Hari pertama sekolah memang terkesan menegangkan. Meski sebelumnya Carissa juga pernah bersekolah pada saat masih bersama keluarganya yang lama. Valentian International School ini berbeda dari sekolah lainnya. Mulai dari segi fasilitas hingga standarisasi kurikulum. Hubungan antar siswa-siswi dengan guru-guru disana juga seperti keluarga. Tidak ada yang saling merendahkan satu sama lain ataupun kekerasan dalam hukuman. Tidak seperti sekolah lainnya.
Namun Carissa tetap merasa gelisah di hari pertamanya. Bahkan saat ia memperkenalkan diri di depan kelas. Padahal disana Carissa disambut baik oleh guru dan teman-teman seusianya.
Seusai perkenalan diri, seluruh teman-temannya berebut memberikan bangku kosong untuk Carissa, agar bisa duduk sebangku bersamanya. Kecuali satu siswa laki-laki yang tengah duduk sendirian di bagian belakang deretan bangku ketiga.
Pandangannya sangat tidak bersahabat sama sekali. Tapi anehnya, Carissa malah memilih untuk duduk sebangku bersama anak laki-laki kurus berambut klimis itu. Ia merasa kasihan padanya sekaligus bertanya-tanya, mengapa hanya dia yang duduk sendirian di belakang? Seketika keramaian anak-anak disana menjadi hening pada saat itu terjadi.
Saat pelajaran di mulai, Carissa mulai curi-curi pandang padanya. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena jujur saja ia merasa takut untuk menyapanya secara langsung.
"Hei, namaku Carissa,"
Tiba-tiba saja Carissa menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Namun anak itu tetap diam dan fokus membaca buku pelajarannya.
Begitu juga saat jam istirahat berlangsung, Carissa melihat anak laki-laki itu duduk sendirian di kursi depan kelas. Sementara Carissa sendiri seperti layaknya mainan baru bagi teman-teman sekelasnya. Mereka semua berkumpul mengelilingi Carissa. Beberapa dari mereka ada yang tahu jika ia adalah putri tunggal dari Stefan Maroni.
"Teman-teman? Anak laki-laki yang duduk sebangku denganku itu siapa namanya?" tanya Carissa.
"Oh, dia, si aneh Peter," jawab salah satu temannya.
"Aku heran, mengapa kau mau duduk sebangku dengannya? Padahal dia aneh,"
"Selama ini tidak ada yang mau duduk sebangku dengannya, karena dia jarang bicara dan suka menyendiri,"
Teman-teman yang lainnya pun saling bersahutan membicarakan anak itu. Mengingat Carissa yang pernah berada di posisinya saat di panti asuhan, akhirnya ia menghampiri anak laki-laki yang bernama Peter itu.
"Hei, Carissa, kau mau kemana?" tanya salah satu teman saat Carissa keluar dari kerumunan mereka.
"Aku mau membeli sesuatu di kantin, tunggu saja disini teman-teman," jawab Carissa.
Nyatanya, ia malah menghampiri Peter yang sedang membaca buku di tempat duduknya setelah membeli makanan di kantin.
"Ini untukmu," sebungkus makanan ringan ia berikan pada Peter.
"Tidak, terima kasih," ujar Peter.
Carissa menaruh makanan ringan itu tepat di sebelahnya.
"Kau sedang membaca apa?" tanya Carissa kemudian.
"Bukan urusanmu, tinggalkan aku sendiri." jawabnya.
"Mengapa kau lebih suka sendirian, Peter?"
"Darimana kau tahu namaku?!" tiba-tiba saja Peter emosi membanting bukunya yang sedaritadi ia baca.
Carissa pun terkejut dengan sikapnya yang seperti itu. Kemudian Peter meninggalkan Carissa disana.
"Sudah kubilang, dia aneh, bukan?" sahut teman sekelasnya yang tak sengaja lewat.
"Tapi aku penasaran, ada apa sebenarnya dengan dia?"
"Sudahlah, Carissa, lebih baik bersama kita saja, ayo," ajak teman lainnya.
Saat pulang sekolah, Carissa sangat senang ketika Stefan menjemputnya tepat waktu. Ia berlari ke arah mobil Stefan ketika mobil itu membunyikan klakson. Setelah Carissa masuk ke dalam mobilnya, ia terkejut, ternyata yang mengendarai mobil itu bukanlah Stefan melainkan seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jas formal layaknya agen rahasia.
"Om siapa?"
"Saya supir pribadi Nona Carissa mulai sekarang, karena Tuan Stefan saat ini sedang sibuk menghadiri meeting di perusahaannya," jawab pria itu.
