TAKUT JATUH CINTA

Sherin terkesiap melihat dua wanita yang sedang heboh bermain balon di atas balkon. Mereka adalah Abira dan Joan.

"Kalian ada di sini?" tanya Sherin. Dia mendekat dan berhambur memeluk kedua temannya. "Calon suamimu meminta kami datang. Dia ingin menyiapkan pesta lajang untukmu," terang Aira membuat Sherin melihat kepada Ed yang berdiri di posisi semula.

"Aku sudah merelakan Edzhar untukmu. Dia begitu manis. Aku menyesal tidak mendekatinya sejak awal," bisik Joan membuat Sherin mencubit pinggangnya.

"Awas kalau kamu masih mendekati calon suamiku! Aku akan memakanmu hidup-hidup!" ancam Sherin membuat Joan tergelak.

"Aku rasa kalian sudah saling mencintai," balas Joan berbisik. Dia tidak ingin Edzhar mendengarnya. Joan tidak sungguh-sungguh mencintai Edzhar. Dia hanya penasaran apakah laki-laki itu kuat bermain di ranjang atau tidak.

"Jangan membahas itu sekarang! Aku masih sebal sama dia," sahut Sherin. Matanya melihat Edzhar yang menata beberapa piguran di atas meja. Tidak ada foto mereka sedang berdua. Itu sebabnya Joan dan Aira mengedit agar terlihat sedang bersamaan.

"Boleh minum alkohol, tapi jangan banyak! Aku nggak mau kamu mabuk dan acara besok menjadi kacau karena kamu terlambat bangun." Edzhar memberi perintah kepada Sherin. Calon istrinya itu pun menganggukkan kepala.

Tidak ada yang terlalu menonjol di acara pesta lajang tersebut. Edzhar hanya berharap jika ini adalah pengalaman manis untuk mengakhiri masa lajang Sherin. Dia sendiri tidak mempunyai teman dekat. Itu sebabnya hanya mengundang Aira dan Joan saja.

"Kalian berdua harus memakai ini," ujar Aira. Dia sudah menyiapkan hanbok pakaian khas Korea Selatan.

"Aku harus memakai ini?" pertanyaan Ed terdengar memrotes. Dia memang meminta kedua wanita itu menyiapkan pesta lajang. Tetapi bukan berarti mereka harus mengenakan busana yang rumit.

"Selama tinggal di kondominium, Sherin selalu ditemani oleh oppa-oppa Korea. Jika dia nggak bisa menikahi salah satu dari mereka, setidaknya kamu membuat malam ini berkesan untuknya." Joan membalas pertanyaan Ed. Pria itu pun hanya bisa pasrah. Ide ini berawal darinya. Tidak ada alasan untuk menolak apa pun yang akan dilakukan tiga wanita tersebut.

"Tolong fotoin kami berdua!" Sherin memberikan ponselnya usai mengenakan pakaian. Kapan lagi dia melihat Edzhar memakai pakaian seperti itu.

"Baiklah. Kalau dipikir-pikir, ini adalah foto pertama kalian. Aku dan Aira harus mengerahkan segenap kemampuan untuk mengedit foto kalian berdua. Perbanyaklah gambar berdua agar kami nggak repot lagi." Sekilas Sherin melihat foto-foto yang bergantungan dan ditata di atas meja. Semua hasil editan.

***

Sherin dan Edzhar kembali ke hotel. Mereka membiarkan Aira dan Joan menginap di villa. "Ed," panggil Sherin. Ada hal yang ingin dia tanyakan sejak tadi.

"Hmmm."

"Itu villa siapa? Apa kamu membelinya?" tanya Sherin hati-hati. Uang Edzhar tidak mungkin sebanyak itu untuk membeli sebuah villa mewah.

"Itu hadiah dari Papa untuk pernikahan kita. Kenapa? apa kamu nggak menyukainya?" Ed melihat Sherin yang duduk berjarak dengannya.

"Aku sangat suka. Tempatnya asri. Jika boleh, aku ingin ke sana lagi."

"Boleh kok. Apa kamu mau menginap di sana selama beberapa hari? Sebenarnya aku sudah cuti selama seminggu. Akan ada banyak pertanyaan kalau kita langsung pulang ke Jakarta."

Lagi-lagi Sherin reflek menyilangkan tangan di dada. Dia belum siap jika harus melakukan hubungan intim dengan Edzhar.

