Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas malam. Mata Sherin masih belum bisa terpejam memikirkan cincin pernikahan yang sejak tadi memenuhi pikirannya.
"Itu harganya mahal sekali. Dia sudah membeli gaun pengantin. Sekarang dia harus mengeluarkan banyak uang juga untuk cincin pengantin. Pasti bukan hal yang mudah untuknya. Apa yang harus aku lakukan?" Sherin dilanda kebingungan. Ingin bertanya langsung, namun dia takut akan menyinggung perasaan Edzhar.
"Kenapa aku jadi memikirkan perasaannya? Dia tersinggung atau tidak kan bukan urusanku." Sherin bergumam sendiri. Semakin menyangkal, suasana hati wanita itu lebih buruk. Dia pun bangun dan bersandar di headboard. Tangannya menarik laci nakas dan mengeluarkan kotak cincin dari sana.
"Apa yang sedang dia pikirkan?" tidak ingin terganggu dengan semua asumsi yang merasuki, Sherin pun mengambil potret kotak cincin beserta isinya, kemudian mengirimkannya pada Edzhar. Padahal, mereka tinggal di dalam satu rumah. Ya. semenjak berencana menikah, Lynch meminta Sherin untuk tinggal di rumah. Kondominium pun dibiarkan kosong olehnya.
Tidak ada jawaban dari Edzhar karena memang laki-laki itu sedang menggosok gigi di kamar mandi. Sherin merasa diabaikan. Hal itu membuatnya kesal. Sherin turun dari ranjang dan memakai sendal rumah. Kakinya pun melangkah ke luar kamar menuju lantai satu. Kebetulan Edzhar memang menempati satu ruangan untuk tidur.
Tidak sabar membuat Sherin mengetuk pintu dengan keras. Edzhar sedang mencuci wajahnya dengan sabun. Tentu saja dia belum keluar sebelum membasuhnya dengan air. Hal itu semakin menyebabkan Sherin kesal.
"Kenapa lama sekali? ini baru jam sebelas. Dia tidak terbiasa tidur secepat ini," gumam Sherin sambil terus mengetuk pintu.
Edzhar keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu sudah memakai piyama karena memang siap untuk mengistirahatkan tubuh di ranjangnya yang empuk.
"Kenapa berisik sekali?" tanya Ed ketika sudah membuka pintu untuk Sherin.
"Kamu yang membuatku kesal. Aku sudah lama di sini. Kenapa baru membuka pintu? Aku kirim pesan tidak langsung dibalas. Kamu sudah tahu kalau aku sangat benci menunggu."
"Aku sedang menggosok gigi. Apa aku harus membawa ponsel ke kamar mandi juga? Lagi pula ada urusan apa kamu datang ke kamar? Aku sudah mengantuk. Lebih baik besok saja jika ingin membicarakan pernikahan," ucap Ed hendak menutup pintu. Hal seperti itu sudah sering terjadi di antara mereka. Bersikap seperti orang asing padahal tinggal di rumah yang sama.
"Jangan mengabaikanku!" Sherin menerobos masuk.
"She, apa kamu mau tidur di sini? jangan membuat masalah!" kekesalan Ed mulai terpancing.
"Siapa yang ingin membuat masalah? Aku ke sini karena ingin bertanya. Kenapa kamu memilih cincin seharga lima ratus juta?"
"Oh itu. Aku tahu kamu menyukainya. Lagi pula menikah hanya sekali saja. Aku tidak ingin kamu menyesalinya."
"Ha?" sungguh jawaban yang tidak diduga oleh Sherin. Sejenak mereka saling diam. Kemudian Sherin bertanya setelah mengumpulkan keberanian. Entah kenapa wanita itu tidak mau Edzhar tersinggung. Padahal, mulutnya selalu mengatakan benci kepada laki-laki itu.
"Tetapi itu mahal sekali, Ed." Suara Sherin terdengar lirih.
"Tidak masalah. Sejak empat tahun yang lalu aku memang sudah menabung untuk biaya pernikahanku. Jadi, itu dibayar lunas. Tidak dicicil. Jangan khawatir jika itu akan mengurangi jatah belanja bulanan kita."
"What?" Sherin terkejut mendengar kata jatah bulanan kita. Pernikahan dadakan mereka seperti mimpi buruk, namun kata jatah belanja bulanan membangunkan Sherin hingga menyadari kenyataan.
"Lebih baik kamu kembali ke kamar dan tidur. Kita belum pantas tidur di kamar yang sama." Lagi-lagi kalimat yang terlontar dari mulut Edzhar menyebalkan untuk Sherin.
