Apa yang ditanyakan Anna?
Malik sangat penasaran dengan hal itu. Sembari duduk di atas ranjang dan memegang kendali penuh atas laptopnya, ia sesekali melirik Anna yang sibuk di meja riasnya. Mengamati dalam diam bagaimana istrinya memolesi wajahnya dengan satu per satu skincare.
"Khem-khem!" Akhirnya ia berdeham, dan Anna melirik Malik dari cermin besarnya.
"Anna," panggil Malik. "Aku dengar, kamu menemani Gerald tadi." Malik berpikir, ia payah dalam merangkai kalimat.
"Gerald mengatakan padaku, jika sebenarnya kamu—"
"Apa kamu mau menjawabnya?" Anna memotong, saat ini ia berada di tahap akhir dari rutinitas malamnya itu.
"Te-tentu saja, Anna." Malik tak mengerti, tetapi ia mengiyakannya saja.
"Baiklah kalau begitu," Anna berjalan menuju ranjang.
Malam ini, Anna tidak memakai gaun malam yang tipis dan seksi itu, ia tahu kalau suaminya tidak menyukai gaun seperti itu. Dan, masih banyak hal yang harus ia pelajari tentang Malik.
"Kamu sudah bilang kalau kamu akan menjawab pertanyaanku, jadi jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Malik." Intonasi suara Anna berubah, Malik pun merasa seperti anak kecil yang siap mendapat omelan dari ibunya.
"Ya baiklah." Malik meletakkan laptop di atas nakas kecil di sebelah ranjang.
Malik tidak pernah merasa seperti ini. Detak dadanya berpacu, diselingi setruman-setruman kecil yang menggelitik.
Kenapa bisa seperti ini? Ia bertanya-tanya dalam hati, kemudian menatap Anna.
Apakah semua karena gadis di sebelahnya?
"Kalau begitu, jawab pertanyaan pertamaku dengan sebenar-benarnya, Malik," Anna berpindah posisi, kini ia berhadapan dengan Malik. Tak ada rasa malu-malu lagi dari sorot matanya.
"Apa aku wanita pertamamu?" selidiknya.
Malik mengangguk, "Iya."
Satu jawaban singkat, tanpa embel apa-apa di belakangnya. Ia benar-benar tidak romantis!
Anna kehilangan kata-kata, kehilangan pertanyaan yang sudah terstruktur di benaknya. Pandangannya pun terarah pada bibir sensual Malik, mungkinkah malam itu juga ciuman pertama Malik?
Anna buru-buru bangkit, sebelum tubuhnya bergerak sendiri dan menyambar bibir suaminya.
"A-ada apa, Anna?" Malik mengikuti, cukup terkejut.
Anna menggoyangkan kerahnya, tiba-tiba merasa sesak. Apa karena ia memakai piyama?
"Tidak ada apa-apa, Malik. Aku hanya ingin minum," Anna memaksakan senyum di tengah perasaannya yang aneh. Desakan untuk menyentuh Malik, lebih besar dan semakin kuat setiap harinya.
"Aku akan memanggil Lily, aku ingin minum wine saat ini," kata Anna.
"Baiklah kalau begitu," Malik tidak mencoba menghalangi, untuk pertama kalinya, ia setuju dengan Anna. Karena saat ini pun, Malik juga menginginkan wine.
*
"Biar saya saja yang menuangkan—"
"Tidak usah, Lily. Aku bisa sendiri, lebih baik, kamu pergi, ya," pinta Anna.
Lily menatap Anna, kemudian menatap Malik. Sepertinya lebih baik dia pergi, dan harusnya dia menyadari itu lebih awal.
"Oh, baiklah, Nona." Lily tersenyum nakal, sembari berlalu meninggalkan keduanya.
Hanya berdua, Malik menuangkan wine ke gelasnya, dan langsung meneguknya seolah dia sangat kehausan.
"Apa kamu juga mau, Anna?" tawarnya.
Anna mengangguk canggung. Waktu terus berdetik, detak di dadanya juga semakin tak karuan. Sesaat setelah gelasnya terisi, ia langsung menghabiskannya dalam satu tegukan.
"Ann ...," Suara Malik memelan.
Anna menyeka wine di sudut bibirnya, menatap suaminya dengan alis yang terangkat sebelah.
