Sherin bingung memilih pakaian. Pikiran dan hatinya sedang berperang. Logika Sherin berkata jika dia harus terlihat biasa. Dia tidak mau menyukai Ed terlebih dulu. Seharusnya prialah yang melakukannya. Namun, berbanding terbalik dengan hati Sherin. Nuraninya mendorong agar dia terlihat cantik di depan Ed.
Terlalu bingung, Sherin membiarkan dirinya duduk di kursi-meja rias. Butuh sekian menit untuk bermonolog dengan diri sendiri. "Aku memang sudah cantik dari dulu. Berpenampilan menarik di depan Ed nggak akan membuatnya curiga. Aku melakukan ini untuk menghibur diri sendiri. Ed nggak punya hak untuk besar kepala." Sherin menarik napas panjang dan mengembuskannya.
"Iya. Aku melakukan ini untuk diri sendiri. Bukan untuk Ed." Sherin bangkit dan memilih pakaian dari lemari. Ketika berenang, wanita yang bekerja di villa sudah menata rapi pakaiannya di lemari. Sebisa mungkin Sherin harus menahan perasaannya. Tidak ada cerita jika perempuan yang jatuh cinta terlebih dahulu.
***
Di dalam kamar, Ed melihat lemari. Malam ini dia akan tidur bersama dengan Sherin. Pakaian wanita itu harusnya sudah pindah ke dalam lemarinya. "Lebih baik aku saja yang pindah ke sana. Kasihan Sherin," pikir Ed. Dia mengambil celana dalam, jogger, dan kaos oblong.
Ed keluar dan mengetuk kamar Sherin. Tidak lama istrinya keluar dengan mini dress polkadot melekat di tubuh wanita itu. Polesan make tipis pun membuat wajahnya semakin bersinar. Tubuh Edzhar terpaku, namun netranya memindai Sherin dari atas sampai bawah. Entah wanita itu sengaja atau tidak, sungguh Edzhar selalu tergoda. Padahal, dulu pikiran kotor itu tidak ada.
"Aku jelek, ya?" pertanyaan Sherin merenggut bayangan mesum di otak Edzhar. Pria itu melihat istrinya meremas bagian rok.
"Nggak. Kamu sangat cantik. Aku hanya nggak nyangka kalau kamu akan berdandan. Padahal kita hanya makan siang di villa saja."
Glek! Sherin merasa usahanya untuk menutupi perasaan terbongkar. Perkataan Ed seperti menelanjangi dirinya. Sherin tidak ingin jatuh cinta terlebih dulu. Dia harus tetap bertahan. Suaminya bisa besar kepala jika dia yang luluh terlebih dahulu.
"Di kondominium aku memang selalu seperti ini. Dandan itu nggak harus keluar. Itu sebagai bukti penghargaan kepada diri sendiri," ucap Sherin membela diri. Lagi-lagi kekonyolannya membuat Edzhar tersenyum.
"Bagaimana kalau sore ini kita jalan-jalan di pantai?" usul Ed. Dia ingin mengeratkan hubungan selama mereka ada di Bali. Tentu saja istrinya setuju. Pantai adalah pemandangan yang disenangi oleh Sherin.
***
Edzhar dan Sherin menelusuri pantai. Menikmati desiran ombak dan angin sepoi. Menggunakan mini dress membuat hamparan pasir menyapu kulit kaki wanita itu. Edzhar melihat telapak tangan kosong Sherin. Tanpa ragu dia menyematkan jemarinya di sana. Sherin terkejut, namun Sherin berusaha menutupi perasaannya. Tidak akan rela jika Ed besar kepala dan merasa bangga.
"Bagaimana pemandangannya? Kamu suka?" tanya Ed. Melangkah ke depan tanpa melihat wajah Sherin.
"Sangat suka. Sejak kecil aku menyukai pantai. Dulu Kakak mengajakku ke pantai. Dia ingin menghibur karena Papa lupa ulang tahunku. Aku sangat menyayanginya. Hanya saja Tuhan sangat cinta pada kakak. Dia dipanggil terlebih dahulu." Sherin berbicara santai, namun hatinya sangat sakit mengingat kejadian itu. Seharian penuh dia menangisi nasib tatkala Lynch melupakan ulang tahunnya yang ke 15.
