Bab 3

Pergantian shift sudah dua jam berlalu, namun Lavina masih berdiri dengan Gyan yang justru tengah duduk di ruang head bar. Menaikkan satu kaki jenjangnya di kaki lain, melipat kedua tangan di dada, serta tak lepas menatap gadis yang sehari ini sudah membuat dua kali keributan. Gyan merasa, bahwa tidak seharusnya bartender seperti Lavina diterima di Dámore. Dalam waktu lima hari, dia yakin bahwa Lavina sudah bisa menghancurkan separuh aset bar.

Sedangkan Lavina hanya bisa menunduk, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Yang ada dalam kepalanya sekarang, ke mana lagi harus mencari pekerjaan atau bagaimana caranya agar dia tidak ceroboh seperti tadi. Dia juga menyalahkan gelas yang dijatuhkannya, mengapa gelas itu berada di sana dan membuat bencana baru untuknya.

"Alasan apa lagi kamu?"

Suara bass Gyan yang mendominasi ruangan bercat cokelat ini, membuyarkan imajinasi Lavina yang sedang merutuki si gelas one shoot. Dia menelan ludah, memaksa otaknya untuk merangkai kata yang pas atas kesalahan kedua yang dilakukannya. Sayang, sebanyak apapun kalimat di kepala, nyatanya kecerobohan itu memang berasal dari dirinya sendiri sejak lahir.

"Saya ceroboh, Pak," jujur Lavina, "dari lahir."

Gyan menaikkan alisnya tidak mengerti. "Dari lahir? Lantas kecerobohanmu ini sudah kamu anggap saudara kembar, begitu?"

Lavina menggeleng cepat. "Saya akan berusaha lebih baik lagi, Pak. Jangan jadikan saya sebagai waitress."

"Bahkan menjadi waitress pun tidak cocok untukmu, Lavina. Kamu tuh lebih cocok jadi tukang pel! Membersihkan kotoran seperti membersihkan masalahmu!" cela Gyan dengan suara tinggi.

Mendengar hal itu, kedua telinga Lavina begitu panas, tanpa sadar tangannya mengepal kuat menahan emosi agar tidak mengeluarkan umpatan kepada atasannya. Bagaimana bisa lelaki bermata sipit itu membandingkan dirinya dengan seorang pelayan bahkan cleaning service. Tidak semua orang bisa menjadi bartender, meracik minuman sumber kebahagiaan orang dan melihat mereka memuji apa yang bartender buat. Gyan mungkin tidak pernah tahu apa yang dirasakan Lavina setiap melihat orang memuji racikannya.

"Ya, enggak gitu juga, Pak. Saya menjadi bartender juga ada sekolahnya," bela Lavina mencoba membantah.

"Kamu membantah saya?" Gyan menunjuk dirinya sendiri, alis tebalnya semakin menukik dengan mata melotot tak terima. "Kamu anak baru berani dengan atasanmu sendiri?"

Lavina menggeleng. "Tidak. Hanya saja saya tidak ingin disamakan dengan waitress atau cleaning service. Saya juga manusia, Pak."

"Saya tidak perlu mendengar alasanmu lagi, Lavina, besok--"

"Pak!" Lavina menarik kursi di depan meja Gyan seraya menggosokkan kedua tanganya sambil merengek, memotong pembicaraan Gyan. "Jangan pecat saya ... saya berjanji besok saya tidak akan memecahkan gelas lagi, Pak. Bapak boleh potong gaji saya, asal saya masih bisa bekerja di sini. Tolong, Pak ..."

Ayo dong ... masa kejam amat jadi orang nih bapak-bapak, batin Lavina.

Gyan terdiam, menatap kesungguhan gadis itu dalam bekerja. Tapi, dia juga menimang hal yang lain, jika terlalu banyak komplain yang masuk, maka dirinya pun pasti akan mendapat teguran dari manager. Sedari dulu, dia paling tidak suka berurusan dengan atasan dan sebisa mungkin meminimalisir masalah yang ada termasuk bartender di Dámore. Tidak satu tahun atau dua tahun, lelaki berkulit kuning langsat itu bekerja sebagai bartender di Dámore, namun hampir delapan tahun dia bergelut di bidang mixology, bertemu dengan berbagai macam karakter dan keterampilan bartender baik laki-laki maupun perempuan.

Sayangnya, hari yang menyebalkan ini menjadi hari pembuka kesialan bagi Gyan menghadapi Lavina yang bertindak asal-asalan. Cepat atau lambat, gadis yang sedang memohon

di depannya dengan kedua pupil membesar layaknya kucing minta ikan ini pasti akan disingkirkan oleh pihak manajer.

"Pak ..." suara Lavina kembali terdengar. "Saya mohon ..."

"Kamu itu seperti kartu mati, Lavina," ujar Gyan, "di manapun kamu berada, kamu pasti akan disingkirkan."

"Apa?" bibir yang dipulas lipstik pink itu mengaga lebar.

"Kamu tidak mendengar saya? Kamu. Kartu. Mati. Saya tidak bisa mempertahankan pegawai yang asal-asalan. Kamu kira tempat ini area pelatihan?"

"Jadi, saya dipecat?" tanya Lavina dengan mata berkaca-kaca.