"Edzhar!" pekik Sherin tidak percaya.
"Aku melihat beberapa panggilan dari kamu. Maaf karena ponselku baru diaktifkan," sahut Edzhar dari tempatnya yang tak terlihat oleh Sherin.
"Di mana kamu sekarang?" panik Sherin seketika berubah menjadi marah.
"Aku baru saja di sampai di bandara Bali. Aku baru keluar hendak memanggil taxi."
"Jangan ke mana-mana!" titah Sherin. Hatinya bergemuruh. Detik itu juga dia ingin mencabik-cabik tubuh Edzhar. Laki-laki itu sudah memporak porandakan hatinya.
Dengan langkah cepat Sherin menuju parkiran. Kedua matanya menjelajah mencari sosok pria yang telah membuat takut dan menyalahkan diri sendiri.
"Itu Tuan Ed, Nona." Pria di sampingnya bersuara sambil menunjuk seorang pria berpakaian kaos putih polos sedang memegang koper. Laki-laki itu juga celingak celinguk mencari seseorang.
Sherin menghampiri Edzhar dan mendorong tubuh laki-laki itu. Mendapat serangan tiba-tiba membuat Edzhar jatuh ke belakang. Mengabaikan semua mata yang melihat mereka, Sherin mendekati Edzhar yang berusaha bangun.
"Kamu gila, Ed!" bentak Sherin. Edzhar belum mengetahui tentang kecelakaan karena dia sedang ada di pesawat.
"Hei," ucap Edzhar lembut. Dia melihat gejolak emosi di wajah Sherin. Kedua tangannya langsung meraih tengkuk calon istrinya. "Ada apa?" tanyanya. Tatapan Ed menelusuri manik mata Sherin.
"Aku benci sama kamu, Ed." Sherin berucap sambil memeluk tubuh Edzhar.
Edzhar membiarkan Sherin meluapkan semua emosi dalam pelukannya. Selama di bandara, berita tentang kecelakaan memang tertutupi. Tidak ingin menimbulkan huru hara yang membuat semua penumpang yang hendak pergi ketakutan. Itu sebabnya Ed tidak tahu apa-apa.
"Sudah tenang?" tanya Ed setelah isak tangis calon istrinya berhenti. Dia melonggarkan pelukan dan melihat wajah Sherin yang basah karena air mata. "Aku menyalakan ponselku. Banyak sekali panggilan dan pesan yang masuk. Aku memutuskan untuk menghubungi kamu dulu. Maaf kalau aku nggak memberi kabar. Tadi aku ketinggalan pesawat. Itu sebabnya aku membeli tiket yang baru." Ed menjelaskan sembari menyeka air mata Sherin. Hatinya senang karena wanita tersebut mencemaskannya.
"Papa masuk rumah sakit. Lebih baik kita ke sana sekarang. Aku akan menceritakan semuanya di mobil."
Sepanjang perjalanan Sherin terus melihat wajah Edzhar. Dia benar-benar tidak menyangka. Entah perasaan dari mana. Yang pasti, Sherin takut jika calon suaminya itu meninggal.
"Syukurlah Tuan ketinggalan pesawat. Kami semua panik karena bawahan Tuan di kantor memberi informasi jika Anda adalah salah satu penumpang di pesawat yang kecelakaan." Pegawai hotel yang sedang mengemudi bersuara.
Edzhar melihat wanita yang sejak tadi memerhatikan dirinya. "Aku minta maaf. Seharusnya aku segera memberi kabar kalau ganti pesawat." Tidak ada jawaban dari Sherin. Wanita itu masih belum bisa menata hatinya yang seolah-olah diputar balik.
***
Edzhar menyematkan jemarinya di tangan Sherin yang dingin. Dia memaklumi kondisi calon istrinya. Mereka pun melangkah menuju sebuah ruangan.
"Kondisi Tuan Lynch sudah stabil. Dokter bilang jantungnya kambuh karena terlalu terkejut." Asisten Lynch memberitahu sesuai yang disampaikan oleh dokter.
"Papa punya penyakit jantung?" Malam ini jantung Sherin seperti dipermainkan. Banyak hal yang membuat pikiran dan hatinya sulit untuk menerima semua keadaan. Tinggal lima tahun di kondominium membuat wanita itu melewatkan banyak hal.
"Papa memintaku untuk menyembunyikan ini semua dari kamu. Dua tahun lalu Papa didiagnosa mengalami penyakit jantung. Itu juga yang mendesak Papa untuk memaksa kamu menjadi CEO. Dia ingin kamu memimpin perusahaan." Edzhar menjelaskan. Sebenarnya dia tidak ingin menceritakan semua ini di saat kondisi Sherin lagi shock. Tetapi, apa mau dikata. Semua sudah harus terjadi.