***
Di kamar, Sherin masih melihat langit-langit kamarnya. Bukan tidur, perkataan Edzhar semakin membuat matanya terbuka lebar. "Jadi, dia sudah menyiapkan dana untuk pernikahan. Apa selama ini dia sudah memiliki kekasih tanpa sepengetahuan kami? bisa saja. Dia kuliah di luar negeri. Mungkin Ed bertemu seseorang di sana dan berjanji akan menikahi perempuan itu. Apa aku sudah tergolong sebagai perebut kekasih orang lain? Apa aku terlalu jahat?" Berbagai pertanyaan semakin membebani Sherin. "Sebaiknya aku diam saja. Ini bukan salahku."
***
Pagi ini Edzhar sudah berpakaian rapi. Ditemani ayah asuhnya, dia duduk di kursi-meja makan.
"Di mana Sherin?" tanya Lynch. Anak perempuannya harus bangun. Lynch ingin memperkenalkan Sherin kepada semua karyawan kantor.
"Akan aku panggilkan Sherin, Pa," ucap Ed beranjak berdiri.
Sherin yang baru tertidur jam empat pagi masih terlelap seperti orang pingsan. Suara ketukan pintu pun tidak mampu membangunkannya.
Edzhar mendorong gagang pintu. Ternyata tidak dikunci. Dan itu satu kebetulan karena Sherin selalu mengunci diri di kamar jika sudah malam.
"Ternyata dia masih tidur," gumam Edzhar. Dia pun duduk di tepi ranjang. Mengusap lengan calon istrinya sambil bersuara.
"She, bangun! Ini sudah jam delapan. Cepat bangun!"
"Urgh!" Sherin menggeliat dan membuka mata sebentar. "Aku masih ngantuk, Ed. Bangunkan aku nanti saja." Sherin memejamkan mata. Tangannya pun menarik selimut hingga menutupi kepala.
"She, Papa mau memperkenalkan kamu sebagai CEO baru. Semakin cepat kamu memimpin perusahaan, aku bisa membantumu membuka galeri lukisan," bujuk Edzhar. Tetapi, perkataannya bagaikan cerita seorang ibu yang ingin menidurkan anak. Sherin semakin terpejam.
"She…" Ed tidak menyerah untuk membangunkan. Wanita itu pun menyingkap selimut dan menatapnya tajam.
"Aku kan sudah bilang masih mengantuk. Kenapa masih dipaksa? Apa kamu tidak tahu kalau aku telat tidur karena ulahmu? Menyebalkan sekali!" Ingin rasanya Edzhar menyobek mulut Sherin. Tetapi, berdebat dengan wanita itu hanya akan membuat mereka terlambat ke kantor.
"Aku dan Papa menunggumu di luar. Lebih baik mandi agar kita segera berangkat." Ed tidak mau memperpanjang lagi. Dia meninggalkan Sherin yang mengepalkan tangan dan memukul ranjang.
***
Di meja makan, Sherin bersama dua pria berbeda usia sedang mengisi perut sebagai persiapan sumber tenaga.
"She, apa kamu tidak tidur?" tanya Lynch. Perhatiannya tersita pada kantung mata Sherin yang menghitam.
"Tidur Pa. Tetapi jam empat pagi," sahut Sherin cuek.
"Jam empat pagi? Kamu melakukan apa sampai bergadang seperti itu?" tanya Lynch. Sementara Edzhar hanya menelinga. Dia akan berkomentar ketika mereka berdua saja.
"Papa tahu sendiri kalau selama ini pola hidupku seperti kelelawar. Aku bisa pulang dari club jam tiga pagi. Sangat sulit untuk mengajak mataku tidur. Biasanya aku masih tidur. Demi Papa, aku rela bangun pagi hanya untuk berangkat ke kantor."
"Beruntung Edzhar mau menikahi perempuan sepertimu. Mulai hari ini, Papa melarangmu ke tempat itu. Club hanya membuat kamu salah jalan. Kesehatanmu juga bisa terganggu karena terus minum alkohol dan bergadang." Sherin memutar bola matanya jengah. Selalu saja Lynch menjadikan Edzhar sebagai contoh.
"Ya…ya… ya… anak asuh Papa ini memang yang terbaik. Sementara aku hanya anak kandung yang selalu menyusahkan." Sherin sudah malas menghabiskan sarapan, namun tidak memiliki alasan untuk pergi. Pagi ini dia akan berangkat bersama Papa dan calon suaminya."
"Menyebalkan sekali," gerutu Sherin dalam hati.