Hempasan kenyataan

Bu jeni melihat suaminya yang duduk di taman tak jauh dari gedung rawat inap, sebatang rokok di tangannya, dan sekaleng bir yang menemaninya duduk di taman. Bu jeni semakin khawatir setelah melihat tindakan suaminya, ia mempercepat langkahnya.

" Papa " Teriak bu jeni dari jauh. Pak parman menoleh mendengar suara istrinya.

" Papa huntang penjelasan sama mama " Cercar bu jeni yang baru sampai di tempat duduk pak parman

Dengan air mata yang menetes, pak parman menggapai tangan istrinya, bu jeni yang mengerti air mata itu menggeleng dan sekuat tenaga menahan isakan tangis nya.

Pak parman menarik istrinya, untuk duduk di samping dirinya. Ia memeluk wanita yang sudah menemani hampir setengah abad hidupnya ini, mereka terlarut dalam tangis. Pilu, sangat pilu.

" Ma, mama harus kuat " Bisik pak parman.

Sang istri hanya menggeleng pasrah, ' tidak... Jangan katakan jika yang aku pikiran menjadi kenyataan, anak ku. Anaku.. ' batin bu jeni yang tak kuasa menahan sesak di dadanya.

" Beat di perkirakan dokter mempunyai tumor ganas ma " Ucap pak parman bergetar.

Bu jeni segera melepaskan pelukan itu " TIDAK, katakan itu bohong pa, beat itu anak yang sehat. Mama yang membawanya cek kesehatan bulan lalu pa, dia BERSIH, bersih pa.. Bersih " Tangis bu jeni pecah.

bukan hal aneh melihat orang yang menangis di rumah sakit. Tempat penuh kesedihan, tempat kenyataan yang sangat memilukan. Tempat air mata tanpa di paksa turun sendiri. Disinilah mereka berdua menangisi putri semata wayang nya itu yang menderita sakit tidak biasa.

" Ma, tapi itu hanya perkiraan dokter. Dokter menyarankan untuk pemeriksa lanjutan, papa sudah mengurusnya tadi, besok beat mulai di periksa. Semoga saja perkiraan itu salah ma " Permohonan pak praman, meluap dari hati yang paling tulus, berharap sang Maha Kuasa mendengar permohonan nya.

Bu jeni sesegukan meng Amin kan yang di katakan suami. Perih, sakit mengapa ini harus menimpa anak mereka. Bu jeni masih trauma pasca di tinggal sang bunda yang juga menderita penyakit kanker, kanker hati yang sangat menyiksa merenggut nyawa orang tercintanya.

Sesak dada ini, bergetar kaki ini saat ia menginjak rumah sakit yang sekuat tenaga ingin di lupakan nya, tapi mengapa anaknya, mengapa anaknya.

' Oh Tuhan, mengapa harus anak ku Tuhan, mengapa anak ku Tuhan, mengapa anak ku Tuhan,mengapa , mengapa.... ' batin bu jeni tersiksa. Bulir kristal itu turun tanpa permisi dan tanpa henti. Jerit kesakitan sang bunda kala cairan itu di sedot dari perutnya menggema di kepala bu jeni. Suami yang melihat tak kuasa menahan lelehan kepedihan ini, biarlah mereka lepaskan untuk hari ini. Biarlah perih itu di rasakan mereka hari ini, biarlah air mata ini lepas hanya untuk hari ini. Mereka orang tua yang kuat, mereka tidak akan menunjukan kesedihan ini di depan beat. Biarlah taman ini menjadi saksi kepiluan sepasang suami istri ini.

Di bawah terik panas matahari, mereka berpelukan saling menguatkan, lebih tepatnya pak praman yang memeluk sang istri, menguatkan jika mereka pasti bisa melalui semua ini.

....

Denial pov

Denial menggenggam tangan beat yang tertidur pulas, " Beat, jangan menyerah. Aku tidak akan menyerah beat, jadi tolong jangan menyerah " Gumam denial dengan genangan air mata. Mendadak denial menjadi pria yang mudah sekali meneteskan air mata.

Aku tulus mencintai mu beat, aku tidak akan melepaskan mu walaupun kau mengusir ku, kau wanita yang hebat beat, aku yakin kau pasti kuat. Batin denial

Beat merasakan sapuan halus di kepalanya, pemilik bulu mata lentik itu membuka matanya "sayang, aku teringat jika sebelum pingsan, aku belum sempat memasangkan cincin di jari mu " Jelas cintaku itu lemah.

Aku mengeluarkan cincin yang di jatuhkan beat, memberikan kepadanya " Ini sayang, kau mau memasangkannya sekarang " Ku sodrokan cincin itu padanya.

" Maaf kan aku sayang, aku mengacaukan pesta pertunangan kita, aku benar benar minta maaf " Ku hapus air mata itu, ku cium sebentar keningnya.

" Sayang, kau lebih penting dari acara itu, itu bukan kesalahan mu. Semua itu terjadi di luar kendali kita, kau tak perlu meminta maaf beat, ini cincin yang sempat terjatuh. Kau mau memasangkannya sekarang? " Tanya ku lagi.

Beat mendorong cincin yang ku sodorkan " Tidak disini sayang, aku tidak suka rumah sakit. Aku akan memasangkan cincin itu di tempat istimewa, tolong simpan cincin itu untuk ku " Aku mengangguk dan mengusap cairan bening di mata beat.