"Kenapa sejak tadi kamu menutupi dadamu?" Ed memerhatikan bahu telanjang Sherin. Sepertinya dia salah memilih busana. Pria itu pun melepas blazer dan menutupi punggung dan bahu Sherin. "Pakai ini! Cuaca dingin."

Sherin membiarkan Edzhar menyelimuti tubuhnya dengan blazer. Sementara kedua tangan masih menyilang di dada.

"Aku nggak akan berbuat aneh-aneh. Turunkan tanganmu!" titah Edzhar. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh calon istrinya.

"Selama menginap di villa, kamu nggak akan mengambil kesempatan, kan?" Sherin berjaga-jaga. Dia ingin calon suaminya berjanji terlebih dahulu.

"Iya. Aku nggak akan menyentuhmu. Kita akan pisah kamar."

"Baiklah. Aku mau menginap di sana bersama kamu."

Sherin dan Edzhar tiba di presidential suite room. Sebelum masuk ke kamar masing-masing, kedua insan tersebut memeriksa kondisi Lynch di kamar. Pernikahan yang akan mereka lakukan hanya untuk menyenangkan pria tersebut. Sherin mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dia melihat wajah Lynch dengan seksama. Kerutan sudah mulai terlihat di wajah, uban pun mulai bertumbuh di kepala.

"Maafkan aku, Pa. Mulai hari ini, aku janji akan menuruti semua kemauan Papa." Sherin mendekatkan bibir di kening Lynch, dan meninggalkan kecupan di sana.

"Sudah malam, She. Sebaiknya kamu tidur. Besok kita harus bangun pagi," ucap Ed mengingatkan. Wanita itu menurut dan mereka keluar dari sana.

Sherin ingin masuk kamar, namun tangan yang sudah memegang gagang pintu di tahan oleh Edzhar. Sekian detik mereka bertukar pandang. Saling meneliti wajah calon pasangan.

"Kamu bahagia?" tanya Edzhar. Telapak tangannya menyentuh pipi Sherin.

"Sangat bahagia walaupun masih jengkel karena satu hari ini aku mencarimu. Aku takut mempelai pria kabur sebelum acara pernikahan."

Tak disangka, Edzhar menarik tubuh Sherin dan membenamkannya dalam pelukan. "Maafkan aku. Aku pergi tanpa memberitahumu. Aku hanya ingin menyiapkan kejutan. Aku nggak tahu kalau kamu akan sepanik itu."

"Jangan diulangi lagi! aku benar-benar akan sangat marah. Aku takut sekali." Entah apa yang dikhawatirkan oleh Sherin, Edzhar pun tidak tahu. Ingin bertanya, namun malam ini bukan saat yang tepat. Calon istrinya tersebut butuh istirahat. Besok pagi harus bangun untuk berdandan.

***

Sherin membaringkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar, namun fokusnya bukan ke sana. Pikiran Sherin dipenuhi oleh wajah Edzhar. Laki-laki itu berhasil membuat hati dan pikirannya kacau.

"Aku nggak mungkin jatuh cinta pada Ed. Dia yang sudah membuat hidupku menderita selama ini. Aku memang menerima pernikahan ini. Tapi aku belum bisa mencintainya." Sherin berpikir keras. Dia pun membuka ponselnya. Beberapa gambar yang dipotret oleh Joan tertera di sana.

"Ma, Kak, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah pernikahan tanpa cinta bisa bertahan? Begitu banyak perceraian di luar sana. Apalagi kami? aku dan Ed nggak saling mencintai. Kami menikah hanya karena kesalahan satu malam. Kami berdua nggak ingin menyakiti Papa. Hanya Papa saja yang kami punya sekarang." Tak terasa air mata menetes dari pelupuk mata Sherin. Dia tidak ingin bercerai. Tetapi membayangkan jatuh cinta pada Ed membuatnya takut.

***

Edzhar sudah membersihkan diri. Dia naik ke atas ranjang dan duduk bersandar di headboard. Tangannya meraih ponsel yang sengaja dia letakkan di atas nakas. Jemarinya membuka galeri penyimpanan foto. Ed melihat beberapa foto kebersamaannya bersama dengan seorang wanita.

"Maafkan aku. Mulai hari ini aku akan melupakan kamu. Maaf karena tidak memberimu kabar." Edzhar terlihat berpikir, lalu kemudian dia menghapus secara permanen semua gambar tersebut. Dia pun mengubah wallpaper ponselnya dengan foto Sherin. Mulai hari ini dia akan belajar menerima kenyataan. Sherin adalah wanita yang akan dia jadikan istri dan ibu dari anak-anaknya kelak.