Lautan Akar Pegunungan Lumut 

Tak lama setelah kabut pagi menipis, Solor dan Wus-wus melintasi lereng yang berubah perlahan. Tanah yang semula keras dan lembab kini mulai retak-retak, dipenuhi guratan akar halus. Suara burung menghilang. Angin pun tak lagi bersuara.

Pegunungan Lumut sedang berubah.

Tanah menggembung, pohon-pohon menunduk anggun, dan udara makin dingin. Cahaya matahari menghilang sepenuhnya saat mereka menembus sebuah gerbang alami yang dibentuk dua batang trembesi melengkung. Di baliknya—dunia berubah total.

Lautan Akar.

Hamparan akar sebesar tubuh manusia menjalar ke segala arah, membentuk jaring raksasa di atas tanah. Mereka melilit satu sama lain seperti ular yang tengah bersengketa, menyusun lapisan demi lapisan tanpa henti. Permukaannya ditumbuhi lumut hijau tua yang lembap, membuat setiap pijakan bisa jadi bencana.

Pohon-pohon trembesi di sekitarnya membentuk kanopi padat, mirip bonsai raksasa yang tumbuh dari zaman purba. Cahaya nyaris tak menembus, menciptakan senja abadi di bawahnya.

Solor memandang ke depan dengan napas tertahan.

"Kita harus melintasinya, Wus-wus. Pelan, tapi pasti."

Kuda setianya menggerakkan telinga, lalu melangkah hati-hati. Tapak demi tapak mereka ambil di atas jaring akar. Sekali salah langkah, kaki bisa terperosok ke dalam rongga gelap tak berdasar. Sesekali terdengar suara kretakk! dari batang akar yang mulai rapuh.

Tiba-tiba, tanah di sebelah kanan mereka ambruk. Serpihan akar jatuh seperti longsoran sunyi ke dalam jurang tersembunyi. Wus-wus terkejut dan nyaris terjungkal. Solor segera melompat dari pelana dan menarik tali kekang.

"Tenang, Wus-wus! Tenang!" katanya sambil menenangkan dan menahan tubuh kuda agar tak terseret.

Getaran halus merambat di bawah kaki mereka. Seolah ada sesuatu yang besar… bergerak di bawah sana.

Solor menatap ke dalam celah akar—gelap dan dalam, lalu terdengar suara lirih… seperti bisikan angin di bawah bumi.

Bukan hanya pohon yang hidup di sini.

Ia menghela napas, menegakkan tubuh, lalu memotong tali panjang dari pelana dan mengikatkan tubuhnya ke pelana Wus-wus.

"Kalau kita jatuh… kita jatuh bersama." gumamnya, entah pada siapa—pada kuda, dirinya sendiri, atau hutan yang diam itu.

Perjalanan berlanjut. Akar-akar makin padat. Sekali waktu, Solor harus mengangkat tubuhnya dan melompat ke akar yang lebih tinggi untuk mencari jalur aman. Wus-wus meringkik, napasnya berat, tapi tetap mengikuti.