TIDAK BISA BERBAGI RANJANG

Edzhar dan Sherin naik ke lantai atas menggunakan lift. Kali ini mereka menggunakan ruangan yang berbeda dengan Lynch. Sang Papa mengusulkan karena tidak ingin ingin mengganggu malam pertama dari pengantin.

"Lelah sekali," ucap Sherin saat benda persegi tersebut membawa mereka naik.

Kedua mata Edzhar melihat kaki Sherin. Wanita itu menyingkap gaun pengantin karena ingin melepas sepatu hak tinggi yang melekat di kaki.

"Biar aku saja," ujar Edzhar. Dia jongkok dan melepas sepatu istrinya. Sherin yang sedang menyandarkan punggung di dinding lift terkesiap dan reflek menarik kakinya. "Kalau kamu nggak mau patah kaki, biar aku lepas sepatunya." Sherin pun pasrah. Kedua kakinya memang sangat sakit. Sejak pagi memakai hak tinggi membuat pergelangan kakinya terasa nyeri.

Pintu lift terbuka. Sherin ingin melangkah, namun terlihat ragu. Dia melihat kedua kakinya yang telanjang. Sherin terkejut tatkala kedua tangan kekar Edzhar menangkup tubuhnya. Menggendong ala bridal style.

"Apa yang kamu lakukan?" protes Sherin hendak turun.

"Jangan bergerak kalau nggak mau kakimu patah karena terjatuh. Aku hanya ingin membantumu saja."

Edzhar berdiri di depan pintu dengan Sherin mengalungkan kedua tangan di lehernya. "Tolong ambilkan acess card di saku jasku! Tadi aku menyimpannya di sana," pinta Edzhar membuat Sherin berpikir sambil melihat wajah Edzhar.

"Cepat ambilkan, She! Kamu mau seperti ini sampai pagi?" pertanyaan Ed memudarkan khayalan Sherin. Dia meraih saku jas Ed membuat dua bongkahan kenyal miliknya menempel di dada Edzhar. Suaminya itu hanya bisa menelan ludah.

"Ketemu!" seru Sherin antusias saat dia berhasil mengeluarkan kartu akses dari saku suaminya.

"Buka pintunya sekarang!" lagi-lagi Ed memberi perintah membuat bibir Sherin maju ke depan karena merajuk. Namun wanita itu hanya bisa pasrah.

Pintu akhirnya terbuka. Edzhar meletakkan tubuh Sherin secara perlahan ke atas tempat tidur yang sudah dirias untuk pengantin baru. Tak sengaja mata Ed melihat belahan dada Sherin.

"Apa yang kamu lihat?!" bentak Sherin. Dia menutupi dua gunung sensitif miliknya dengan tangan. "Jangan berani macam-macam denganku!" ancam Sherin membuat Edzhar menyeringai.

"Kalau aku berbuat macam-macam, memangnya kamu mau lapor ke siapa? Polisi? Sama saja kamu sedang mempermalukan diri sendiri ketika melakukannya."

"Kenapa kamu sangat menyebalkan, Edzhar?!" Sherin bertanya sambil berteriak membuat suaminya menutup telinga.

"Jangan berteriak karena kita tidak di hutan! Gendang telingaku nyaris pecah karena suaramu. Cepat mandi! pasti kamu sudah nggak betah memakai pakaian itu," titah Edzhar. Sesungguhnya naluri Ed sebagai laki-laki sudah mendesak agar dia melahap Sherin malam itu juga. Namun, benda pusaka yang sudah dia jaga puluhan tahun harus menahan diri dulu.

"Kamu saja yang mandi. Aku masih harus membersihkan make up dan melepas riasan rambut," tolak Sherin. Pasti membutuhkan waktu yang panjang untuk menyeka make up tebal di wajahnya.

"Baiklah."

Edzhar masuk kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air yang mengalir dari shower. Dia memegang benda bulat nan panjang di pangkalan pahanya. "Kamu harus bersabar ya! Malam ini kamu belum bisa diberikan makanan. Kita harus taklukan dia dulu." Edzhar seperti orang gila yang mengajak benda antik miliknya berbicara.

Merasa tubuhnya sudah bersih dan wangi, Ed keluar dari kamar mandi. Dia melihat Sherin masih mengenakan gaun pengantin. Wanita itu duduk di kursi-meja rias sambil mengusap wajahnya dengan kapas yang sudah diberikan micellar water.

