Sekte Bulan Sabit Hitam

Sementara itu, tanpa terasa waktu sudah lewat tengah malam. Rembulan semakin condong ke barat. Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.

Entah sudah berapa jauh jarak yang terlewatkan. Entah sudah berapa lama juga waktu yang terbuang.

Si pria berjubah hitam tadi baru menurunkan Jiang Mei Lan ketika dia tiba di satu bangunan besar yang terletak di ujung sebuah kota bernama Matahari Tenggelam. Dari jarak yang cukup jauh, setiap orang sudah pasti bisa melihat bangunan itu.

Sebab selain bangunannya menjulang tinggi seolah ingin mencakar langit, luasnya juga kira-kira lima sampai tujuh kali dari luas rumah mewah milik Tuan Besar Wang.

Bangunan megah dan mewah itu dikelilingi oleh kabut putih yang tidak pernah hilang. Dipandang sekilas, bangunan tersebut seolah-olah melayang dan berada di atas awan.

Si pria berjubah hitam tadi berjalan perlahan ke arah pintu gerbang. Di sana ada dua orang penjaga berusia tiga puluhan tahun. Tubuh mereka tinggi tegap. Kedua penjaga itu juga mempunyai penampilan yang sama.

Yaitu memakai jubah dan cadar hitam.

"Salam, Ketua …" kata mereka berdua sambil berlutut memberikan hormatnya yang mendalam.

"Berdirilah. Buka pintu gerbang," kata pria berjubah hitam yang membawa Mei Lan.

"Baik, Ketua,"

Dua penjaga itu kemudian mundur ke belakang. Mereka berteriak agar pintu gerbang dibuka. Tidak berapa lama kemudian, pintu gerbang yang terbuat dari lapisan baja tebal itu benar-benar terbuka lebar.

Si pria berjubah hitam yang disebut sebagai Ketua langsung berjalan masuk. Ternyata di dalam sana sudah ada ratusan murid yang sudah menunggunya. Mereka melakukan hal yang serupa seperti dua penjaga tadi.

Ratusan murid itu berlutut sambil memberikan hormatnya.

"Berdiri!" teriak sang Ketua.

Suaranya terdengar sangat berwibawa. Bahkan jauh lebih berwibawa daripada saat dia berada di kediaman Tuan Besar Wang tadi.

Semua murid yang berlutut seketika langsung berdiri ketika mereka mendengar seruan tersebut.

Sementara itu, si Ketua tadi kembali melanjutkan langkah kakinya. Dia berjalan sangat perlahan, namun ternyata, hanya sekejap saja dirinya sudah tiba diujung halaman yang memiliki luas ratusan meter itu.

Begitu memasuki pintu utama, ternyata di sana pun sudah berdiri lima orang berjubah hitam. Penampilannya sama. Yang membedakannya adalah di kiri dekat dada pakaian mereka ada semacam simbol berbentuk bulan sabit. Ada yang mempunyai simbol bulan sabit sebanyak dua buah, tiga buah, empat dan bahkan lima buah.

"Salam Ketua," kata mereka secara serempak sambil membungkukkan badannya.

"Terimakasih, para Tetua," jawabnya seraya menganggukkan kepala.

Si Ketua kemudian memanggil dua orang murid senior. Begitu dua murid senior itu tiba, dirinya langsung menyerahkan Mei Lan yang masih berada salam bopongannya.

"Suruh tabib untuk mengobati gadis ini," ucapnya memberikan perintah.

"Baik Ketua …" jawab kedua murid senior.

Mereka segera masuk ke ruang pengobatan dan langsung menyuruh seorang tabib untuk menangani Jiang Mei Lan.

Sementara itu, sekarang lima petinggi tadi sudah berada dalam sebuah ruangan khusus. Mereka duduk berdampingan. Di depannya ada sebuah meja berukuran cukup panjang yang terbuat dari batu giok murni. Di atas meja tersebut ada hidangan yang sangat mewah dan lezat. Beberapa guci arak wangi yang mahal harganya juga ada.

Seorang murid senior tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dan membuka segel arak. Dia langsung menuangkan arak ke dalam cawan yang terbuat dari emas murni. Begitu semua cawan arak sudah terisi penuh, dirinya segera mengundurkan diri.