"Ki-kita sudah menikah, itu artinya kita pasangan, meski awalnya kita tidak saling kenal," Malik memulai pembicaraannya. "Tapi, aku serius dengan hubungan ini, Anna. Aku ingin mengenalmu, dan mulai menjalin hubungan yang benar denganmu."
Glek-glek-glek.
Anna meneguk wine dengan cepat. Debar di dadanya setara dengan pacuan kuda dalam perlombaan, dia sangat gugup. Bahkan cinta pertamanya saja tidak bisa sebanding dengan pernyataan Malik barusan.
"Jadi, apa kamu mau memulai semuanya dari awal Anna?" tanya Malik. Sama dengan Anna, Malik pun sangat gugup.
Untuk pria penyendiri seperti Malik, berbicara dengan wanita adalah hal yang sangat sulit. Untuk pertama kalinya, dia mengobrol dengan wanita dan pembicaraannya cukup serius.
"Te-tentu saja, Malik. Kita sudah menikah, dan itu artinya tidak ada option lain selain meneruskan hubungan yang sudah ada," sahut Anna. Masih dengan rasa yang canggung.
"Baiklah kalau gitu," Malik meneguk tandas wine di gelasnya. Ia perlu membasahi tenggorokan yang terasa kering.
"Itu artinya mulai dari hari ini, kita patner, kan?" tanya Malik memastikan.
"Yeah, kita patner, Malik," balas Anna kaku.
Dua jam berlalu, dan satu botol wine di meja sudah habis. Gelas-gelas kosong, kemudian pasangan itu terbaring di atas sofa.
Anna berada di seberang, mereka dipisahkan oleh meja. Namun Anna cukup sadar bahwa suaminya itu sangat tampan.
Sungguh, pemandangan yang tidak boleh disia-siakan.
Seharian penuh, Malik hanya menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Ia hanya melihat Malik, di meja makan saat pagi, dan setelahnya saat malam. Anna merasa seperti diduakan, tetapi bukan dengan seseorang melainkan dengan pekerjaan Malik.
Pembicaraan mereka pun terbatas, karena suaminya tipikal pria yang mudah tertidur. Tetapi tak pernah sekalipun Anna membayangkan Malik akan mengatakan hal yang menurutnya romantis, tapi sederhana. Ia memang tak butuh kata-kata puitis, Anna lelah dengan kata puitis karena masa mudanya dihabiskan untuk mendengarkan kalimat semacam itu.
"Malik," panggil Anna.
Pria itu menatap Anna, tatapannya lembut, polos dan Anna terpikat dengan manik hazel milik Malik.
"Bolehkah aku melakukan apa pun sesuka hati dengan rumah ini, pelayan, dan terutama dirimu?" tanya Anna.
Sebenarnya Anna bukan wanita perfectionis, namun ada beberapa yang ingin diubahnya. Tidak hanya beberapa, mungkin bisa keseluruhan, karena menurutnya rumah Malik terlalu kaku, tidak ada warna dan terkesan menyeramkan. Anna saja terlalu takut untuk berkeliling di rumahnya itu.
"Kenapa kamu harus meminta ijin padaku, Anna?" Wajah Malik memerah, tetapi ia masih tersadar. Pendengarannya masih bisa mendengar dengan jelas, meski pandangannya sedikit kabur.
"Kamu adalah Nyonya di rumah ini. Dan statusmu itu lebih dari cukup untuk mengubah rumah ini, Anna," terang Malik.
Malik sendiri tidak terlalu memikirkan bagaimana dekorasi rumahnya, bagaimana dengan warna gorden, atau pun warna dinding. Ia hanya menempati rumahnya dan mengerjakan tugasnya. Malik tak pernah sempat memikirkan hal lain.
"Baiklah, kalau begitu, Malik. Terima kasih," ucap Anna.
*
Pagi sekitar jam 9, Anna berkeliling dengan ditemani Lily juga beberapa pelayan.
Rumah Malik cukup besar, dan perlu beberapa orang untuk menemaninya. Akan ada perubahan besar-besaran yang ia lakukan.
"Ini kamar Nyonya dan Tuan Besar, Non." Lily berhenti pada satu pintu kamar di bagian barat, bagian rumah yang jarang terjamah. Tak ada satu pun yang berani melewati tempat itu, karena terlihat seram. Seperti rumah hantu.
"Kamar papa dan mama Malik," gumam Anna. Ia sedikit penasaran, meski bulu rimanya merinding.
"Aku ingin masuk, Lily. Apa kamu masih punya kunci kamar ini?"