Keyakinan Geeta

"Tolong pikirkan lagi, Malik."

Anna tidak bisa menerima hal itu, menurutnya Aldo dan Kevin masih kecil. Bagaimana keduanya hidup di negara yang memiliki perbedaan yang sangat besar dengan negaranya? Cuaca, adat dan bahasa. Bagaimana adiknya bisa menghadapi hal itu semua?

"Harusnya kamu tidak membicarakan ini denganku, Anna. Karena adik-adikmu lah yang sangat menginginkannya," jelas Malik.

Bukan Malik yang memutuskan, tetapi adik dari istrinya tersebut.

"Tapi kamu yang memberikan uang, Malik. Jadi kamu yang memiliki hak paling besar," tandas Anna.

Malik mendongak, menatap istrinya yang terlihat gelisah.

"Itu memang benar, tapi aku sendiri yang sudah berjanji, jadi aku tidak boleh melanggarnya. Iya kan?" Malik meletakkan pulpennya ke meja. Pandangannya kini fokus pada Anna.

"Coba kamu bicarakan baik-baik pada Aldo dan Kevin, siapa tahu mereka bisa memikirkannya ulang," saran Malik.

Namun, Anna tidak bisa. Dia dan adik-adiknya lebih sering berkelahi, mereka pasti tidak akan mendengarkannya.

"Kalau mereka tidak mendengarkanmu, itu artinya kamulah yang harus mendengarkan mereka Anna," tambah Malik.

Ucapan Malik benar, dan adiknya sudah jelas memilih tetap di sekolah itu. Karena Anna tahu, Aldo dan Kevin keras kepala. Sama seperti dirinya.

"Aku akan membicarakannya dengan Ibu," ucap Anna seraya memutar tubuhnya.

Anna melangkah beberapa langkah, kemudian terhenti. Ada satu hal yang dia lupa. Dia pun membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati Malik.

Cup!

Satu kecupan di pipi berhasil membuat tubuh Malik memaku, tangannya berhenti menulis, dunianya seakan-akan terhenti.

"Terima kasih atas sarannya, Malik."

Setelahnya Anna melangkah keluar, meninggalkan Malik yang masih tertegun.

Apa yang dilakukan Anna?

Malik menggelengkan kepalanya, dia tahu kalau Anna mencium pipinya, tetapi kenapa Anna melakukannya? Apa alasannya?

Gadis itu berbahaya!

Sementara itu, tepat di pintu Malik, Anna bersandar pada dinding, mengatupkan wajahnya yang panas dengan kedua tangannya.

'Aku benar-benar melakukannya! Iya, aku melakukannya!' batinnya.

Pengawal yang biasa berjaga di depan pintu menatap heran.

"Nona baik-baik saja, kan?" tanyanya.

"Iya," singkat Anna. Dia berusaha mengendalikan diri, menyunggingkan senyum lebar.

Tentu saja Anna sangat baik, bahkan tidak sekedar baik. Perasaannya tengah meletup-letup gembira.

Sejenak dia melupakan kegelisahan yang menderanya.

"Nona?" Pengawal itu tak yakin.

"Ah, kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja." Anna terkekeh pelan seraya menepuk bahu pria itu.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Kau jaga pintu dengan baik ya, jangan sampai ada yang masuk, wehehehe!"

*

"Ada apa, Sayang? Sepertinya kau sangat bahagia sekali," komentar Geeta. Wajah putrinya tidak bisa berbohong.

Anna menggelengkan kepalanya, menyimpan kebahagiaan itu sejenak.

"Aku tidak setuju, Bu," tandasnya.

"Aku tidak mau Aldo dan Kevin sekolah sejauh itu. Siapa yang akan menjaga mereka? Mereka saja tidak tahu bagaimana cara mengurus diri, masak, bahkan mencuci baju saja mereka masih malas-malasan. Gimana mau hidup di sana?" celoteh Anna.

Geeta menatap putrinya, di mata itu tidak ada ketidaksetujuan, yang bisa dia lihat adalah sorot mata cemas dan khawatir.

"Itu mimpi mereka, Sayang. Kau juga pasti tahu apa mimpi adik-adikmu itu," ucap Geeta.

Dia bisa memaklumi sikap Anna, meski gadis itu pemarah, tetapi, dia begitu menyayangi keluarganya.

"Dan, kau tidak perlu khawatir. Malik mengijinkan ibu untuk menemani adik-adikmu itu," tambah Geeta.

