Bab 12. Memutuskan Untuk Menyepi

Dato Hongli bersahabat baik dengan Jenateke dari kerajaan lain, termasuk dengan Jenateke dari Kerajaan Mbojo. Oleh Jenateke Sangaji Mbojo ia pun dimintai untuk ikut membantu membangun pasukan perang yang kuat dengan memberikan pelatihan ilmu olah kanuragan kepada segenap prajurit kerajaan.

Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran.

Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang bernama Sorowua. Di situ dia mengasingkan diri, untuk menyucikan diri dari dosa-dosa keduniawiannya.

Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran.

Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang bernama Sorowua. Di situ dia mengasingkan diri, untuk menyucikan diri dari dosa-dosa keduniawiannya.

* * *

Di sebuah tempat yang cukup lapang yang berumput tebal dan dikelilingi oleh pohon-pohon dan bebatuan cadas raksasa di sana-sini, si bocah sakti, La Mudu, terus melatih olah kanuragannya tanpa mengenal lelah. Gerakannya demikian cepat, meloncat ke sana ke mari. Kakinya menapak lincah dari pokok pohon yang satu ke pokok pohon yang lain, dan kadang melakukan salto dari punggung batu cadas yang satu ke batu cadas yang lain.

Lalu suatu kali tubuhnya berputar sangat cepat seolah sebuah gasing hidup yang besar, dan tau-tau tubuhnya lenyap di tempatnya, lalu terlihat permukaan bumi menggelembung panjang karena ada benda yang menjalar cepat di bawahnya, lalu...

“Heaaah...!”

Tubuh La Mudu muncul dari dalam bumi dan melesat ke angkasa. Sesaat kemudian tubuhnya meluncur ke bawah bak sebilah meteor, dan...

Bumm...!!

Tubuhnya langsung melesak ke dalam bumi. Sesaat senyap, namun tak lama kemudian...

Blarrr...!!

Ledakan besar menggetarkan permukaan bumi di sekitar bersamaan melesat keluarnya tubuh La Mudu. Untuk kedua kalinya tubuh si bocah sakti melesat ke angkasa.

Sesaat kemudian terasa udara demikian panas. Tubuh La Mudu terlihat turun dengan posisi seperti orang duduk bersila sembari bersemedi sembari meletakkan tangan kanannya di depan dadanya dengan jari-jarinya menyentuh bibirnya. Sesampai di bawah, tubuhnya bertengger tepat di atas punggung sebuah batu cadas besar yang rata.

Selanjutnya ia menyerap energi murni dari alam sehingga kekuatan tubuhnya kembali terisi. Setelah ia membuka matanya, dan...

“Huup..!”

Ia meloncat turun dengan gerakan yang demikian lincah dan ringan. Saat kedua tapak kakinya menyentuh permukaan bumi, tak terdengar suara gemerisik apa pun yang terdengar. Ia melangkah ke arah selatan.

Kemudian pada sebuah daerah yang permukaannya tertutup kabut abadi, si bocah lenyap. Ternyata ia menuruni dinding batu yang merupakan mulut dari sebuah jurang sempit dan curam. Dengar gerakan yang demikian ringan dan lincah, tak kakinya meloncak memijat kedua dinding tebing cadas hinga sampai di dasar jurang.

Di bagian dasar jurang itu merupakan tempat lapang yang membentuk sebuah ruangan panjang dengan lantai berbatu yang datar. Di depan lantai panjang itu mengalir sungai kecil bawah tanah yang berair sangat jernih.

Dan di sebelah beranda alam itu terdapat sebuah lubukan yang cukup luas dan dalam namun airnya demikian jernih. Karena demikian jernihnya seluruh dasar lubukan berikut beragam ikan yang hidup di dalamnya dapat dilihat dengan jelas. Dari pantulan permukaan air jernih itulah yang mampu menerima bias dan menyebarkan cahaya ke dalam dasar jurang. Namun tetap saja beberapa pelita yang terbuat dari kacang buah jarak pagar terpasang di beberapa dinding gua dan ruangan sehingga seluruh ruangan menjadi terang benderang. Di tempat yang sepi dan tenang itulah Dato Hongli berdiam sembari membesarkan dan digembleng sang pewaris sejatinya, La Mudu.

Saat berada dalam dasar jurang, La Mudu tak menemukan gurunya, Dato Hongli. Ia mencoba memanggil-manggil sang guru dengan menyebutnya Ato (kakek). Tetapi ia tidak mendengarkan sahutan dari orang yang dipanggilnya itu. Saat ia melongok ke bawah dasar lubukan yang berair jernih, ia melihat orang yang dipanggilnya. Ternyata Ato tampak sedang bersemedi di dasar lubuk. Semedinya aneh, yaitu dengan cara tidur telentang dengan melipat kedua tangannya di dadanya. Laki-laki berusia nyaris setengah abad itu seolah-olah tidak sedang tertidur di dalam air.

“Sudah mulai tua kisut, tapi menahan nafasnya masih sangat kuat...” gumamnya, lalu cekikikan sendiri.

Jika dihitung dengan keberadaannya dalam ruangan itu, maka rentang waktu aksi semedi aneh laki-laki yang masih terlihat sangat gagah itu sudah cukup lama.

"Atau jangan-jangan dia sudah…tewas?" desah La Mudu pula sembari mengetuk-ngetuk dagunya sendiri. Tiba-tiba muncul raut kesedihan dan kekhawatiran di wajahnya.

Sebuah batu sebesar lututnya sendiri yang berada di sisi dinding jurang ia pungut. Lalu dengan perasaan degdegan, batu itu dilemparkan ke dalam air.

Baju itu tepat mengenai dengkul sang gurunya, Dato Hongli. Tetapi si laki-laki yang sudah pantas punya cucu itu masih tidak bergerak sama sekali.

La Mudu makin khawatir. Ia pun memungut lagi sebuah batu nyaris sebesar kepala bayi. Ia angkat batu itu ke atas dan akan dilemparkannya lagi ke dasar lubuk. Namun sebelum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba...

Bughh!!

Satu gumpalan angin tiba-tiba menghantam punggungnya dan membuat ia tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lalu tercebur ke dalam lubukan. Di dasar lubukan Dato Hongli tertawa sehingga menimbulkan gelembung air yang susul-menyusul di permukaan.

Sesaat kemudian tiba-tiba tubuh Sang Dato melesat ke atas dan mendarat dengan mulus di lantai pinggir lubukan dengan posisi bersila. Ia tersenyum dambil manggut-manggut. Timbul niatnya untuk mengusili sang pewarisnya yang masih berada dalam lubukan itu.

Laki-laki yang pernah masyhur dengan julukan Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) di masa lalunya itu menggerakkan kedua tangannya dengan gerakan berputar meliuk-liuk sembari mengumpulkan sebuah kekuatan tenaga dalam yang cukup besar.