Sherin melihat Edzhar berdiri di belakangnya. Pria itu bertelanjang dada karena hanya membungkus tubuh polosnya dengan handuk yang dilitkan di pinggang.

"Kamu mau apa?" tanya Sherin. Dia panik dan menelan ludah saat melihat perut Edzhar yang six pack.

"Aku hanya berpikir saja. Apa membersihkan make up memang selama itu?" Edzhar menggaruk rambutnya yang basah. Tidak mengerti dengan dunia para wanita.

"Membersihkan itu yang paling penting. Kalau nggak, wajahku bisa kusam dan berjerawat. Memangnya kamu mau mempunyai istri jelek?" Pertanyaan Ed dijawab dengan kekesalan.

Edzhar menuju koper. Dia mencari satu celana boxer dan kaos untuk dikenakan. Kemudian, dia duduk di tepi ranjang. Memerhatikan Sherin yang berusaha membuka jepitan yang ada di rambut. Istrinya itu terlihat kesulitan, namun masih enggan meminta bantuan Ed.

"Kenapa susah sekali," gumam Sherin. Penata rambut ternyata menggunakan banyak jepitan hitam agar rambut Sherin tidak berantakan sepanjang acara.

"Biasakan meminta bantuan kalau memang butuh. Jangan gengsi!" Edzhar berpindah dan berdiri di belakang Sherin. Dengan hati-hati dia melepaskan jepitan rambut yang ada di kepala Sherin.

Setelah melepas semua jepit rambut, Edzhar juga mengacak rambut Sherin agar perekat yang sempat disemprotkan penata rambut terlepas. Hal itu membuat rambut istrinya seperti singa jantan.

"Lihatlah dirimu di cermin! Kamu terlihat sangat menggemaskan," ledek Edzhar membuat wanita itu terbelalak melihat penampilannya. Sungguh sangat memalukan.

Sherin membalikkan badan dan menatap tajam Ed. Hatinya sangat geram karena laki-laki itu mengejeknya. "Kamu pria paling menyebalkan yang aku kenal. Awas saja! Aku pasti akan membalasmu."

Sherin masuk ke kamar mandi. Namun, dia menemukan kesulitan lagi. Rasanya wanita memang diciptakan untuk sesuatu yang rumit. Sherin tidak bisa menjangkau resleting gaun pengantinya.

"Kenapa aku memilih resleting yang ada di belakang. Kalau seperti ini, aku harus meminta bantuan Edzhar," kesal Sherin seorang diri. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, mengalahkan rasa gengsi, dia pun memanggil nama suaminya.

"Ada apa, She?" tanya Edzhar dari balik pintu. Pria itu tidak mau mencari godaan. Itu sebabnya Ed tidak mau membuka pintu. Takut tubuh indah Sherin akan merobohkan tembok pertahanannya.

"Masuklah! Aku susah membuka ini," teriak Sherin dari dalam. Meski ragu, namun Ed penasaran juga. Jika belum bisa menyentuh, mungkin memandang bisa menjadi hiburan. Itulah yang ada di pikiran Edzhar. Dia tahu jika Sherin belum siap melakukan hubungan suami istri dengannya.

"Apa yang nggak bisa dibuka?" tanya Ed. Pria itu melihat punggung Sherin yang membelakanginya.

"Aku nggak bisa membuka resletingnya. Tolong buka!"

Tangan Edzhar bergerak ke punggung Sherin. Membuka resleting gaun pengantin istrinya itu. Kulit punggung Sherin yang putih mulus menghibur kedua mata Edzhar. Dorongan naluri sebagai pria membuat dia membenamkan bibir di sana.

"Apa yang kamu lakukan?" Sherin membalikkan badan dan melihat Edzhar. Tangannya menahan gaun agar tidak melorot dari dada.

"Maafkan aku, She! Aku keluar sekarang juga." Edzhar menyadari kesalahan meskipun sebenarnya tubuh Sherin sudah sah menjadi miliknya. Dia menuntup pintu dan bersandar di sana.

"Hampir saja aku tergoda," gumam Ed mengatur deru napas. "Kalau seperti ini, aku nggak bisa berbagi ranjang dengannya. Lebih baik aku tidur di sofa saja." Ed mengambil satu bantal dan berbaring di sofa. Dia akan memaksa kedua matanya untuk tidur agar pikirannya bebas dari hal-hal mesum yang sudah bersemayam sejak tadi.