Dapat Perhatian

Canda tawa memenuhi ruang makan.

"Jadi belajar tidak Nisya?"

"Iya dong Mas Galih. Fariz ... tante pinjam ayahnya dulu ya," kata gadis manis yang lalu duduk mendekat. Fariz melihat Kanaya.

"Mama ..." panggilnya penuh riang.

"Emmm. Ponakan Mama, harus semangat sekolahnya." Kanaya merasa kesakitan namun dia menahan rasa sakit di punggungnya.

Anisya mendengarkan yang memberikan contoh, desain untuk dipelajari.

"Kalau beli semua di mana Mas?" tanya gadis itu.

"Di toko kue, ya jelas di toko buku bilang saja kampas, cari kertas yang lebar dan tidak mudah rusak. Nanti aku antar," ujar Galih yang lalu meletakkan pelaratannya.

Mereka semua duduk lalu makan bersama. Kanaya menarik kursi.

"Dari mana semalam?" tanya Opa, Kanaya mengecup punggung tangan Opa lalu seorang laki-laki paruh baya yang duduk di atas kursi roda, lalu Kanaya menarik kursi dan duduk.

"Bertemu Fian dan Fito Opa," jawaban Kanaya membuat semua mata tertuju padanya.

"Fian? Lama tidak kemari, suruhlah kemari, nanti dikira, Opa sama pamanmu membeda-bedakan, padahal Opa juga sayang sama dia," ujar Opa menatap Kanaya.

"Lenganmu kenapa Kak?" tanya seorang gadis yang mirip dengan Anisya namun berambut pendek dan sangat terlihat tomboy.

Azam datang lalu duduk, Kanaya menatap Azam yang fokus menyiapkan makanan untuknya. Opa menghadap ke Kanaya lalu melihat lukanya, Kanaya menumpukkan tangan di lengan keriput itu.

'Aku tidak mau Opa salah faham ke Fian, mending bohong, semoga Fian tidak mengulangi keegoisannya lagi,' batin Kanaya.

"Menyelamatkan Fian dari orang jahat, tidak papa hanya luka kecil, Opa ... lagian dari dulu aku jago silat, tenang, apa Fian, boleh tinggal di sini?" tanya Kanaya.

"Dari dulu Opa dan pamanmu ini, meminta, tapi dia tidak mau, apa sekarang dia mau tinggal di sini, kita kumpul-kumpul?" tanya paman.

"Mending jangan, dia arogant dan

...." sahut gadia tombouy, tiga saudaranya menatapnya, dia menelan ludah. "Iya, iya ... terserah kalian, aku siap-siap Kak, aku baru saja melamar untuk menjadi kariawan baru kalau telat gawat. Dan Kak Nisya ajari aku pakai hijab ya, maaf untuk niat awal karena rambut belum dari hati," kilah gadis itu karena salah tingkah saat semua menatapnya.

Azam mengambilkan roti untuk Kanaya, karena Kanaya terlihat kesulitan.

"Mas Azam, aku ada resep, aku berharap Mas bisa membuatnya."

"Boleh ... tapi ... restoranku dan caffe juga mengikuti ajang, selama tiga hari, kapan-kapan saja ya, soalnya masih mengatur waktu, aku harus segera ke Hotel," jelas Azam sambil mengambilkan slei ke roti Kanaya.

"Kenapa kamu tidak bilang?" tanya Kanaya dengan suara meninggi.

"Makan dulu," ujar Azam lalu pergi dari ruang makan.

"Mama Aya, tante Sya, kami pamit sekolah ya," ucap Fariz lalu sungkem, Galih lalu mengecup putra kecilnya.

"Sayang hati-hati, Opa, paman aku je kamar dulu ya," pamit Kanaya. Azam pun di beri kode Paman dan Opa untuk mengikuti Kanaya.

***

Kanaya baru keluar dari kamar mandi,Azam duduk di pinggiran ranjang.

"Sekarang mau kemana? Biar aku antar," ujar Azam dengan wajah datar.

"O ... bisa antar ya? Sudah terlanjur pesan taksi," jawabnya sambil menyisir rambut dia memandang Azam dari cermin. Azam yang terus memperhatikannya. "Apa perlu aku batalkan pesanan taksinya?" imbuhnya bertanya dan melegakan perasaan suaminya, sampai berbalik arah.

"Jangan memandangiku, kemarin saat di Bandung itu kecelakaan!"

"Ciye ... kenapa Nona tiba-tiba bahas itu?" tanya Azam membuat Kanaya malu.

