Seperti yang dijanjikan sebelumnya, Reiki menyempatkan diri untuk makan siang bersama di rooftop sebelum jam kerjanya dimulai. Hingga anak-anak di restoran D'amore hapal betul dengan kedatangan dua insan yang dirasa cocok untuk menjadi sepasang kekasih.
Mengabaikan siulan jahil para karyawan berseragam chef itu, Lavina banyak bercerita tentang kedatangan para panitia kompetisi termasuk petinggi hotel. Dan baru kali pertama dia bisa bertemu dengan kepala F&B yang selalu disebut-sebut Gyan ketika membuat masalah. Namun, yang paling menakutkan ketika bertatapan langsung dengan Freya--perempuan yang dikenal galak yang baru menjabat sebagai General Manager.
"... ini pertama kali sih, hotel kita ditunjuk sebagai tempat diselenggarakan kompetisi. Padahal anak-anak juga tahu kalau sistem manajemen di sini masih amburadul," kata Reiki seraya menyendok menu nasi dengan udang asam manis yang terasa begitu lezat di lidah.
"Kalau amburadul kenapa kamu masih betah?" tanya Lavina.
"Cari kerja susah, Lavina," jawab Reiki memandang lurus Netra cokelat itu. Kemudian mendapati sebiji nasi yang menempel di sudut bibir Lavina. Reiki mengambil tisu, "Maaf." Diambil biji nasi itu membuat Lavina sedikit terkejut.
Darah di seluruh tubuh Lavina mendadak berdesir cepat. Pipinya berubah merah merona, tak berani memandang balik lawan bicaranya. Jika terus-menerus mendapat perlakukan manis dari Reiki, bisa jadi Lavina akan menderita diabetes akut.
"Besok kamu ada acara ke mana?" tanya Reiki. "Ke Malioboro yuk."
"Yah, maaf, Rei," tukas Lavina lesu. "Kamu kurang gercep."
Reiki meneguk air mineral dalam tumbler hitam, mengerutkan kening mendapat respon dari gadis manis itu. "Kenapa? Ada yang--"
"Pak Gyan besok ngajak aku jalan," sela Lavina.
"Tumben? Mas Gyan jarang ngajak cewek," timpal Reiki. "Kenapa dan ke mana dia ngajak kamu?"
Sebelum Lavina menjawab, dering ponselnya berbunyi. Nama kontak Angry Bird muncul di layar ponsel berbalut case hijau muda. Dia mendengkus seraya menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan si captain bar.
"Di mana? Udah jam berapa ini?"
Refleks Lavina melirik jam di tangan kiri. "Masih ada sisa lima belas menit, Pak. Bapak takut saya ilang?"
"Cepat balik, kita sibuk hari ini!"
Tampak dari kejauhan dan tidak disadari oleh keduanya. Gyan memutus sambungan telepon secara sepihak. Bisa dilihat wajah Lavina yang menahan kesal dengan sikap dingin Gyan yang selalu ditujukan ke semua orang.
Rumor kedekatan Lavina dan Reiki dari restoran yang dipimpin oleh Airlangga itu sampai masuk ke telinganya. Bukannya iri, melainkan Gyan tidak suka jika ada perempuan yang terlena dalam pesona Reiki. Mengapa kaum hawa begitu mudah masuk dalam jebakan yang dipasang oleh lelaki bertindik itu.
Gyan dengan lirikan tajamnya bergegas pergi meninggalkan restoran untuk kembali ke bar sebelum Lavina menyadari bahwa dia mengikuti gadis itu diam-diam.
###
Ditatap dirinya yang mengenakan kaus abu-abu polos dipadu dengan kemeja flanel oversize serta celana jeans high waist. Polesan make up tipis dengan lip cream pink hint oranye menambah kesan segar di wajah. Rambut sebahu yang tebal itu dia ikat tinggi, membiarkan poni menutupi dahinya.
“Ada Gyan tek kotek tek kotek dipinggir kali, tek kotek tek kotek ... lagi manyun, tek kotek tek kotek ...” Lavina berdendang sambil menyemprotkan parfum beraroma fruity ke belakang telinga, leher, dan pergelangan tangan. Setelah itu, diambil tas sling bag hitam kemudian keluar untuk menemui Angry bird di salah satu bar yang telah dijanjikan.
Ada sedikit kekesalan di hati Lavina, kenapa pula Gyan tidak menjemput layaknya lelaki lain. Tapi, mau bagaimana lagi, Gyan tipikal pria yang sepertinya tidak bisa diajak santai. Sifat keras kepalanya juga tidak dapat Lavina kalahkan begitu saja. Akhirnya, Lavina secara mandiri berangkat bersama motor kesayangan daripada terlibat dalam perang dunia ketiga.
Untungnya bar yang dituju tidak terlalu jauh. Hanya butuh sekitar lima belas menit dari perkampungan daerah Pasar Giwangan. Dari hotel pun, bara itu berjarak sekitar tiga ratus meter untuk sampai ke jalan Demangan Baru.
Jalanan selalu macet seperti biasa apalagi weekend seperti ini. Tapi tak menyurutkan semangat Lavina untuk mempelajari hal baru sesuai yang dijanjikan Gyan. Sampailah dia di sebuah bar bernama Cubic Kitchen & Bar berkonsep Industrial yang langsung terasa. Catnya dominan hitam pekat, penerangannya menambah kesan hangat, ditambah dinding kaca serta kursi berkaki tinggi menghadap jalanan serta suara live music terdengar jelas.
Lavina disambut seorang petugas yang memintanya menunjukkan kartu identitas, bersamaan dengan Gyan yang keluar dari pintu berpapasan dengan Lavina. Seperti terhipnotis, Gyan berdiri terpaku begitu saja memandang wajah berpipi sedikit chubby seolah waktu di sekitarnya berhenti, menyisakan mereka berdua.
"Saya sepertinya salah kostum," timpal Gyan membandingkan outfit-nya dengan Lavina yang terlihat begitu santai ketimbang gaya formal.