"Sebaiknya Nona dan Tuan pulang saja. Dokter mengatakan kondisi Tuan Lynch sudah stabil. Sepertinya Nona Sherin juga butuh istirahat," saran dari asisten Lynch.
"Aku nggak mau pulang! Papa pasti membutuhkanku." Sherin membantah. Putri macam apa dia yang tidak tahu tentang kesehatan ayahnya sendiri.
"She, apa yang dia bilang benar. Kamu juga butuh istirahat. Besok kita ke sini lagi. Aku nggak mau kamu juga ikut sakit." Edzhar juga ikut memberi saran. Wajah pucat Sherin tidak memungkinkan untuk menjaga Lynch.
***
Sherin dan Edzhar masuk ke hotel. Semua mata melihat mereka, namun tidak ada yang berani bertanya. Tentu saja kabar kecelakaan pesawat membuat gempar. Berita tentang Edzhar salah satu penumpang langsung tersebar karena hotel tersebut adalah milik Lynch. Semua juga tahu jika Edzhar adalah calon menantu dari sang pemilik tempat mereka bekerja.
"Bisakah aku tidur di kamarmu," ucap Sherin lirih saat Edzhar mengantarnya ke depan pintu kamar yang digunakan Sherin. Ruangan yang mereka pakai adalah presidential suite yang menyediakan lebih dari dua kamar.
"Baiklah. Kamu boleh ikut ke kamarku. Apa kamu nggak mau ganti baju dulu?" Ed melihat penampilan Sherin. Wanita itu hanya memakai celana pendek dan kaos oblong saja. Memang tidak ada niat untuk bepergian.
"Aku pakai ini saja. Aku sangat lelah." Wajah Sherin membenarkan ucapannya. Edzhar pun tidak berkata apa-apa lagi. Dia membawa calon istrinya ke kamar yang sama dengannya. Untuk kedua kali mereka akan berbagi ranjang.
"Kamu istirahat dulu saja. Aku harus mandi. Terlalu lama di bandara membuat badanku lengket," ucap Ed setelah menarik selimut sampai menutupi dada Sherin.
"Hmmm," deham Sherin sebagai jawaban.
Edzhar mengambil pakaian dari dalam kopernya. Keberadaan Sherin membuat dia harus memakai busana di dalam kamar mandi. Tidak butuh waktu lama, pria itu sudah wangi. Dia tidak teg ajika harus meninggalkan Sherin sendirian.
"Belum tidur?" tanya Ed sembari menggosok rambut basahnya dengan handuk. Dia melihat kedua mata Sherin masih menatap langit-langit kamar.
"Aku nggak bisa tidur, Ed. Rasanya banyak beban yang aku pikul, tetapi pikiranku kosong." Sherin menjawab tanpa menoleh. Tatapan hambarnya masih melihat ke atas.
Edzhar melempar handuk di tangannya ke keranjang pakaian kotor. Laki-laki itu pun merangkak naik menyusul Sherin.
"Kemarilah!" titah Edzhar. Laki-laki itu bersandar di headboard. Meminta Sherin untuk menyandarkan kepala di dadanya. Sherin memang membutuhkan sandaran saat ini. Suasana hati wanita tersebut benar-benar kacau. Dia pun mendekat dan memeluk tubuh Edzhar.
"Semua kejadian hari ini pasti membuatmu terkejut. Papa hanya nggak mau membuat kamu khawatir. Sudah berulang kali aku minta izin padanya untuk memberitahu kamu soal penyakit jantung itu. Tapi Papa selalu marah setiap kali aku mengatakannya. Papa hanya nggak mau kamu bersedih. Sejak kecil kamu sudah mengalami banyak kesedihan. Papa nggak mau menambahnya lagi."
"Apa Papa nggak pernah menganggabku anak?" tanya Sherin sambil menahan tangis agar tidak tumpah di dada Edzhar.
"Jangan pernah berkata seperti itu. Papa sudah menyadari kesalahannya. Semenjak Mama kamu meninggal, Papa menyibukkan diri agar bisa bebas dari rasa sedih. Ditambah dengan kepergian kakak kamu. Papa semakin terpukul. Dia ingin menebus rasa bersalahnya dengan cara ingin memperbaiki hubungan denganmu. Tetapi semuanya sudah terlambat. Kamu sudah terlalu lama diabaikan." Ed berbicara sambil mengusap kepala Sherin. Dia hanya ingin memberi kenyamanan kepada wanita yang sebentar lagi akan berubah status menjadi istrinya.
"Apa aku sudah seorang anak yang jahat?" Pertanyaan Sherin menusuk hati Edzhar. Selama ini dia merasa sebagai penghalang di antara Lynch dan Sherin.
Dorongan yang kuat dari hati membuat Edzhar mendaratkan kecupan di puncak kepala Sherin. "Kamu nggak salah apa-apa, She. Papa nggak akan suka mendengarnya," hibur Edzhar.