Terpaksa Berdusta

Siang hari pukul 12, Stefan sudah siap menjemput Carissa dengan memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Ia menunggunya cukup lama hingga pukul 12 lebih 15 menit. Bahkan sampai para siswa-siswi di sekolah itu sudah tidak ada yang berkeliaran lagi disana.

"Lama sekali, dimana anak itu?" gumamnya sambil berdecap.

Tak lama kemudian, Stefan melihat Carissa keluar dari gerbang sekolah, lalu menghampirinya. Setelah masuk ke mobil, Carissa heran, sebab Stefan tak menyalakan mobilnya. Hanya diam sambil menatap Carissa.

"Tumben kau terlambat pulang sekolah?" tanya Stefan kemudian.

"Ehm, masih ada tugas yang belum selesai, Ayah," jawab Carissa gugup ketika melihat tampang Ayah tirinya yang serius.

Wajah Stefan semakin mendekat padanya dengan menyipitkan matanya, "Tugas apa?"

"Ini," Carissa pun memberikan buku gambarnya pada Stefan yang sedaritadi di pelukan.

Awalnya Stefan takjub melihat hasil lukisan pensil yang tertoreh di buku gambarnya. Sebuah gambar seorang gadis kecil yang sedang duduk di bangku sekolah dengan senyum manisnya. Namun, beberapa saat kemudian, ia sadar, bahwa gadis kecil yang terdapat di dalam lukisan pensil itu mirip seperti Carissa.

"Bagus ya lukisannya," sahut Stefan dengan nada suaranya yang di tegaskan.

"Terima kasih, Ayah," balas Carissa dengan senyum terpaksa.

"Pertanyaannya, bagaimana kau bisa menggambar dirimu sendiri disini?" tanya Stefan curiga.

Carissa pun terkejut, ia baru menyadari bahwa lukisan itu adalah karya dari Peter. Ia kebingungan akan menjawab apa pada Stefan. Sebab itu semua juga merupakan alasan, mengapa Carissa terlambat untuk pulang sekolah.

Sebelum jam pulang sekolah berlangsung, Peter memang berjanji pada Carissa untuk melukiskan dirinya di buku gambarnya. Setelah semua murid keluar dan hanya mereka berdua di dalam kelas, disanalah Peter mulai melukis Carissa yang sedang duduk di bangku sekolah dengan senyum manisnya. Sebelumnya Peter juga sudah ijin dengan salah satu guru disana.

"Carissa?"

"Ya, Ayah?" tersadar dari kebingungannya.

"Mengapa diam saja? Jawab pertanyaanku. Siapa yang melukismu?"

"Ehm..., Peter, Ayah,"

"Peter? Jadi dia yang melukismu di kelas? Berdua?" ujaran 'Berdua' sengaja Stefan tegaskan disana, seolah menginterogasinya.

"Tenang, Ayah, dia hanya seorang teman sebangku, dia juga sudah ijin dengan Ibu guru disana,"

"Aku tidak peduli, Peter itu temanmu, pacarmu atau yang lain-lain. Aku menunggumu disini dengan perasaan cemas, Carissa. Karena setiap harinya kau tidak pernah pulang telat seperti ini,"

Ungkapan Stefan itu tiba-tiba membuat Carissa sedih. Ia merasa bahwa dirinya selama ini tidak dianggap lebih olehnya. Padahal sebetulnya hanya itu yang Carissa harapkan dari Stefan, karena ia sangat mencintai Stefan. Tatapan sayu nan menyentuh hati yang ia curahkan, membuat Stefan merasa menyesal akan perkataannya tadi.

"Jadi, Ayah tidak peduli...soal itu?" tanya Carissa lirih.

"Maaf, bukan itu maksudku-"

"Bagaimana kalau seandainya Peter itu memang pacarku? Apakah Ayah akan merasakan hal yang sama denganku? Seperti saat aku melihat Ayah mencium bibir Ibu dengan mesra?" potong Carissa.

Memang selama ini Stefan sangat sulit untuk jujur pada Carissa soal perasaan cintanya. Mungkin karena posisinya sebagai Ayah? Atau memang perasaan mereka yang salah arah?

Di sisi lain, Carissa baru pertama kalinya bertemu dengan sosok pria yang ia impikan selama ini, yaitu bisa melindungi serta menyayanginya dengan tulus. Sementara Stefan sendiri baru pertama kali mengenal arti cinta yang sesungguhnya dari Carissa. Namun bagaimana pun juga, hal itu merupakan sebuah dilema besar bagi Stefan.

Selama beberapa menit, mereka saling diam di dalam mobil yang masih terparkir di halaman sekolah. Sampai akhirnya hujan lebat menghiasi suasana rumit mereka. Lengkap sudah.

