Ha ...?

"Khairul Azam atau Ilham Munir, pilihlah dari dua nama itu," pinta Opanya yang menatap wanita cantik itu.

"Aku pilih yang Azam saja," jawabnya enteng tanpa mikir. 'Lagian nantikan bisa cari alasan hingga tidak jadi perjodohan. Pikirkan ide lagi agar lepas dari ikatan perjodohan yang sudah direncakan Opa,' batin Kanaya.

"Alhamdulillah ... Besok kita pergi Bogor," jelas Opanya.

"Iya terserah Opa. Ha ...? Secepat itu," jawabnya pasrah lalu sadar dan memprotes. Kanaya seketika manyun.

'Opa kali ini bertindak cepat, secepat kilat. Bagaimana aku nanti bisa menghindar, ah ... pelan-pelan pasti bisa lepaslah,' pikir Kanaya dalam hati.

"Yang legowo, jangan seperti itu," tegur Opanya yang melihat Kanaya dengan wajah malas.

"Opa jangan membuat aku salah gitu dong, baik Opa, pilihan Opa adalah yang terbaik untukku, aku yakin dia pria yang baik, Eh Opa, dia ganteng tidak?"

"Kamu sukanya yang mana yang ganteng ya?" Opanya balik bertanya.

"Aku malah suka yang biasa saja," jawab dari Kanaya membuat Opanya lega. "Tapi lebih baik sama Nisya saja yang Opa nikahkan." Dia kembali mengelak dan melemparkan perjodohan itu ke Adiknya.

"Heh dasar. Opa hanya menjodohkan kamu dan Azam, ingat besok pakai pakaian kebaya batik, jangan seperti ini. Masa niat melamar pakai baju ngantor."

"What!!! secepat itu Opa? Wanita melamar? Kenalan dulu, apa itu bahasanya ta'aruf dulu lah Opa, Opa, ih ...." Wanita itu terus mengelak dan mencari celah agar dapat terbebas dari perjodohannya.

"Tidak bisa, besok langsung dilamar oleh mereka, Opa sudah sering chat dan vidio call," jelas Opanya belum selesai.

"Ih, dia tidak nolak Opa?" tanya Kanaya menyahut heran.

"Dia patuh dengan pilihan kedua orang tuanya. Bahkan Abahnya sudah istikharah tentangmu, dia tidak matre dan pria cerdas, Opa sangat yakin kamu akan cepat jatuh cinta," jelas Opanya.

"Ya, ya, ya ya," tanggapan yang menyebalkan dari Kanaya.

"Ya Allah ... Naya Opa serius, dengar gadis Desa itu lebih bisa menghormati orang tua, IngsyaAllah, Opa dan keluarganya juga teman kedua orang tuamu, kamu dan Galih pasti ingatkan dengan Villa milik Ayahmu yang ada di Bogor, kamu juga pasti ingat dengan dia?" tanya Opanya, Kanaya mengedipkan mata dan berpikir.

"Lupa, kebanyakan tugas sih," jawabnya. "Eh, tunggu, Azam adalah panjol, ha ha ha, bagaimana bisa dapat julukan itu, ha ha ha," Kanaya tertawa lepas.

"Setidaknya kamu bisa tertawa biasanya kamu serius terus," ujar Opanya, Kanaya tertawa kecil.

"Bisa-bisa aku memanggilnya Panjol," gumamnya menahan tawa, melihat Opanya yang tiba-tiba murung.

"Opa, apa yang Opa fikirkan? Kok tiba-tiba wajahnya semakin keriput dan sedih, iya, iya Opa, aku mau dijodohkan dan dinikahi dia itu," ujarnya, Opanya menepuk lengannya.

"Au ... Sakit Opa, ternyata tenaga Opa masih kuar," candanya membuat Opanya menangis.

"Opa, Opa terindahku jangan menangis, ada apa?" Kanaya duduk di ranjang lalu memeluk Opanya.

"Opa hanya teringat kecelakaan dua puluh tahun lalu yang dialami Ayah dan Mamamu, saat kebakaran, di mana Opa dan kamu yang harus merawat Adikmu. Tugas Opa dan Om hanya ke Risya kali ini, Risya sangat takut dengan pergaulan bebasnya. Naya kini ... Tugasmu adalah kebahagiaan itu yang Opa inginkan sebelum Opa menutup mata, jadi kamu tolong fokus ke perjodohan ini, ya ... Masalah Risya itu urusan Opa dan Galih, sudah cukup kamu mengurus Adik-adikmu," pinta Opanya, Kanaya menghela napas lalu menghapus air mata Opanya.

"Iya Opa baik," jawab Naya berusaha melegakan perasaan pria yang disayanginya.

"Kamu tidak ingin tau wajah Azam, ganteng atau tidak?" tanya Opanya.

"Ya ... Masalah Ganteng atau tidak, ya mintanya ganteng namun kalau tidak ya tidak papa. Kadang wajah tampan pun hatinya tidak baik, dan kecantikan maupun ketampanan hanya titipan, Opa aku bukan Risya, yang melihat fisik, aku sudah menjadi Budenya Fariz, sekarang yang terpenting adalah calon suamiku sayang sama Opa melebihi aku, terima keadaan Opa yang cerewet," ucapannya belum selesai Opanya menjewernya.

"O ... Jadi Opa cerewet, Ha?" tanya Opanya.

"Ha ha ha. Ampun ... Oma, ha ha ha, kenyataan Opa, Opa cerewet, galak itu semua demi kebaikan kami, terima kasih Opa," imbuhnya, memeluk Opanya mereka tersenyum bahagia.

Pria keriput itu beranjak dari ranjang Rumah Sakit. "Opa mau pulang," pintanya sambil memakai sandal.

"Pasien sesuka hati ya hanya Opa, untung banyak uang," ujar Kanaya meledek Opanya, "Pura-pura kok sampai ngrepotin Dokter dan Suster," imbuhnya ikutan turun dari ranjang.

"Habis bagaimana lagi, Opa dan semua kehabisan cara untuk membujukmu nikah, lagian Opa memang mengambil salah satu perawat benama Ahsan, ganteng awas saja kalau Risya macam-macam, niatnya Opa akan mencomblangkan sama Nisya yang pendiam."

"Opa, Opa bukan biro jodoh, sudahlah biar Nisya memilih calonnya sendiri," ujar Naya yang lalu menuntun Opanya, keduanya keluar ruangan. "Opa, opakan masih pakai baju rumah sakit," tegurnya.

"Biarlah Opakan juga pasien RS ini," bantah Opanya, Kanaya hanya tertawa kecil. Opanya menghentikan langkah.

"Ahsan ... Ahsan ... Huk huk huk, ehkm," teriak memanggil lalu batuk, Kanaya menutup telinganya.

"Ola sih ... Sampai nyaring di dalam telinga nih, Opa ... Opa, sukanya menghabiskan tenaga," keluhnya.

Pemuda berpakaian perawat dengan jaket hitam, dengan tas kecil berlari ke arah CEO wanita itu.

"Ahsan kan?" tanya Opa, pemuda itu hanya mengangguk, "Ayo, kenalkan ini Tante Naya," ujar Opanya sambil berjalan dan menahan senyum, Kanaya membulatkan mata.

"Aku belum setua itu Opa, tapi aku juga seorang Bude, ha ha ha," ujarnya dengan wajah memelas. Naya berjalan lebih dulu, Ahsan menuntun Opa.