Langkah Awal Dirga

Jam makan siang tiba, Karin sudah sibuk dengan telepon genggamnya. Hal itu menarik perhatian Eliza, karena yang dia tahu Karin itu adalah orang yang tidak terlalu senang bermain telepon genggam apabila tidak ada yang penting.

"Rin, kamu pesan makanan dari ojek online?" tanya Eliza.

"Enggak. Kenapa El?"

"Kirain, soalnya kamu sibuk banget dari tadi. Aku pikir kamu lagi pesan makan."

"Ooh…" Karin tersenyum, padahal dia sedang mengirimkan pesan pada Dirga agar segera datang ke puskesmas.

"Rin, mau makan di luar gak?"

"Ehmmm, ini aku dikabarin sama Mamah katanya lagi masak masakan kesukaanku. Ini lagi di jalan…"

"Tante antar makan siang kamu?"

"Iya, aku bilang dibawain buat kamu juga kok. Kita tunggu bentar ya El, gak lama kok."

"Ya ampun, merepotkan banget dong aku…"

"Enggak dong, kan sekalian mau ke sini juga."

"Ehmmm, tapi aku jadi gak enak."

"Santai saja," ujar Karin tersenyum. Tidak berapa lama ada pesan masuk pada telepon genggamnya, "Sudah sampai El," ujar Karin lagi.

"Ya sudah, kita ke depan yuk…" ajak Eliza berdiri.

"Gak usah, kita tunggu di sini saja."

"Loh, kok gitu? Kasian Tante dong…"

"Bukan Mamah juga yang antar El, tapi Dirga. Biar saja dia capek sedikit, jarang-jarang dia mau begini…"

"Ooh…" Eliza menganggap semua itu memang benar seperti itu, dia tidak menaruh curiga sedikitpun, karena dia tahu kalau Karin dan Dirga suka bercanda, jadi tidak heran lagi mereka saling jahil satu sama lain.

"Permisi…" Dirga sudah di depan ruangan mereka dengan menenteng bungkusan makanan.

"Akhirnya datang juga, lama banget sih…" sahut Karin.

"Iya, tadi lumayan lama mengantrinya," jawab Dirga kemudian mengalihkan pandangannya pada Eliza, "Hai El…" sapa Dirga.

"Hai…, eh bentar deh tadi Karin bilang Tante yang masak, terus kenapa Mas Dirga sekarang bilang mengantri beli makanannya? Maksudnya gimana sih Rin?"

"Ehmmm… iya itu tadi Mamah ehmmm…" Karin bingung mencari alasan, dia mencoba mencari pembelaan dari Dirga, tapi Dirga tidak mengerti maksud kode yang diberikan Karin.

"Kenapa sih Rin?" tanya Dirga bingung.

Karin gelagapan, "Jadi gini El, aku tadi kepengen banget makan ini. Terus minta mamah masakin, ternyata malah dibeli. Mamah suruh Dirga yang antar, kalau aku yang minta Dirga buat antar ke sini pasti gak akan mau. Iya kan Ga?" Karin mengerlingkan matanya kembali pada Dirga.

"Ehmm, iya. Iya begitu…" jawab Dirga tidak meyakinkan.

Eliza hanya melirik mereka bergantian, Eliza sudah mengerti pasti ada yang mereka berdua rencanakan. Tapi belum Eliza bertanya tentang apa di balik semua ini, Karin buru-buru ke luar. "Eh, bentar ya aku ke toilet dulu. Kalian di sini dulu ya…" Karin langsung pergi.

Suasana menjadi canggung, Eliza kembali duduk di meja kerjanya sementara Dirga duduk di dekat pintu. Mereka sama-sama diam, sama-sama malu memulai pembicaraan.

"Dimakan EL, makanannya. Nanti keburu dingin, gak enak loh…" ujar Dirga memulai pembicaraan.

"Iya Mas, tunggu Karin saja. Biar sama-sama makan, Mas Dirga gak makan?"

"Sudah tadi."

"Ooh." Eliza mengangguk, "Kalau sudah kenapa gak langsung pulang saja sih? Kenapa juga harus duduk di sini, Karin juga di toilet lama sekali sih…" gerutu Eliza di dalam hatinya.

"Oh ya El, kamu asli mana sih? Jogja?"

"Bukan Mas, aku asli Jakarta. Tapi kuliah di Jogja."

"Ooh, di Jakartanya dimana?"

"Jakarta Barat Mas…"

"Ooh, sering pulang ke Jakarta?"

"Akhir-akhir ini sudah jarang, karena waktu co-ass kemarin sudah padat sekali waktunya, terus sekarang masa internsip juga lumayan padat. Jadi susah cari waktunya balik ke Jakarta."

Pembicaraan mereka mulai mengalir, mulai dari hal-hal umum sampai akhirnya Dirga memberanikan diri meminta nomor kontak Eliza. "El, aku bisa minta nomor kontak kamu gak?"