Setelah beberapa menit saling diam, akhirnya Stefan pun memulai bicara pada Carissa.

"Sepertinya, kita sama-sama...cemburu, benarkah itu?"

Carissa hanya mengangkat kedua pundaknya seolah berkata 'Entahlah'. Dengan wajahnya yang murung.

"Aku hanya tidak suka, jika Ayah berciuman dengan Ibu,"

"Aku juga tidak suka, jika kau dekat dengan Peter,

"Tenanglah, Ayah. Dia cuma teman,"

"But I don't like it!" tegas Stefan.

"Me too!" balas Carissa dengan bahasa inggris pula.

Pada akhirnya mereka berdua saling pandang dengan tatapan kesal. Setelah itu, Tiba-tiba Stefan memeluknya.

"Maafkan aku," ucap Stefan.

"Aku juga, Ayah," balas Carissa.

Pada saat Carissa menggenggam kedua tangan Stefan, tak sengaja ia melihat luka lecet di punggung tangannya.

"Ayah? Tangan Ayah kenapa?" tanya Carissa cemas.

"Oh, bukan, bukan apa-apa. Hanya tadi pagi..., aku terpeleset di toilet kantor," alasan Stefan gelagapan berusaha menutupi luka itu.

Namun Carissa tetap curiga, sebab dahulunya ia pernah melihat luka yang sama persis dengan Stefan. Yaitu pada saat ia masih serumah dengan Dean. Dean berkata jujur bahwa ia habis memukuli para remaja yang bermasalah dengannya, saat Stella bertanya soal luka itu.

"Jujur padaku, Ayah. Darimana Ayah mendapatkan luka itu?" tanya Carissa serius.

Stefan masih tak berani menjawabnya. Ia pun mengalihkan pembicaraannya.

"Kita harus pulang sekarang, hujannya semakin deras,"

"Kita ada di dalam mobil, Ayah. Jadi tidak mungkin kita kehujanan, Ayah habis memukul seseorang ya?" bantah Carissa.

"Sial, bagaimana bisa dia tahu?" ucap Stefan dalam hati.

"Ayah, jawab!"

"Ok! Ok!, aku akui! Kau benar, aku habis menghajar seseorang,"

Carissa terkejut mendengarnya. Ia tak menyangka bahwa dibalik kelembutan serta kebaikan Ayah angkatnya itu tersimpan sisi gelap yang baru saja ia ketahui.

"Siapa yang Ayah pukul?" tanya Carissa kembali dengan linang air mata yang tengah membendung di kelopak mata indahnya.

"Dean," jawab Stefan terpaksa.

Setetes air mata pun jatuh ke permukaan pipi lesungnya. Karena Carissa masih tidak percaya dengan perilaku keji dari Ayah kesayangannya. Akhirnya tak sudi lagi Carissa menatapnya. Ia membuang pandangan ke arah jendela melihat suasana hujan yang semakin lebat. Seolah sangat kecewa padanya.

Stefan berusaha keras untuk menutupi kebenarannya. Karena ia tidak ingin membuat Carissa semakin khawatir, ketika mengetahui bahwa Stella telah masuk rumah sakit dengan kondisinya yang seperti itu.

"Aku melakukannya untukmu, Carissa," Namun Carissa tak meresponnya, hanya isakan tangis yang ia dengar.

"Carissa, dengarkan aku-"

"Awalnya Ibu Maya, setelah itu Dean. Selanjutnya siapa lagi yang akan Ayah pukul?" potong Carissa sembari memandang hujan dan petir yang menyambar dari jendela mobil.

"Carissa, tolonglah-"

"Aku kira selama ini Ayah adalah sosok pria yang aku impikan selama ini. Lembut, penuh kasih sayang dan juga baik. Ternyata aku salah,"

Lagi-lagi Stefan merasa bersalah dengannya. Ia pun sadar, mengingat masa lalu Carissa yang pernah mengalami kekerasan fisik dari Dean, dan juga Ayah kandung yang tega meninggalkannya begitu saja.

Tapi kali ini apa yang bisa Stefan perbuat? Yang terjadi telah terjadi. Pada akhirnya ia menyesal dengan perbuatannya.

Di tengah-tengah pertikaian yang terjadi, Carlos menghubungi Stefan lewat handphone-nya. Ia pun segera menerima teleponnya.

"Carlos?"

"Tuan Maroni, Nyonya Stella sudah sadar. Dan Nyonya Stella ingin bertemu dengan Tuan,"

"Baik, aku akan segera kesana." menutup teleponnya, lalu menancapkan gas mobilnya.