SUAMI SEMPURNA

Sherin dan Edzhar menikmati sarapan bersama. Pikiran Sherin melayang entah ke mana. Edzhar bisa merasakan hal tersebut. Laki-laki itu pun menangkup dagu Sherin dengan jemari.

"Apa pun yang kamu pikirkan, ceritakan padaku! tapi habiskan dulu makananmu!" Netra Ed menatap kedalaman manik mata sang istri. Ingin membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Sherin, namun dia bukanlah mahluk yang bisa membaca isi hati dan pikiran seseorang.

"Hmmm," deham Sherin membuang pandangan ke sembarang arah. Salah tingkah karena Ed menatap lekat wajahnya.

"Nanti sore, kita akan berangkat ke villa. Bukan kah kamu ingin menghabiskan masa cuti di sana? Aku sudah meminta penjaga villa untuk menyiapkan dua kamar. Nggak perlu cemas!" Ed tahu apa yang dikhawatirkan wanita tersebut meski Sherin belum mengatakannya.

Sherin meletakkan garpu dan sendok di atas piring. Dia memberanikan diri untuk melihat wajah sang suami. Apa pun tanggapan Ed, dia harus mengungkapkan isi hatinya. Sherin butuh ketenangan. Tanpa jawaban yang pasti, dia akan selalu kepikiran.

"Ed, apa nggak masalah kalau kita menunda untuk melakukan hubungan badan? Aku belum siap. Aku ingin melakukan itu ketika kita berdua sudah saling mencintai. Bisa kah kamu menunggu momen itu?" Meski ragu, namun Sherin tetap mengatakannya.

Edzhar menghela napas dan berdiri dari tempat duduknya. Mengembuskan napas dan mendekati Sherin yang masih tercenung. Wanita itu tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Edzhar.

Edzhar berdiri di samping Sherin, membuat istrinya tersebut mendonggakkan kepala. Tanpa permisi laki-laki itu mengecup keningnya. "Cobolah untuk membuka hatimu padaku. Aku pun sudah melakukannya saat mengucapkan janji pernikahan di altar," ucap Ed usai bibirnya menjauh dari dahi Sherin. "Kamu tenang saja! Kita nggak melakukan sampai aku dan kamu saling mencintai. Aku janji." Edzhar meninggalkan Sherin. Hendak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Ed," panggilan Sherin menahan langkah sang suami. "Aku…."

"Habiskan makananmu dulu! Baru setelah itu kita bicara," sahut Ed tanpa menoleh. Dia melanjutkan langkah kaki menuju kamar mandi.

"Menyebalkan sekali dia! Padahal aku hanya ingin mengatakan kalau aku pasti akan mencoba untuk membuka hatiku," kesal Sherin. Dia memasukkan makanan ke dalam mulut sebagai bentuk pelampiasan.

***

Edzhar meminta pelayan hotel untuk memindahkan dua koper ke bagasi mobil. Sore ini mereka akan pergi ke villa. Sherin berkata jika lebih nyaman menginap di sana. Terlalu banyak mata yang mengawasi jika mereka masih berada di hotel.

"Besok pagi Papa akan kembali ke Jakarta. Kalian nikmati saja waktu berdua. Nggak akan ada Papa sebagai pengganggu," ucap Lycnh saat anak dan menantunya berpamitan.

"Iya Pa. Jangan terlalu lelah! Sesampai di Jakarta harus banyak istirahat," balas Sherin. Semenjak tahu jika sang ayah menderita penyakit jantung, wanita tersebut tidak mau lengah lagi.

"Iya. Papa hanya ingin mendengar kabar baik saja. Semoga kalian segera diberi kepercayaan anak."

Sherin melihat wajah Ed. Permintaan Lynch membuatnya merasa seperti pembohong besar. Edzhar seakan memahami arti dari tatapannya. Pria itu pun berjongkok di hadapan Lynch.

"Doakan yang terbaik saja, Pa. Kami hanya berharap pernikahan ini menjadi sumber kebahagiaan untuk keluarga kita. Papa jaga kesehatan. Aku sudah meminta Bibi untuk menyiapkan makanan sehat dan enak untuk Papa. Obat yang dari dokter pun harus diminum."

"Iya. Melihat kalian hidup bersama membuat Papa ingin memiliki panjang umur."