Sekarang yang ada di ruangan khusus itu tinggal para Tetua kembali. Masing-masing dari mereka belum ada yang bicara. Para petinggi itu memilih untuk bersulang arak lebih dulu sebelum membicarakan hal-hal yang serius.

"Bagaimana keadaan sekte, selama aku pergi?" tanya si Ketua yang kini sudah mengganti pakaian dengan jubah yang lebih mewah miliknya.

"Selama Ketua pergi, keadaan Sekte Bulan Sabit Hitam kita telah beberapa kali diserang oleh sekte-sekte aliran putih, terdekat," kata salah satu Tetua setelah selesai meneguk cawan arak.

"Henm, sebenarnya apa yang mereka inginkan?"

"Menurut informasi yang didapat oleh mata-mata, mereka menginginkan sekte kita lenyap dari muka bumi,"

"Apa? Kenapa sekte kita harus dilenyapkan? Memangnya, kesalahan apa yang sudah kita perbuat?" Ketua itu merasa sangat keheranan dengan jawaban tersebut.

Seingatnya, sekte yang dia buat itu tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Baik itu kepada aliran hitam, maupun kepada aliran putih.

Selama ini, Sekte Bulan Sabit Hitam selalu hidup berdampingan. Mereka tidak pernah mencari perkara. Untuk menghidupi sektenya, mereka mengandalkan hasil dari pertambangan dan usaha yang dimilikinya sejak awal.

Oleh karena itulah, sang Ketua merasa sangat kaget ketika mendengar pernyataan dari Tetua yang lain.

"Sekte kita memang tidak pernah melakukan kesalahan apapun, Ketua. Jangankan Ketua yang baru saja pulang dari pengembaraan, kami yang di sini saja merasa heran dengan kejadian kali ini," jawab Tetua lainnya ikut angkat bicara.

Suasana dalam ruangan itu menjadi hening. Lima Tetua dari Sekte Bulan Sabit Hitam dibuat kebingungan. Mereka saling diam satu sama lain.

Masalah yang saat ini dihadapi oleh sekte itu sungguh membingungkan. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tapi sekte mereka telah diserang secara tiba-tiba.

Bukankah ini sangat aneh dan ganjil?

"Baiklah, kalau begitu. Untuk sementara waktu, kita perkuat saja pertahanan sembari mencari-cari informasi yang lebih pasti," perintah Ketua setelah dirinya diam beberapa waktu.

"Perintah diterima," jawab empat Tetua secara bersamaan.

Obrolan di antara para tetua itu terus berlangsung. Mereka baru keluar dari ruangan setelah kentongan ketiga terdengar.

Sekarang, yang ada di sana hanya tinggal sang Ketua seorang. Dia sedang merenung sambil memandangi cawan arak yang berada di depannya.

Sebagai Ketua, dirinya tentu harus bertanggungjawab terkait masalah yang menghampiri sektenya saat ini.

Tapi, bagaimana dia harus bertanggungjawab kalau masalahnya saja belum diketahui? Dari mana pula dia harus memulainya?

Tanpa terasa, arak dalam cawan sudah habis. Tidak tersisa walau setetes pun. Entah sudah berapa banyak arak yang masuk ke perutnya. Si Ketua tidak tahu pasti. Lagi pula, dia tidak pernah menghitungnya.

Akhirnya, karena merasa lelah berpikir, dia tertidur. Tidur pulas di atas meja kerja miliknya.

###

Pagi hari telah menjelang kembali. Matahari pagi bersinar dengan terang. Menyinari muka bumi dan seisinya. Burung-burung terbang dari sangkarnya untuk mencari makan.

Kehidupan manusia dimulai kembali. Hari baru, semangat baru.

Keadaan di Sekte Bulan Sabit Hitam mulai ramai. Para murid sudah bangun dari tidurnya, sekarang mereka sedang mengadakan latihan rutin di halaman sekte.

Ternyata semua anggota Sekte Bulan Sabit Hitam merupakan pria. Tidak ada satu pun yang wanita.

Pada saat seperti itu, mendadak dari ruangan pengobatan muncul seseorang yang berjalan seperti orang linglung.