Aku tersenyum " Baiklah sayang, apa pun yang kau inginkan. Aku akan menyimpannya "

" Terimakasih nil, kau begitu baik. Aku akan meminta maaf pada oom dan tante setelah pulang dari rumah sakit " Ucapnya lagi.

Aku tersenyum akan kebaikan hatinya ini, padahal ini murni kecelakaan " Kau tak perlu melakukannya sayang, mama dan papa bahkan sangat menghawatirkan mu. Mereka tidak akan menyalahkan mu, bahkan mereka marah saat orang menanyakan perihal dirimu " Jelas ku apa adanya.

" Benarkah, ucapkan terimakasih ku kepada oom dan tante Nil, mereka sangat baik " Aku mengangguk menanggapi perkataan beat.

" Kau mau aku ambilkan sesuatu, kau belum makan sejak masuk rumah sakit " Jelas ku yang sedikit cemas.

" Aku haus " Ucapnya lemah.

Lantas aku mengambil secangkir air dan memberikannya kepada beat, ia meminumnya hingga tak bersisa.

" Sayang, jika nanti kita menikah. Aku ingin bulan madu di ( _ ) boleh kan? " Tanya cintaku ini.

" Jangankan hanya ke sana, ke seluruh dunia pun aku akan menemani mu sayang " Ucapku tulus, ia tersentuh hingga menitikan air mata.

" Mengapa menangis ? "

" Aku terharu, kau sangat baik Nil. Aku beruntung bisa menjadi pasangan mu " Beat meraih tangan ku, dan menggenggam nya.

Cukup lama kami berbincang tentang masa depan, melihatnya tersenyum seakan tak ada beban membuat dada ku semakin sesak. Semoga saja perkiraan dokter itu salah, pintaku dalam hati.

Pintu kamar beat di buka, kedua orang tua beat masuk ke dalam, bisa kupastikan mereka habis menangis melihat kedua mata mereka yang sedikit sembab.

Oom membawa beberapa bungkus makanan, mereka mengajak ku makan siang beraama.

" Oom boleh kah denial ikut menginap di sini? " Pinta ku pada papa beat.

" Kau tidak di cari orang tua mu? " Tanya oom.

" Tidak, nanti deni mengabari mama dirumah " Jawab ku

" Bukankah besok kau bekerja? "

" Besok deni bisa pergi dari sini om " . Oom hanya mengangguk menanggapi permintaan ku.

Tak lama pintu ruangan di ketuk, ternyata makan siang beat sudah datang. Suster itu mengatakan jika siang ini makan terakhir beat, karna setelahnya beat akan berpuasa untuk pemeriksaan besok. Beat hanya mengangguk namun matanya mengarah ke pak parman, papa beat meminta penjelasan.

....

Beat pov

Mengapa suster ini mengatakan aku harus puasa, aku hanya pingsan dan di suruh puasa untuk pemeriksaan besok, apa maksudnya ini. Batin beat berhujan pertanyaan.

Kulirik papa yang duduk santai menikmati makan siang, dari semenjak masuk rumah sakit aku memang belum sempat menanyakan apa pun padanya, setelah makan siang ini akan ku tanyakan sedetail mungkin. Walaupun aku benci rumah sakit, tapi aku tidak bodoh, aku tau jika kita berpuasa untuk pemeriksaan, artinya itu pemeriksaan serius. ( Sejenis operasi pengangkatan tumor ku dulu, kemudian saat proses CT scan) . Dokter memintaku berpuasa sebelum melaksanakan prosesnya.

" Pa " Panggil ku setelah makan siang ini berlalu.

" Apa sayang " Jawab nya

Aku menyandarkan punggung ini, agar lebih nyaman berbicara " Mengapa beat harus puasa?, beat hanya pingsan pa. Mengapa harus puasa? " Tanya ku

Papa mendekat, " Dokter yang menyarankan beat, papa juga kurang tau. Ini sejenis pemeriksaan biasa. Jika itu baik mengapa tidak di lakukan, lagian beat sudah berjanji bukan kepada denial mau cek kesehatan " Terang papa.

" Tapi cek kesehatan tidak harus puasa pa " Sela ku lagi

" Cek kesehatan itu ada banyak sayang, kau kan tidak pernah suka jadi tidak tau. Kalo cek kesehatan keseluruhan harus puasa dulu, beat tidak percaya sama papa? " Jika papa begini, aku tak bisa membantah lagi.

Papa mengelus pelan rambutku " Itu tidak akan menyakitkan sayang, percayalah. Hanya cek kesehatan. Setelah cek kesehatan kita akan pulang, oke " Mendengar kata pulang aku mengangguk kan kepala.

" Papa tidak membohongi beat?, kita beneran akan pulang? " Tanya ku curiga.

" Haha, benar sayang. Kita akan pulang, papa tau beat tidak suka rumah sakit " Jelasnya lagi. Lantas ku peluk pria nomor satu dalam hidupku ini.

" Sudah beat, kamu tidak malu dilihat denial. Liat pandangan matanya, ia tidak suka wanita yang dicintainya memeluk pria lain " Canda papa. Disambut tawa bahagia kami di ruangan ini.

" Papa, denial tidak akan berani " Jawab ku manja yang masih betah memeluk pahlawan ku.

Papa trus menjahili kami berdua sepanjang siang ini, mama yang biasanya cerewet sedikit menjadi pendiam siang ini. Mungkin mama sedikit lelah, acara tunangan yang memakan banyak tenaga, belum lagi memikirkan ku yang pingsan mendadak pasti membuat beliau lelah.