"Mulai malam ini, aku tidur di sini."
"Hah?! Apa!?" Mata Anna melebar, sebesar biji almond. Ia langsung duduk memeluk bantal.
"Are you serious, Malik?" tanyanya. Ia pikir yang diucapkan Malik kemarin, hanya ucapan yang tujuannya untuk menenangkannya saja.
Tanpa mendalami ekspresi di wajah Anna, Malik langsung merebahkan tubuhnya. Ia sangat lelah, sudah lama tidak makan malam di luar.
"Kamu baik-baik saja, kan, Malik?" tanya Anna setelah melihat tatapan yang lelah di wajah suaminya.
"Iya, aku baik, kok, Anna." Malik memejamkan mata, dia hanya lelah, itu saja.
Malik tidak pernah keluar dari rumahnya, ia seperti seorang pangeran dalam dongeng yang terkurung di rumahnya yang mewah. Dan, saat dia berada di tempat ramai, tempat asing, energi Malik terkuras habis.
Anna tak percaya dengan ucapan suaminya itu, tangannya bergerak sendiri, menyentuh dahi Malik. Memastikan bahwa semuanya memang baik-baik saja.
"Apa yang kau lakukan, Anna?" Malik terkejut. Namun tangan hangat Anna membuatnya tenang.
Bagaimana bisa begitu?
Setelah memastikan suaminya tidak sakit, Anna membaringkan tubuhnya.
"Tidurlah, Malik!" perintah Anna seraya memeluk gulingnya.
Malik yang masih tak mengerti dengan yang dilakukan oleh istrinya itu, tentu tak bisa tidur begitu saja.
Sentuhan Anna, entah mengapa membawanya teringat pada sosok ibunya yang sudah tiada. Bahkan ibunya sering menyentuh dahinya seperti itu, sekalipun dia mengatakan dirinya baik-baik saja.
Apa semua wanita seperti itu?
Anna yang berpikir kalau dia tidak akan bisa tidur, ternyata salah. Dia langsung lelap, bahkan setelah dua menit, ia memejamkan mata.
"An-Anna?" Malik memanggil. "Apa kau sudah tidur?"
Tak ada jawaban. Hanya hela napas beraturan yang mengudara. Malik memiringkan posisinya, kini ia berhadap-hadapan dengan Anna.
"Kamu cantik, Anna," gumam Malik.
Huh?
Malik menyadari kalimatnya, ia tahu apa arti yang dia ucapkan. Tapi kenapa dia mengatakan itu? Malik tak tahu.
Gelenyar-gelenyar aneh mulai menjalar. Kemudian jatuh pada titik pusat tubuhnya. Setruman kecil itu membuatnya tidak nyaman.
Sedetik kemudian dia tahu satu hal yang paling berbahaya dalam hidupnya. Malik memutar tubuhnya, merasakan ketegangan yang ada di tengah kedua pahanya.
"Fuck!" lirihnya. "Apa yang kau lakukan, Malik? Apa kau sudah gila?!" rutuknya pelan.
Malik tidak pernah merasa serendah ini, tidak pernah merasa sebrengsek ini. Ia mampu menahan diri dari segala godaan. Tetapi kenapa kali ini, dia kalah?
Apa setan yang merasukinya sudah level tinggi?
"Ah, shit!" Malik turun dari ranjang, dia harus menyelesaikan masalah itu secepatnya sebelum istrinya bangun dan hal memalukan itu diketahui oleh Anna.
*
"Ayah, bagaimana aku tahu kalau pria itu jodohku?" Anna kecil bertanya pada sang ayah.
Saat ini usia Anna menginjak 10 tahun, tetapi dia malah memberikan pertanyaan seakan-akan dia berusia cukup dewasa untuk membahas pernikahan.
Pria dengan rahang tegas itu mendongak, mengusap dagunya yang mulus.
"Katakan Ayah, aku ingin tahu," desak Anna.
Ayahnya pasti tahu mengenai hal itu, bukankah ayahnya selalu bilang bahwa ibunya adalah jodoh sejatinya?
Pria itu menghela napas panjang, cukup sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Putrinya saja pasti tidak tahu apa artinya cinta.
"Bagaimana yeah?" Ia menatap putrinya dengan tatap menggoda. "Tapi Anna masih kecil, nggak boleh tanya tentang cinta-cintaan." Ia mencubit ujing hidung anaknya.