"Apa?!" Anna membelalakan mata, untuk satu hal ini, dia tidak tahu. Atau mungkin mereka sengaja tidak memberitahunya.

"Tidak boleh." Intonasi suara Anna melemah, bergetar karena emosi dan sedih yang tiba-tiba merasuk.

Dia tidak bisa menerima adik-adiknya pergi, dan sekarang, ternyata ibunya juga ikut. Anna tidak mau sendirian!

"Tidak boleh, Ibu. Kenapa Ibu harus ikut? Biarkan mereka saja yang pergi sendiri. Lagi pula, suruh siapa sekolah jauh-jauh!" Anna menyandarkan kepalanya pada pangkuan ibunya. Geeta mengusap pelan rambut putrinya yang sudah tumbuh dewasa.

Masih teringat jelas, suara tangisan bayi dan perkembangan Anna dari bayi sampai sebesar ini, Geeta tidak pernah bisa melupakan masa-masa itu. Genggaman tangan mungil, senyuman polos, juga pertengkaran kecil di antara putri dan adik-adiknya.

"Bukankah kau tadi mengkhawatirkan bagaimana adik-adikmu di sana? Karena itulah, ibu yang akan menjaga mereka," ucap Geeta dengan intonasi lembut.

Bulir bening luruh dari kelopak mata Anna, dia memang mengkhawatirkannya, tetapi sekarang sudah tidak lagi.

"Dengarkan ibu, Nak," Suara Geeta terjeda. "Kau sudah menikah, dirimu adalah milik suamimu. Dan jangan pernah merasa sendirian, ada Malik di sini. Dia pria yang sangat baik, kau sangat beruntung sudah menikahinya."

Geeta tak perlu mengkhawatirkan putri sulungnya itu, dia sangat yakin pada Malik. Pemuda itu pasti menjaga putrinya dengan sangat baik.

Anna tak menjawab, air matanya tumpah, sejadi-jadinya. Dia tidak pernah berada jauh dari sang ibu, dari adik-adiknya. Dan, hal ini berbeda dengan statusnya yang sudah menikah. Malik adalah hal lain, tidak sama dengan keluarganya.

Tetapi apa yang bisa dia katakan?

*

Beberapa hari sebelumnya.

"Ibu tidak perlu khawatir, aku yang akan menjaga Anna," kata Malik datar.

Geeta duduk dengan rasa cemas, dia tidak pernah berada sejauh ini dengan putrinya. Dan, tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan jauh dari putrinya. Geeta ingin selalu berada di sisi Anna, sekalipun putrinya sudah menikah.

Sayang, keinginan putra-putranya mengharuskan Geeta memilih salah satunya. Sebagai ibu, pilihan yang tersulit mungkin adalah saat anaknya sudah beranjak besar seperti ini. Karena ketika mereka masih kecil, Geeta bisa mendekap ketiganya secara bersamaan.

Malik melihat kekhawatiran di wajah mertuanya itu. "Mungkin di awal, Anna tidak akan setuju, Bu. Tapi aku yakin, dia pasti mengerti."

Geeta mendongak, salah satu yang dia khawatirkan adalah respon putrinya. Dia tidak ingin Anna merasa ditinggalkan. Sejak kematian ayahnya, putrinya itu mudah kesepian dan merasa sendiri.

"Anak itu, dia tidak suka sendirian," Geeta membuka percakapan. Gurat sedih tergores dalam di dahinya. "Semenjak ayahnya meninggal, dia khawatir jika ibu atau mungkin adik-adiknya akan mengalami hal yang sama."

Kematian mengubah banyak hal. Meskipun pada akhirnya semua manusia akan pergi, putrinya mengalami ketakutan yang berlebihan tentang kematian.

Malik mendengarkan dengan seksama. Apa yang dialami oleh Anna bisa dia rasakan, karena Malik pun pernah mengalaminya. Kematian orang tuanya membuat dia takut kehilangan orang yang dia kenal, orang yang dekat dengannya. Butuh waktu untuk memenangkan ketakutan itu.

"Ibu khawatir, rasa takut itu menyerangnya lagi," ucap Geeta. Putrinya mencoba banyak hal untuk keluar dari rasa takut itu. Bahkan Anna bekerja di dua tempat yang berbeda hanya untuk membuat pikirannya sibuk.

Malik mengubah posisi duduknya, "Aku akan selalu ada untuknya. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan Anna, dia tidak akan sendirian di sini."

Mungkin Malik harus mengambil libur beberapa hari untuk mengawasi istrinya. Ya, itu adalah pilihan yang tepat, sampai suasana hati Anna membaik.