Dirga mengantar Eliza pulang, persis di depan rumah Eliza. Kebetulan, Ibu Fadila sedang berada di depan, "Itu Ibu ya El?" tanya Dirga.
"Iya Mas."
"Aku turun ya, gak enak kalau pergi begitu saja."
"Ehmmm, boleh. Yuk …."
Mereka turun bersamaan dan segera menghampiri Ibu Fadila. "Bu .…" panggil Eliza.
"Eh kamu El, Ibu kira siapa yang turun di depan rumah." Ibu fadila melihat Dirga yang berdiri di belakang Eliza, "Siapa El?"
"Ini Mas Dirga Bu."
Dirga maju dan menyalami Ibu Fadila, "Saya Dirga Bu," ujar Dirga sopan.
Ibu Fadila mengangguk, nama itu tidak asing di telinganya. "Kalian teman kuliah?"
"Bukan Bu, kita dulu kenal waktu di Magelang. Kebetulan saya sedang ada keperluan di Jakarta, jadi saya ajak ketemuan Eliza tadi," tutur Dirga.
"Ooh, masuk dulu .…"
"Ehmmm, lain kali saja Bu, saya masih ada keperluan. Eliza juga sebentar lagi akan praktik juga. Lain kali saja ya Bu .…"
"Ooh, baiklah kalau begitu."
"Iya Bu, saya pamit dulu ya Bu." Dirga kembali menyalami Ibu Fadila, "El aku pulang ya." Tidak lupa Dirga pamit pada Eliza. Eliza mengangguk. Setelah mobil Dirga pergi, Eliza hendak langsung masuk ke kamar, tapi ditahan Ibu Fadila.
"El, sebentar .…"
"Ada apa Bu?"
"Dirga itu yang telepon kamu tempo hari kan? Yang buat kamu sampai ketawa-ketawa gitu?"
"Ehmmm, iya Bu."
"Kalian semakin dekat?"
"Enggak Bu, cuma sekedar teman saja."
"Ingat loh, kamu sudah punya Eric."
"Belum lah Bu, kan belum sah. Belum menikah dan belum tercatat secara resmi," jawab Eliza dengan bercanda.
"Kamu kan yang gak mau kemarin?"
"Ah Ibu … jangan bahas masalah ini deh sekarang. Keadaa Eric juga gak terlalu baik juga kok."
"Gak terlalu baik gimana?"
"Tadi siang saja, dia masuk rumah sakit. Dirawat di ICU lagi."
"Oh ya? Dia drop lagi?"
"Iya gitu deh … keadaannya gak kunjung membaik," ujar Eliza datar.
"Kok kamu gitu sih El? Seperti gak ada empatinya sama sekali? Jangan bilang kamu mulai merasa hambar dengan hubungan kalian karena Eric sakit-sakitan, dan jangan bilang juga ini ada hubungannya dengan Dirga," cecar Ibu Fadila.
Eliza menghela nafasnya, "Bu, jujur aku lagi bingung. Di satu sisi aku ingin mengejar impianku tapi di sisi lain aku merasa pesimis dengan impianku melihat keadaan Eric sekarang. Aku lihat dia itu seperti gak punya keinginan untuk sembuh gitu loh, jadi aku bingung hubungan kami mau dibawa kemana."
"Kenapa kamu bilang Eric gak niat untuk sembuh?"
"Selama di Jerman ternyata dia gak mengikuti semua proses pengobatannya, dia bolak-balik minta pulang, minta ke Jakarta …."
"Minta ketemu kamu?" potong Ibu Fadila. Eliza mengangguk lemah. "Itu artinya dia merasa akan sembuh kalau kamu di sampingnya, jadi kamu sekarang harus kasih dia dukungan secara langsung dong El," tambah Ibu Fadila.
"Bu, Eric itu kanker paru stadium lanjut loh. Aku sudah banyak baca jurnal mengenai jenis kankernya Eric ini, kemungkinan kesembuhannya itu kecil sekali Bu. Dan kebanyakan, hanya bertahan beberapa sebentar saja kalau sudah sampai pada stadium lanjut. Kasarnya mereka hanya mengahabiskan uang di sisa hidup mereka. Jujur aku gak sanggup Bu."
"Husss … kamu jangan mendahului Tuhan. Kata kamu kemungkinan sembuh itu, kecil berarti masih mungkin untuk sembuh kan? Masih ada harapan kan? Harapan itu yang kamu jaga dan kamu yakinkan pada Eric, kalau dia harus tetap bertahan dan hidup. Bukan malam pesimis seperti ini."