***

Sherin dan Edzhar sampai di villa. Meski pisah kamar, namun ruangan tersebut bersebelahan. Hal itu Ed lakukan supaya lebih tenang. Dia tidak harus berjalan jauh jika Sherin membutuhkan sesuatu. Dia sudah berjanji kepada mendiang kakak Sherin yang sudah menjadi iparnya. Kebahagiaan Sherin adalah sukacita keluarga. Ed pun berjanji kepada ibu mertua yang telah tiada. Apa pun akan dia korbankan untuk membuat Sherin tidak merasa kesepian.

"Kalau ada apa-apa, ketuk kamarku saja. Aku nggak akan menguncinya," pesan Ed sebelum masuk kamar. Sherin pun menganggukkan kepala pertanda setuju.

Baru saja masuk kamar, ponsel Sherin berbunyi. Panggilan grup dari kedua temannya. Joan dan Aira sudah kembali ke Jakarta. Kedua wanita itu ingin tahu bagaimana permainan ranjang pengantin baru. Memang pembicaraan yang tabu, namun sebagai penjelajah pria, sungguh mereka sangat penasaran dengan Edzhar.

"Ada apa kalian menghubungiku?" tanya Sherin ketus. Kedua temannya itu sedang bersantai meminum alkohol di sofa. Mulai hari ini, Sherin harus membiasakan diri untuk lepas dari ketergantungan minuman alkohol, rokok, dan club. Meski perokok pasif, tetap saja Sherin menyesapnya saat bersama teman.

"Bagaimana malam pertamamu? Edzhar bisa diandalkan, nggak? Apa dia sanggub memuaskanmu?" hujan pertanyaan keluar dari mulut Joan. Mereka tidak tahu alasan di balik pernikahan Sherin.

"Aku sibuk. Nggak ada waktu untuk menjelaskannya. Lebih baik kalian matikan saja panggilannya. Aku mau mandi." Sherin ingin mengakhiri, namun kedua temannya heboh agar mereka tetap mengobrol.

"Pasti permainan Ed sangat memuaskan. Lihat saja ototnya! Aku yakin Sherin ingin mengakhiri obrolan dengan kita karena ingin melanjutkan permainan ranjang panas mereka," Joan berbicara kepada Aira. Sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing Sherin.

"Lebih baik kalian berdua cari laki-laki lain. Berhenti membicarakan suamiku! Apa pun yang terjadi, aku nggak akan memberitahu kalian. Mengerti?" Sherin langsung memutus sambungan. Wajah Joan dan Aira hilang dari layar ponselnya.

Sherin melempar ponselnya ke atas ranjang. Berkacak pinggang sembari berdecak lidah. "Kenapa semua orang selalu mengingatkan aku pada hubungan ranjang. Aku saja nggak mau melakukannya," kesal Sherin. Ingin meluapkan, namun tidak tahu kepada siapa. Ini bukan salah Edzhar, Lynch, dan kedua temannya. Dia saja yang belum siap.

Sherin berdiri di depan cermin dan menyingkap bajunya. Dia mengusap perut dan membayangkan jika bagian tubuhnya itu akan membesar karena hamil. "Bagaimana ya rasanya hamil? apa setelah aku dan Ed saling mencintai, aku akan segera hamil? bagaimana rasanya menjadi seorang ibu?" Mengingat hal itu saja membuat wajah Sherin merona. Dia memegang pipi dan merasa hangat.

"Kenapa aku malu saat memikirkan itu? aku harap Ed nggak mendengarnya," ucap Sherin sampai dia mendengar suara yang berdeham. Suaminya berdiri di ambang pintu. Sherin tidak sanggub membalikkan badan. Terlalu malu jika Ed melihat pipinya yang berubah menjadi merah muda.

"Aku sudah mendengarnya," ucap Ed sembari mendekat. Pria itu berdiri di belakang Sherin dan melingkarkan kedua tangan di pinggang istrinya itu. "Terima kasih karena sudah memikirkan hal itu. Secepatnya aku akan membuat kamu jatuh cinta padaku," ucap Ed membuat Sherin meremang seketika. Ingin menolak pelukan Ed, namun Sherin merasakan kenyamanan dan kehangatan.

Edzhar menumpu dagu di bahu Sherin. Melihat wajah mereka dari cermin. "Membahagiakan kamu adalah kewajibanku. Jika kamu sudah siap melakukannya, aku pasti akan menyentuhmu."

Sherin membalikkan badan dan memeluk tubuh Ed. Dia melihat banyak sisi baik dari Edzhar. Suaminya itu lembut, perhatian, sabar, dan tidak pemaksa. Benar-benar suami sempurna untuk Sherin.