Meskipun Nabi Muhammad saw telah menegaskan dan memerintahkan agar Pasukan Usamah yang telah dibentuk segera berangkat, namun bukan hanya dimasa Nabi saw masih hidup pasukan tersebut tidak menjalankan tugas namun juga satu bulan pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Syaikh Mufid menukilkan mengenai penentangan dan penolakan Abu Bakar dan Umar atas dibentuknya pasukan Usamah. Syaikh Mufid menulis, "Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada Abu Bakar dan Umar untuk bergabung dalam pasukan Usamah, namun keduanya menolak. Alasan penolakannya saat itu belum diketahui. Sampai ketika Aisyah dan Hafsah gigih mengusahakan agar yang menjadi imam jama'ah adalah ayah-ayah mereka, maka alasan penolakan keduanya menjadi jelas."
Kembalinya Usamah
Dalam riwayat Waqidi Usamah pada malam 10 Rabiul Awwal bersama dengan sejumlah sahabat diantaranya Umar bin Khattab kembali ke Madinah dan menghadap kepada Rasulullah saw yang saat itu terbaring sakit di pembaringan. Sehabis itu Usamah kembali kepada pasukannya dan mengajak orang-orang untuk berjihad. Namun tidak lama, Usamah kembali lagi ke Madinah disebabkan adanya berita yang dibawa utusan ibunya Ummu Aiman bahwa Nabi Muhammad saw sedang sakit keras. Disaat yang bersamaan, Abu Bakar meninggalkan Madinah menuju Sunh di kediaman istrinya.
Menurut riwayat lainnya, istri Usamah mengutus seseorang untuk menyampaikan kepada Usamah mengenai kondisi kesehatan Nabi Muhammad saw yang semakin kritis. Hal itu membuat Usamah kembali ke Madinah dan ditemukannya Nabi Muhammad saw telah ia wafat. Ia bergabung dalam proses pemandian dan pengafanan jenazah Rasulullah saw.
Pentingnya Pasukan Ini
Pembahasan ini menjadi penting lantaran kehadiran Abu Bakar, Umar dan sahabat-sahabat besar lainnya dalam sebuah laskar atau pasukan di mana Rasulullah saw sangat menekankan agar mereka segera berangkat dan dikomandoi oleh Usamah, hal ini pula yang mendorong berbagai kalangan, di samping membahas masalah ini, menyinggung pula tentang kepribadian Usamah; misalnya Jahidz seorang Mu'tazili, menyebut kepemimpinan Usamah dalam pasukan tersebut sebagai suatu dalil atas keutamaan dan keunggulannya dan secara khusus menekankan sinergi dan kesepahamannya dengan para khalifah setelah Nabi saw. Demikian pula, telah dibahas tentang kebenaran imamah (kepemimpinan) orang yang tidak lebih unggul (mafdhul) walaupun terdapat yang lebih utama (fadhil) dengan kepemimpinan Usamah dan pasukannya.
Akan tetapi, Imamiyah berbicara tentang Abu Bakar dan penolakannya untuk ikut serta dalam pasukan Usamah. Subjek bahasan ini, terlepas dari bab khusus yang telah dikhususkan, bahkan menjadi subjek sebuah risalah (makalah) tersendiri dari salah seorang ulama Imamiyah pada abad ke-11 H yang bernama Muhammad Hasan Syirwani (1098 H/1687) dengan judul "Pasukan Usamah" .
Pengiriman Ulang pada Masa Kekhalifahan Abu Bakar
Ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Ia kembali mengirim Usamah dalam sebuah misi yang sama dengan yang pernah ditugaskan Nabi saw tanpa menghiraukan protes para sahabat-sahabat besar. Ia meminta hal itu kepada Usamah, hanya untuk mengangkat Umar sebagai pembantu Khalifah, dan menurut riwayat ini pula, Ia meyertai keberangkatan Usamah dengan berjalan kaki.
Berdasarkan sebagian referensi, pada mulanya Usamah tidak menyetujui kekhalifahan Abu Bakar dan hal ini nampak jelas dalam suatu surat yang dikirim dari Madinah oleh Abu Bakar ketika sudah menjadi menjadi khalifah serta jawaban tegas dan keras Usamah. tetapi, dengan memperhatikan sebagian isi surat tersebut yang diwarnai dengan perdebatan-perdebatan teologis tentang masalah Saqifah serta prilaku-prilaku Usamah lainnya yang searah dengan Khilafah, surat tersebut diperkirakan palsu. Bahkan menurut suatu riwayat, pasca wafatnya Nabi saw, Usamah menunggu perintah dari Abu Bakar.
Agresi ke Syam (Suriah)
Usamah melakukan agresi militer ke arah Balqa di Suriah dan menyerang wilayah Ubni serta berhasil memenangkan berbagai pertempuran dan menurut sebagian riwayat, Ia membunuh pembunuh ayahnya dan setelah 40 atau 60 hari kembali ke Madinah. Kemenangannya sangat menggembirakan masyarakat Madinah yang ketakutan dengan murtadnya kabilah-kabilah Arab.