Di pinggiran desa, pemandangan yang menyambut Solor terasa lebih mirip kuburan massal daripada sebuah pemukiman. Rumah-rumah roboh bagaikan mainan reyot yang diinjak raksasa murka. Balok kayu dan pecahan genting berserakan, mencuat dari reruntuhan seperti tulang-belulang yang menembus daging. Beberapa bangunan masih mengepulkan asap tipis, sisa api yang sempat menjilat atap sebelum akhirnya mati kehabisan udara.
Tanah di bagian utara desa terlihat terbelah besar — seperti luka menganga yang belum mengering. Retakannya mengular jauh, seolah bumi sendiri mengerang kesakitan. Namun anehnya, bagian tengah desa tetap utuh, berdiri diam di tengah kehancuran yang membingkai sekelilingnya.
Di pinggir jalan, obor-obor menyala redup. Cahayanya berkedip-kedip, seolah gentar menghadapi keheningan yang menelan desa ini hidup-hidup.
Warga desa berdiam diri di antara bayangan obor. Sebagian dari mereka sibuk mengangkat puing, berjuang menyelamatkan orang-orang yang masih hidup di balik reruntuhan. Tangan mereka kotor dan berdarah, namun tak ada yang bersuara. Hanya nafas tersengal dan denting besi beradu batu yang terdengar.
Sebagian lagi… hanya duduk diam. Wajah mereka kosong, tatapan mereka hampa. Mata yang sudah kehilangan harapan.
Namun di tengah kehancuran dan kesunyian yang menyesakkan itu, ada sesuatu yang lebih mencolok.
Tiang cahaya putih. Sakadian.
Cahaya itu menjulang ke langit — tinggi, tegak, dan angkuh — berpendar seperti aurora berwarna putih pucat. Terlihat begitu damai dan tenang, tapi entah kenapa... aura yang terasa dari cahaya itu justru dingin dan menekan. Seolah-olah bukan cahaya penolong, melainkan tatapan dewa yang menghakimi.
Solor berdiri mematung di tempat. Matanya terpaku pada cahaya itu. Dia menarik napas pelan, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Jadi ini… tanda pengguna pusaka itu," gumamnya pelan. Suaranya nyaris tenggelam di tengah deru angin yang berdesir lembut.
Dari kejauhan, alun-alun desa mulai tampak. Beberapa penjaga Aliansi berdiri kaku di sekitar lapangan. Wajah mereka keras dan tak berperasaan. Warga desa berkerumun di belakang mereka, tapi tak ada satu pun yang berani mendekat.
Kerumunan itu sunyi. Isak tangis tertahan terdengar sesekali, bercampur dengan bisik-bisik yang mengendap di udara seperti doa yang tak pernah tersampaikan.
Tiba-tiba, dari arah keramaian itu, seorang nenek tua muncul. Tubuhnya membungkuk, dan langkahnya tertatih. Wajahnya keriput, dan matanya merah — entah karena menangis, atau karena kelelahan yang menumpuk bertahun-tahun.
Dia berjalan mendekati Solor. Napasnya tersengal pelan, dan saat akhirnya berbicara, suaranya gemetar.
"Pemuda yang menyelamatkan desa... akan dihukum mati malam ini."
Kalimat itu terasa seperti palu besar yang menghantam dada Solor.
Angin berembus lebih dingin. Sakadian masih bersinar di kejauhan, berdiri kokoh di tengah kegelapan. Diam… dan tak tergoyahkan.
Seakan menunggu.
Seakan menantang.
Dan entah kenapa… Solor merasa malam ini akan lebih panjang dari yang seharusnya.