Bab 07. Terdampar Di Negeri Asing

Dan entah berapa lama kesadaran dan dunia hilang dalam ingatannya, ia tak tahu. Ketika siuman, ia mendapatkan dirinya telah berbaring lemah di atas tempat tidur sederhana dalam sebuah rumah yang juga sederhana, namun demikian asing. Ia seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi buruk yang panjang dan melelahkan.

Ia memeriksa keadaan dirinya. Tubuhnya hanya terbungkus oleh sebuah selimut putih kusam yang terasa kasar di tubuhnya. Di balik itu ia sama sekali tak mengenakan apa-apa. Ia menepuk pipinya berkali, ia merasakan sakit.

“Oh, ternyata aku masih hidup. Terima kasih Dewata Agung, karena Engkau masih memberiku kesempatan untuki hidup,”gumamnya pelan, seolah-olah kepada dirinya sendiri.

Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya.

"Saya di mana? Maaf, Anda berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk.

"Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, sembari membantu memperbaiki kembali posisi baring Hongli. "Tuan sedang berada di ibukota Kerajaan Tambora. Nama saya La Mbila, pemilik gubuk ini. Dan ini La Hiri, isteri saya. Saya seorang nelayan. Dua hari yang lalu saya menemukan Tuan terombang-ambing tak sadarkan diri di tengah laut."

Jenderal Hongli memejamkan matanya sesaat, mengingat kembali kejadian yang dialaminya, lalu berkata dengan suara agak parau. "Oh, iya. Perahu saya memang mengalami kehancuran akibat dihantam badai laut. Saya menyelamatkan diri dengan menggunakan papan pecahan perahu. Kemudian saya tak sadarkan diri akibat kelelahan. Ooh, rupanya Dewata Agung masih memberi saya kesempatan untuk hidup. Dan saya sangat berterima kasih kepada Anda berdua, karena telah menyelamatkan saya."

"Maaf, sebenarnya Tuan ini berasal dari negeri mana...?" bertanya La Mbila dengan suara pelan.

"Ooh, iya. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Hongli. Saya berasal dari Dataran Sinae...," sahut Jenderal Hongli. Namun ia harus menyembunyikan jati dirinya dahulu. Ia telah mengambil keputusan untuk meninggalkan negeri dan segala derajat yang disandangnya. Jadi ia harus merahasiakan tentang siapa dirinya sesungguhnya. Ia bertekad untuk memendam dalam-dalam masa lalunya itu. Cukup dirinya sendiri saja yang tahu.

. Dalam tempo beberapa hari saja kondisi Jenderal Hongli telah pulih. Ia sangat berterima kasih kepada La Mbila dan La Hiri. Berkat jasa mereka, sehingga ia mampu menatap kembali dunia dan kehidupannya. Selama di pembaringan, pasangan suami-isteri itu demikian sabar dan tulus merawatnya. Bagi Jenderal Hongli, mereka bagai keluarganya yang lama dicari. Demikian juga bagi La Mbila dan La Hiri, Hongli bagaikan salah seorang keluarganya yang baru kembali setelah lama menghilang. Antara mereka benar-benar tercipta hubungan yang demikian erat, tanpa melihat bentuk fisik yang sangat nyata di antara mereka. Kasta dan derajat bagi Jenderal Hongli adalah kisah lalu yang akan dia lupakan. Karena kenyataannya, kini dia tidak lagi berada di negerinya, dan bukan siapa-siapa lagi. Hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana, asing, dan ia harus mulai menempatkan dirinya sebagai bagian dari keluarga itu.

Pun, bagi La Mbila dan La Hiri, tampaknya tidaklah keberatan jika laki-laki asing itu akan terus bersama mereka di rumah panggung sederhananya. Bila perlu buat selamanya. Untuk keperluannya, untuk sementara waktu biar mereka yang akan memenuhinya.

Demikianlah. Setelah hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan beberapa bulan pun tergenapi, mantan jenderal perang Kekaisaran Dinasti Ming itu sudah merasa kerasan tinggal bersama keluarga sederhana, La Mbila dan La Hiri. Suasana negeri asing itu terasa demikian tenang dan damai, membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan negeri dan masa lalunya. Sangat berbeda jauh dengan kondisi negerinya saat ditinggalkannya yang mulai porak-poranda oleh pemberontakan-pemberontakan.