"Tapi Bu, aku bicara secara logika loh."
"Terus kamu mau tinggalkan Eric?"
Eliza tidak menjawab, hatinya ingin berkata iya tapi bibirnya terkunci rapat. Dia tidak sanggup mengatakan itu. "Entahlah Bu, aku juga gak tahu."
"El, sekarang yang kamu perlu lakukan untuk Eric adalah memberikan dia dukungan penuh. Kamu gak bertanggung jawab atas hidupnya, karena kalian masih sebatas berpacaran. Kamu gak perlu takut dengan hal-hal yang masih jauh, mengenai mimpimu ke depannya kan masih bisa sambil jalan. Gak susah kan kuliah, kerja sambil memberikan dukungan pada Eric? Lain halnya kalau kamu diminta untuk menikah sekarang, kamu boleh pikir-pikir dulu, itupun kalau kamu memang tulus harusnya itu gak masalah."
"Hah? Gak masalah? Bu, Eric itu sudah bolak-balik masuk rumah sakit. Kalau suatu saat nanti, amit-amit dia meninggal aku gimana? Ibu mau aku menyandang status janda diusia muda?"
"El … El … umur itu ada di tangan Tuhan. Kamu bisa menggunakan logika, berpikir secara ilmiah. Tapi jangan lupa di atas sana ada penentu hidup."
"Iya Bu, aku paham kok. Ya sudah Bu, sudah hampir jam 6 aku masu siap-siap dulu." Eliza menghindari Ibunya, dia tidak ingin berdebat lebih panjang lagi mengenai masalah ini.
***
Dirga merasa langkahnya mulus untuk mendekati Eliza. Dia sudah tidak sabar mengabarkan berita ini pada Karin. Setelah sampai di hotel tempat dia menginap, Dirga segera menghubungi Karin.
"Halo Ga, kenapa?" Sura Karin terdengar dengan jelas.
"Lagi dimana?"
"Baru saja sampai rumah, kenapa?"
"Ehmmm, aku mau cerita .…"
"Jangan bilang cerita tentang Eliza lagi .…"
"Terus mau cerita apa lagi yang mau aku ceritakan sama kamu, kalau bukan tentang Eliza?"
"Hemmm, dasar kamu ya … cerita apaan?"
"Rin, aku semakin yakin mendekati Eliza deh."
"Kenapa?"
"Jadi kan kami tadi ketemu, terus kita ke kafe tuh cerita-cerita. Di luar ekspektasi aku, Eliza cerita banyak tentang Eric."
"Serius? Apa saja?"
"Intinya sih tentang sakitnya Eric, dan yang aku tangkap Eliza mulai ragu dengan hubungan mereka."
"Ehmmm, terus yang buat kamu berbunga-bunga apa?"
"Begini loh Rin, kemarin aku sedikit ragu untuk meneruskan niatku mendekati Eliza, karena statusnya masih sama Eric .…"
"Ini kan juga masih sama Eric .…" potong Karin.
"Makanya kamu dengarkan aku dulu, jangan asal potong saja," gerutu Dirga.
"Iya maaf deh, lanjut."
"Nah jadi dari ceritanya tadi, aku menarik kesimpulan Eliza sudah mulai ragu dan tidak yakin dengan hubungan mereka. Itu artinya tanpa aku mendekati Eliza pun, hubungan mereka akan berakhir kan? Jadi aku bukan orang ketiga diantara mereka. Benar kan?"
"Ya, bisa dibilang begitu sih. Tapi, memangnya Eliza ada niat putus sama Eric?"
"Aku rasa ada."
"Hemmm, kemarin waktu kami cerita dia belum ada bicara masalah ini sih. Coba deh minggu depan aku kan ke Jakarta, nanti aku ajak ketemuan terus tanya lebih detail lagi."
"Rin, promosiin Mas mu yang ganteng ini ya .…" canda Dirga.
"Dih … ogah!"
"Ayolah Rin, beramal sedikit kenapa sih? Pelit amat .…"
"Lihat nanti ya, kalau memang dia sudah mulai ragu sama hubungannya aku promosiin kamu deh. Tapi kalau ternyata dia masih mau lanjut sama Eric, ya maaf aku gak bisa apa-apa."
Dirga sangat berharap dia mendapat dukungan dari Karin, dia yakin bantuan Karin sangat berguna untuk memuluskan semua rencananya mendapatkan Eliza.