"Boleh," jawab Eliza tanpa keberatan sedikitpun. Eliza langsung memberikan telepon selulernya pada Dirga, "Simpan saja nomor Mas Dirga di sini."

Respon Eliza jauh di atas ekpektasi Dirga, tentunya hal ini membuat Dirga merasa diterima Eliza. Setelah mereka bertukar nomor kontak, mereka masih lanjut mengobrol. Sampai waktu tidak terasa berjalan, jam istirahat sudah habis. Beberapa karyawan puskesmas sudah mulai kembali ke ruangan.

"Ya sudah El, aku balik dulu ya."

"Oke Mas."

"Ehmm, itu jangan lupa dimakan ya."

"Oh iya Mas, makasih loh ya sudah antar makan siang buat kami."

"Santai saja. Oh ya, kalau besok-besok aku hubungi kamu, boleh kan?"

"Boleh. Memangnya aku siapa sampai gak boleh dihubungi?" canda Eliza.

"Ya kan siapa tahu saja ada yang marah." Dirga mulai memancing, sayangnya Eliza tidak terpancing. Dia hanya tersenyum.

Eliza mengantar Dirga sampai pintu. Dirga melangkah ke luar dengan suasana hati yang berbunga-bunga, langkah pertamanya mendekati Eliza cukup mulus.

"Woiii…, main pergi saja. Gimana? Direspon gak?" Tiba-tiba Karin muncul di belakangnya.

"Ya gitu deh…"

"Gitu gimana?"

"Aku sih gak tahu ini namanya direspon atau enggak, tapi paling tidak dia gak keberatan aku minta nomor kontaknya dan gak masalah kalau suatu saat nanti aku hubungi dia. Menurut kamu ini awal yang baik atau enggak?"

"Ehmmm, biasa saja sih menurutku. Belum bisa dibilang gimana-gimana. Terus kamu mau maju atau sudah sampai di sini?"

"Ya maju dong, lihat saja entar kamu sama Eliza akan menjadi saudara ipar…" ujar Dirga dengan percaya diri.

Karin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran melihat Dirga yang begitu ambisius mendapatkan Eliza.

***

Hubungan Eliza dan Eric masih berjalan baik, bahkan mereka semakin dekat. Malam ini, Eliza diundang keluarga Eric makan malam. Dari sore Eliza sudah sampai di Jogja, dia tidak tahu dalam rangka apa dia diundang oleh keluarga Eric.

Jam 7 malam, Eliza dijemput Eric ke hotel. Dari pakian Eric, sepertinya acaranya tidak terlalu formal. Karena Eric hanya menggenakan kaos putih berkerah dan celana katun.

"Ric, ada acara apa sih kita makan malam di rumah kamu?"

"Gak ada apa-apa, Mamah saja yang punya ide untuk acara ini."

"Tumben…"

"Mamah kangen kali sama kamu…"

"Yang kangen Tante atau kamu?"

"Kalau aku jangan ditanya lagi El, maunya tiap hari itu ya sama kamu…" ujar Eric sambil merangkul pundak Eliza.

Sekitar setengam jam, mereka sampai di rumah Eric. Di sana sudah ada kedua orang tua Eric dan juga Mia. Semua menyambut Eliza dengan ramah.

"Kita langsung makan, atau ngobrol dulu nih?" tanya Mamah Eric berbasa-basi.

"Sepertinya makan sambil ngobrol, asik deh Mah. Biar lebih santai Mah," sahut Mia.

"Boleh juga, ya sudah kita langsung makan malam saja yuk…"

Mereka semua sudah lama kenal, sehingga sudah tidak canggung lagi satu sama lain. Obrolan mereka diselingi canda sesekali.

"Ehmm… jadi gini El, Tante dan Om panggil kamu ke sini sebenarnya ada yang ingin kami sampaikan."

Wajah Eliza langsung berubah menjadi serius, "Apa Tante?" tanya Eliza pelan.

"Kamu dan Eric sudah lama bersama, dan Tante yakin kalian juga serius dengan hubungan ini. Tapi belakangan ini kesehatan Eric bermasalah, kamu tentu tahu itu. Tanpa Eric memberitahu kamu, pastinya kamu sudah bisa menebak apa sakit Eric kan?"

Eliza tidak menjawab, dia menatap Eric yang duduk di depannya.

"Sudah lama, Tante bilang sama Eric agar kasih tahu keadaannya sama kamu. Agar tidak ada yang ditutup-tutupi dari kamu. Tapi kata Eric dia belum siap untuk berterusterang sama kamu. Dia memilih untuk menyimpannya sendiri. Tapi Tante pikir, cepat atau lambat kamu harus tahu ini."

Eliza mencoba mencari jawaban dengan menatap Eric, tapi Eric tidak sanggup membalas tatapan Eliza, dia menunduk.