"Tapi aku pengen tahu, Ayah. Buat pengalaman aku aja," Gadis kecil itu kekeh. Dan sekarang, ucapannya tak sesuai dengan usianya.
Orang bilang ketika anak tumbuh menjadi semakin dewasa, maka di saat itulah, titik di mana orang tua harus bersiap-siap akan beberapa hal.
Pertama, saat putrinya mengenalkan kekasihnya.
Kedua, saat putrinya dekat dengan pria lain, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kekasihnya
Ketiga, saat putrinya menikah. Dan hidup bersama pria itu, membangun rumah tangga. Itu artinya hidup putrinya semakin menjauh darinya.
Sementara pria itu belum siap akan hal itu. Bukan tidak siap, dia tidak mau putrinya sampai dibawa oleh orang lain. Dia tidak bisa membayangkannya.
"Ayah! Kenapa Ayah malah melamun? Jawab dulu pertanyaan Anna!" Gadis itu menarik lengan pria itu, membangunkan dirinya dari sebuah mimpi buruk yang pernah dia alami.
"Khem-khem!" Pria itu berdeham, mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Anna masih kecil, ayah belum bisa memberitahu secara detail, tetapi saat hati Anna berdetak dan meletup-letup seperti—"
"Makan permen bom?" tanya gadis polos tersebut.
"Ah, iya! Permen bom!" Pria itu menatap langit, "tapi, Anna jangan cepat-cepat dewasa, ya. Karena ayah masih ingin bersama Anna."
Mata Anna membasah, kesadarannya mulai memulih, dan entah kenapa dia ingin kembali ke dalam mimpi itu, dia ingin melihat serta mendengar suara ayahnya kembali. Wajah dan suara yang sangat ia rindukan.
Anna terbangun dari mimpi indahnya, dia tidak bisa mengatakan itu mimpi buruk, karena meski mengingatkannya akan kesedihan yang dia alami, tetapi dia bahagia karena bisa melihat dan mendengar suara ayahnya kembali.
"Ayah ...," lirihnya. Ia tak sadar, bahwa saat ini, di sebelahnya ada seseorang. Ada suaminya yang terus menatapnya dalam kepanikan. Namun, bibirnya bergeming.
'Anna? Kenapa dia menangis?' batin Malik. Ingin bertanya, tetapi sepertinya waktu itu tak tepat.
"Ayah," ulang Anna. Air mata luruh, meski berkali-kali ia menghapusnya.
Kenapa ayahnya pergi sebelum menjelaskan semua detail tentang kehidupan? Kenapa ayahnya pergi padahal ia sudah berjanji akan menemaninya sampai akhir?
Tuhan tak adil atau pria yang menabrak ayahnya lah yang tak adil? Jika dia lebih berhati-hati, maka tidak akan ada nyawa yang berakhir. Tidak akan ada yang bersedih.
Namun seperti apa pun keadaannya, pada akhirnyalah takdir Tuhan lah yang disalahkan. Ya, ini karena ketentuan Tuhan, Anna harus kehilangan sandaran hidupnya.
"Ahh!"
Tanpa perlu banyak bicara, Malik memeluk wanitanya itu. Memeluknya erat seakan-akan dengan begitu, kesedihan yang dialami oleh Anna sedikit berkurang. Sekalipun ia tak tahu apa yang membuat istrinya itu menangis.
"Malik," lirih suara Anna. Ia merasakan detak dada Malik yang begitu hebat. Irama itu senada dengan yang dia rasakan saat ini.
Anna mendongak, menatap tengkuk Malik yang jenjang dan terlihat seksi. Namun saat ini, bukan itu yang menjadi pokok utama, melainkan tindakan Malik lah yang membuat Anna merasa seperti ... meletup-letup.
Seperti makan permen bom yang menjad favoritnya saat ia masih kecil. Dan tak hanya itu saja, debaran yang ia rasakan, begitu intens. Baru pertama ini, ia merasakan sensasi yang demikian.
'Ayah, apakah aku jatuh hati pada pria ini? Apa dia jodoh yang ayah katakan?' batin Anna.
Jika itu benar, maka tidak ada alasan lagi bagi Anna untuk menjauh dari Malik. Tidak ada alasan untuk tidak menerima Malik dalam hidupnya.
Ya, benar!
Tidak ada alasan.