Ed mengeratkan pegangannya di tangan Sherin. Wanita itu melihat ke samping dan mendongak. "Ed," panggilnya lirih. Pria itu pun menghentikan langkah dan memilih berdiri tepat di hadapan Sherin. "Aku sangat takut kalau suamiku akan sama seperti Papa. Itu sebabnya aku nggak pernah mau menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku takut nasibku akan mirip dengan mama. Terabaikan dan kesepian karena Papa terlalu sibuk," ungkap Sherin apa adanya. Rasa nyaman membuat dia berani membuka diri kepada Ed.
Ed menelisik kedalaman mata Sherin. Banyak perasaan yang terkandung di sana. Takut, cemas, sedih, dan sedikit amarah. Ed mengusap wajah Sherin. Belum bisa mengungkapkan cinta, namun tujuannya sekarang adalah membahagiakan istri.
"Aku nggak bisa berjanji banyak. Tapi aku pastikan, keluarga akan menjadi prioritasku. Kamu dan calon anak-anak kita. Nggak usah mencemaskan hal itu," ucap Edzhar tulus. Sherin menganggukkan kepala. Dia membenamkan kepala di dada Ed. Tempat ternyaman yang akhir-akhir ini menjadi candu untuk Sherin.
Ed mengajak Sherin untuk duduk di atas pasir. Pria itu melepas jacket agar paha Sherin yang memakai mini dress bukan menjadi tontonan gratis untuk orang lain. Ed menarik kepala sang istri agar bersandar di bahunya.
"Apa kamu sudah memikirkan hukuman untukku? Tadi pagi kamu sudah menjadi pemenang. Sangat jarang aku menerima kekalahan seperti sekarang," tanya Ed sambil melihat lautan biru yang terbentang. Banyak wisatawan yang menikmati hamparan air asin tersebut.
"Hmmm… apa ya?" pikir Sherin. Ini kesempatan langka. Dia ingin hukuman tersebut menguntungkan. Tidak ingin barang mewah karena Sherin bisa membelinya.
Sherin melihat pasangan yang naik sepeda. Seketika ide muncul dalam pikirannya. "Aku mau kamu memboncengku naik sepeda. Aku belum pernah merasakannya. Pasti sangat seru jika mengelilingi kota dengan sepeda." Hukuman yang diberikan Sherin membuat Edzhar ternganga. Dia bukanlah atlet yang memiliki kekuatan sebanyak itu. Naik sepeda seratus meter saja tidak yakin. Ed memang rajin olahraga, namun tidak dengan sepeda dan berlari.
"Bagaimana, Ed? Hukumannya ringan, kan?"
Ingin menolak, namun tak tega. Sherin terlihat ingin sekali melakukannya. Edzhar pun menyanggupi. Melihat senyuman terukir di wajah Sherin akan menghangatkan hatinya yang dingin selama ini.
Ed dan Sherin menyewa sebuah sepeda. Melihat rok Sherin yang akan tersingkap ke mana-mana, Edzhar tidak rela. Pria itu pun mengikat jacket di pinggang Sherin. "Lain kali pakai celana saja. Aku nggak mau paha kamu jadi tontonan gratis untuk orang-orang. Meski di Bali itu hal biasa, tetap saja aku nggak rela," ucap Ed membuat Sherin menahan tawa. Dia mengetahui sisi lain dari Edzhar. Suaminya itu sangat posesif.
Edzhar siap mengayuh sepeda. Sebelum dia melakukannya, Ed menarik tangan Sherin agar melingkari perutnya. "Kamu bisa jatuh kalau nggak pegangan. Jangan dilepas sebelum kita turun dari sepeda!" Edzhar memberi perintah. Dia tidak bisa melihat senyuman simpul di wajah wanitanya. Entah kenapa Sherin merasa senang dengan sikap posesif Ed. Dia seperti dimiliki dan dijadikan sebagai wanita paling berharga.
Menahan rasa lelah dan pegal di kaki, Ed membiarkan Sherin menikmati udara di sore hari. Perempuan itu sangat bahagia. Menelusuri jalanan dan memandang kota menggunakan benda beroda dua tanpa bahan bakar.
Sherin mengeratkan tangan di perut Ed. Dia pun menempelkan pipi di punggung suaminya itu. Sherin meresap semua kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan yang saat ini menyelimuti pikiran dan hatinya.
"Tuhan, aku ingin bahagia terus bersama dengan Ed. Buat dia mencintaiku. Aku pun akan memberikan semuanya kepada Ed. Bantu hubungan kami agar lebih erat." Sherin mengucapkan doa di dalam hati.