Demi membalas kebaikan dan membantu perekonomian keluarga barunya itu, Jenderal Hongli tak sungkan-sungkan membantu pekerjaan apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga barunya itu. Bahkan hampir setiap hari, jika kondisi laut sedang tenang, ia ikut melaut bersama La Mbila. Ia sangat menikmati pekerjaan barunya ini.

Menurut La Mbila, biasanya dia selalu melaut bersama putra remajanya. “Tapi saat ini La Gunta Marunta, putra saya itu, sedang ikut penggemblengan untukj calon tamtama kerajaan,” ucap La Mbila sembari menarik jaring ikannya. "Sudah enam bulan ia di markas pusat angkatan perang kerajaan. Tapi setiap satu purnama ia pulang ke rumah.”

“Apakah saat ini sedang menjaring banyak prajurit perang baru?”

“Benar, Tuan Hongli. Saat ini Kerajaan Tambora sedang bersitegang dengan kerajaan tetangga yang berada di wilayah barat. Jadi mewajibkan setiap pemuda untuk bergabung dalam pasukan kerajaan. Ya, semoga Dewata Agung melindungi La Gunta, kerajaan, serta Paduka Sangaji dan keluarganya..!" (Paduka Sangaji = Paduka Raja).

Sore hari, saat memperbaiki kebocoran perahunya di pantai dekat rumahnya, La Mbila alias Ama Gunta kembali bercerita tentang kondisi kerajaan saat ini. Jenderal Hongli mendengarkan dengan seksama.

“Beberapa tahun yang lalu Kerajaan Tambora sempat bersitegang panjang dengan kerajaan di bagian barat, dan nyaris pecah perang. Sekarang pun keadaan yang sama kembali terjadi. Pecah perang kemungkinan bisa terjadi.”

“Penyebab utama ketegangan itu apa, Ama Gunta?”

“Biasalah, menyangkut batas wilayah kerajaan. Ada sebuah wilayah yang bernama So Kandinga. Masing-masing kerajaan mengakui bahwa wilayah yang subur itu miliknya. Ya, seperti itulah.”

“Masalah perbatasan biasanya memang menjadi alasan dua kerajaan atau lebih yang berbatasan bersengketa. Semoga dua kerajaan bisa dielakkan. Kedua belah pihak harus duduk di sebuah tikar untuk membicarakan persoalan itu secara bijak. Perang tidak pernah membawa dampak baik bagi pihak mana pun,” ucap Jenderal Hongli.

“Harusnya seperti itu,” sahut La Mbila. “Tapi permasalahannya, ada masalah lain yang menjadikan kedua raja enggan untuk saling bertemu dan duduk bersama dalam satu tikar. Masa lalu yang tak ada kaitannya dengan urusan kerajaan terbawa-bawa dalam masalah ini.”

“Kalau boleh saya tahu, masalah apa itu...?”

“Masalah asmara...!” sahut La Mbila sembari menoleh kepada Jenderal Hongli sekilas dan menuangkan air kendi ke dalam cangkir gerabah dan meminumnya. “Dulu permaisuri Sangaji Tambora merupakan tunangan dari sangaji di wilayah barat itu. Namun entah bagaimana ceritanya, gadis itu bisa dinikahi oleh Sangaji Tambora. Memang, dari segi kekuatan angkatan perang, Tambora jauh lebih kuat dari yang dimiliki oleh kerajaan di bagian barat itu.”

“Hm, urusan wanita! Mengapa mahluk bermabut panjang yang lemah ge,mulai itu selalu ambil peran dalam merubah seseorang bahkan peradaban dunia? Haiya...,” gumam Jenderal Hongli, seolah-olah pada dirinya sendiri. Seolah-olah kenangan pahitnya yang berkenaan dengan wanita itu kembali hadir dalam memori kepalanya. Perjalanan hidupnya pun berubah total, pun akibat seorang wanita. Ia harus meninggalkan kebesaran dirinya sekaligus negeri asalnya akibat tak mampu menanggung kepiluan hatinya oleh wanita dan asmara itu sendiri.

“Apakah Tuan Hongli berminat untuk menggabungkan diri di angkatan perang kerajaan?”

Pertanyaan itu sedikit mengagetkannya, dan bertanya balik, “Bukankah anggota tamtama baru itu khusus diperuntukkan bagi para pemuda saja?”