginya tak berguna lagi, karena kehidupan ia selama ini sudah diatur sedemikian rupa oleh bunda dan ayahnya, lalu bagaimana cara dia bahagia?
Tapi tak masalah, setelah ini ia kan berusaha mendapatkan gadisnya lagi!
Bukankah memiliki lebih dari satu istri diperbolehkan dalam Islam?
Mengingat itu Ferdi mulai tersenyum licik. Cukup ia menikah saja dengan bela, setelah itu ia tak akan memedulikan wanita manja itu.
******
Intan melihat pantulan dirinya didepancermin, ia tersenyum kecut melihat dirinya yang terlihat begitu cantik. Hanya untuk membuat mantan menyesal ia sampai berdandan begitu parah, padahal selama ini ia tipe gadis yang malas berdandan, ia lebih suka terlihat apa adanya.
"Wah, adik abang cantik banget hari ini," goda Bima yang dibalas rona merah di pipi adik gadisnya itu.
"Abang apaan sih," jawab Intan malu.
"Loh, abang bicara jujur loh. Kalau gak percaya tanya saja sama bunda."
Intan tahu hari ini dirinya memang berdandan se maksimal mungkin, tentu saja hasilnya tak mengecewakan. Hampir satu jam dirinya berias diri, dan alhamdulillah tak mengecewakan hasilnya.
"Enggak mau ah, nanti di ejek bunda."
Mayang yang berada diambang pintu, tersenyum bahagia melihat putrinya bisa tersenyum lagi. Dia tahu tentang kandasnya hubungan Intan dan Ferdi, ia juga tahu hari ini adalah hari pernikahan pria penghianat itu. Semua itu Bima yang memberi tahu, dan anak sulungnya itu berkata untuk tak banyak bertanya dulu dengan intan, mereka takut membuat intan semakin tertekan.
"Kakak kamu benar kok, anak bunda memang sangat cantik. Dan hari ini kecantikannya bertambah berkali-kali lipat!" ucap mayang menyahut.
Intan yang tak tahu keberadaan ibunya itu, dibuat terkejut. Ia menoleh cepat, dan benar saja bundanya mulai melangkah mendekatinya.
"loh, bunda dari kapan disana?"
"Dari kalian mulai ngobrol, bunda sudah dengar semuanya."
Intan mendelik kesal pada abangnya, sepertinya mereka berdua sama-sama datang, dirinya saja yang tak tahu tadi bundanya juga ada melihat ia dan Bima berdebat.
"Jadi bagaikan? Sudah siap perginya?"
Bima merangkul adiknya, untuk memberi semangat. Begitu juga dengan mayang, ia tersenyum lembut pada anak gadisnya itu.
"Pergilah cantik, bunda akan menunggu ceritamu saat kembali nanti," ucap bunda mayang.
Intan mengangguk, setelah berpamitan ia langsung keluar dari kamar.
Taksi yang dipesan Bima sudah sampai, Intan langsung disuruh langsung berangkat. Ia tak sabar ingin melihat drama apa yang terjadi setelah ini. Di dalam taksi intan tertawa kecut melihat dirinya yang begitu menyedihkan, berakhir menjadi tamu undangan adalah sebuah penghinaan yang sangat menyedihkan bagi Intan.
Jika nanti ada kesempatan ingin sekali rasanya ia membalaskan rasa sakit hati ini, agar pria itu tahu bagaimana rasa sakit ditinggalkan.
******