Kala itu di Ampringan, malam turun dengan diam yang menggantung di udara. Di tengah derasnya sungai yang memecah bebatuan tua, berdiri tiga bangunan simetris yang menjulang seperti candi sunyi—membisu namun seolah menyimpan suara dari masa lampau. Di balik rimbun bambu yang meliuk diterpa angin malam, tempat itu dikenal sebagai Grengan Tirta.
Angin bertiup membawa suara—bukan bisik, tapi perintah. Berat. Penuh gaung aneh.
"...Jangan takut. Pusaka ini tidak membangkitkan Sakadían... Cepat, bukalah!"
Suara itu milik seorang pria. Sosoknya tak terlihat jelas, tapi dari belakang tampak punggung lebar, rambut sebahu dengan uban yang mencuat di sela blankon hitam bergaris ungu. Wibawanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—antara manusia bijak atau pemuja bayangan.
Di hadapannya, seorang pemuda tampak gemetar. Tubuhnya dikuasai rasa gentar saat kedua tangannya menggenggam benda lonjong berukir rumit. Warnanya hitam pekat, mengilap seperti baru keluar dari rahim bumi. Cairan kental dan gelap mulai menetes dari celahnya, seperti darah yang keluar dari luka lama yang dibuka kembali.
Dengan sentuhan terakhir, benda itu terbelah. Dari dalamnya, perlahan muncul keris.
Bilahnya berwarna hitam kelam, berlekuk tujuh. Hiasan samar berbentuk bunga lonceng dan naga melingkar menghiasi tengahnya, hanya tampak ketika cahaya bintang menyentuhnya. Ujung bilahnya meneteskan cairan hitam, yang mengalir deras menuju mangkuk perak di bawahnya.
Keris itu... bergema. Bukan suara, tapi semacam bunyi gema batin yang menusuk saraf. Getarannya seperti mengangkat sesuatu dari tanah: tangan-tangan gaib, hitam dan panjang, menggapai dari bawah, memohon... atau mungkin mengutuk.
"...Satu-satunya pusaka yang lahir sebelum kegelapan merenggut Batin Pangikrar..."
Sosok misterius itu tersenyum—bukan senyum kemenangan, melainkan seolah menyambut sesuatu yang telah lama ditunggu.
Sementara si pemuda, wajahnya kini membatu oleh ketakutan dan tanggung jawab yang baru saja ia tanggung. Ia tahu: gegernya sidang rahasia Aliansi bukanlah akhir. Itu awal. Dan kini... Akik Kumenteng seolah telah memilih temannya. Yang sebanding. Yang mampu menahan... atau mungkin melepaskan kutukannya.