"Mengapa Ayah tidak bilang padaku sebelumnya? Aku mau turun!" Carissa membuka pintu mobilnya lalu keluar.
"Nona, tunggu!"
Pria itu pun akhirnya berusaha mengikuti Carissa dari belakang. Sementara Carissa berusaha melarikan diri darinya.
"Nona Carissa!" melihat Carissa yang semakin jauh darinya.
"Tolong! Pria itu mau menculikku!" teriakannya terdengar oleh salah satu ibu guru di sekolah itu.
"Carissa? Ada apa?" tanya guru itu.
"Bu, tolong, ada yang mau menculikku, itu orangnya," jawab Carissa yang kini berdiri di belakang gurunya.
"Bu, mohon maaf sebelumnya, ini kesalah pahaman. Saya supir pribadinya, bu," jelas pria itu.
"Bisa saya pastikan dulu? Saya akan menghubungi Tuan Maroni," balas guru itu sembari mengambil Handphone dari saku celanannya.
"Baiklah,"
Setelah menghubungi Stefan yang sedang ditengah-tengah acara meeting, ternyata memang benar pria itu adalah supir pribadi Carissa.
"Bu, bolehkah aku bicara dengan Ayah?"
"Oh, ya, silahkan," memberikan Handphone-nya pada Carissa.
"Halo, sayang, maafkan Ayah tidak bisa menjemputmu siang ini, karena Ayah pikir acara meeting ini hanya sebentar. Maafkan Ayah juga karena baru sekarang memberitahumu soal ini," jelas Stefan.
"Aku takut, Ayah, karena pria ini sangat besar seperti pemain Smack Down,"
Pria itu menepuk dahinya dan menggeleng. Ibu guru itu juga tertawa mendengar perkataan polos dari Carissa soal pria itu.
"Tidak usah takut, sayang. Justru kau malah lebih aman bersamanya, Ayah jadi lebih tenang saat di kantor,"
"Jadi aku tidak pernah buat Ayah tenang ya?"
"Bukan, sayang, bukan seperti itu, maksud Ayah...,"
"Ah susah sekali menjelaskan ini pada anak kecil," batin Stefan sedikit kesal. Apalagi saat Carissa menutup teleponnya.
"Apa semuanya baik-baik saja, Tuan Maroni?" tanya asistennya saat melihat Stefan yang geram.
"Ya ya, mari kita lanjutkan meeting kita." Stefan kembali masuk ke ruang meeting.
Sementara Carissa hanya diam saat perjalanan pulang bersama supir pribadinya. Diam yang mengandung amarah.
"Apakah Nona lapar? Jika memang iya, saya bisa mampir ke restoran untuk membeli makanan untuk Nona," kata pria itu sambil menyetir.
Carissa tak menjawab. Pria itu meliriknya dari kaca spion yang berada diatasnya. Namun setelah itu, Carissa menjawab tawarannya.
"Aku ingin bubur ayam,"
"Baiklah, Nona,"
Carissa juga hendak mengajak supir itu untuk makan bubur ayam bersamanya di pinggir jalan.
"Maafkan aku soal perkataanku tadi. Yang aku bilang, Om seperti pemain Smack Down,"
Pria itu tertawa sekilas mendengarnya.
"Tidak masalah, Nona."
Lalu Carissa melihat bubur milik supirnya masih penuh.
"Mengapa tidak dimakan, Om? Om tidak suka bubur ayam ya?"
"Tidak, Nona. Saya hanya tidak terbiasa dengan makanan seperti ini,"
"Mengapa? Karena bukan makanan orang kaya ya?"
"Bukan begitu juga, Nona,"
Lalu Carissa memaksanya untuk makan bubur itu sampai habis dan melanjutkan perjalanannya.
Sesampai di rumah, entah mengapa Maya tidak menyambut kedatangan Carissa sama sekali. Seolah mengabaikannya. Padahal ia berkali-kali memanggilnya bahwa ia sudah pulang dari sekolahnya, namun Maya terlihat sibuk memainkan handphonenya di ruang keluarga.
"Ibu?" sapa Carissa sekali lagi.
"Sini, Ibu mau bicara padamu." balas Maya sinis.
"Ya, Ibu?" lagi-lagi Carissa takut dibuatnya.
"Satu lagi aturan baru di rumah ini. Mulai detik ini, kau tidak boleh terlalu manja dengan orang tua. Terutama dengan Ayahmu,"
Carissa sedih mendengarnya. Padahal ia merasa tidak terlalu manja dengannya atau pun dengan Stefan. Malah Stefan yang selalu memanjakannya dengan kejutan-kejutan menarik.
"Baik, Ibu," jawab Carissa lirih.