"Ah, apa sih. Lebay," keluh Kanaya dengan wajah malas dan segera mengambil handuknya.

"Aya." Azam mencegahnya.

"Apa lagi?" tanya Kanaya dengan mimik wajah bosen.

"Itu handukku," jawab Azam memandangnya sambil menarik handuk yang dipegang Kanaya. Tangan kirinya meraih handuk biru. "Ini kamu ingin, mandang aku terus, emmm," ledek Azam, dengan raut wajah datar Kanaya masuk ke kamar mandi lagi.

'Sebenarnya perutku tidak sakit, ah ... kenapa aku jadi begini?' batin Kanaya.

"Biar tidak membuang uang nanti aku antar. Batalkan saja penasan taksi. Lagian aku suamimu."

"Tidak enak, kasihan lo supirnya," ujar Azam sedikit keras dan bersandar dari pintu luar kamar mandi.

Ceklek

Bruggg

"Appp."

Azam yang tidak pakai baju menahan lengan Kanaya. Keduanya saling menatap. Kanaya segera memutar mata memandang tempat lain dengan kosong.

"Kamu ngapain. Ambilkan vitamin rambut," pintanya, Kanaya bangkit dari pelukan Azam. Dia berbalik arah namun kakinya menginjak sabun jatuh, dia hendak terpleset dengan cepat Azam menahan punggungnya dengan cepat Azam mendirikannya, Kanaya berdiri.

"Seharusnya beri jeda dan saling menatap sejenak," keluh pasrah dari Azam yang menginginkan adegan heroik dan saling menatap penuh arti, namun apa daya semua hanya keinginan Azam.

"Halu. Kamu itu. Heh." Kanaya tidak sabar dia mengambil sendiri.

"Gemes?" ledeknya sambil menatap istrinya penuh senyuman dengan penuh harap.

"Nanti taksinya bayar saja. Kamu tetap pergi bersamaku," ujar Azam tanpa memandang Kanaya dan terus berjalan ke kamar mandi.

"Bilang saja, kangen kan ... tadi malamkan tidak bersama," ledeknya sambil senyum-senyum sendiri.

"Jangan gila!" ujar Kanaya masuk kamar mandi lalu menutup pintu dengan keras, Azam menutup rapat bibirnya.

Azam itu memakai celana comprang dengan kaos abu-abu.

Kanaya keluar dari kamar mandi. Dia hanya memakai baju mandi.

Melihat Kanaya yang kesusahan Azam mendekat dan membantu Kanaya memakai baju. Kanaya tercengang lalu menutup kedua matanya.

"Jangan pikiran yang macam-macam. Bilang saja aku memang keren," ujar Azam lalu meraih baju Kanaya dari lemari.

"Awas mlorot. Nanti kelihatan," tegur Azam dengan jahilnya.

"Ih tidak lucu! Nih bantu obati punggungku! Sini." Kanaya menarik tangannya, Azam lalu mengobati luka bakar di tangan Kanaya dan mengoleskan obat peredam nyeri di punggung Kanaya.

"Ehem. Apa bagimu aku hanya memanfaatkan mu kan? Berarti pikiranmu seperti itu anggap saja seperti itu. Bukankah kita sama-sama mengambil keuntungan dalam pernikahan ini?" tanya Kanaya tidak menatap mata Azam.

"Ehem. Panggil Mas, napa? Apa beruntungnya aku? Istri yang masih membenciku. Keberuntunganku saat ini adalah keluarga dari kamu. Tidak papa kamu acuh. Namun, ada titik perhatianmu yang kecil seperti ini, sudah ada harapan dan mimpiku. Terima kasih nona," ucap Azam. Kanaya terbungkam dan masih diobati.

"Barang kali kita memang jodoh, sama-sama terkena luka bakar. Fian itu siapa? Mulailah terbiasa dengan kecerewetanku," ucap Azam.

"Stop. Suaramu itu sangat berisik!"

Ditegur, Azam membuang nafas dan menarik tangannya. Azam tidak memaksa untuk melanjutkan pengobatan.

"Alfian dan Anwar Adik Kakak. Mereka cucu dari suami kedua Oma. Sudah jelaskan?" Kanaya berdiri.

"O ... bundar," celutus dari sang suami membuat Kanaya menahan tawa. Azam diam-diam melihat senyum tertahan sang istri.

"Baru sadar kalau aku lucu, dari dulu, saking lucunya menyebalkan. Sadar diri sih aku," ujar Azam, Kanaya mengupas pisang lalu makan.