Hush.... Hush...

“Iyo! Biarpun wanginya aneh kita tetap menerima karena kita pikir memang bagitu itu permen di Jakarta. Nah, karena kita yang terlalu lugu jadinya kita percaya saja apa yang ia bilang.”

“Terus? Kamu apain?”

“Dicicipi lah!”

Tak sampai lima menit kemudian, kelas mendadak heboh gara-gara Dessy kelolotan permen Chicklet.

*

Di antara semua guru yang mengajar kelas 11 IPA, sepertinya hanya The Punisher alias Ibu Sissy yang paling jarang masuk. Predikat sebagai wali kelas sepertinya tidak berpengaruh apa-apa dengan kerajinannya. Salah satu dampaknya, jam pelajaran Biologi yang kosong pagi itu langsung dimanfaatkan anak-anak untuk melakukan apa yang mereka mau. Mengobrol keras-keras, jajan ke kantin, atau menggunakan laptop untuk dua hal yaitu bermain game dan menonton film.

Setelah nyaris setahun di ibukota, Adri masih suka terkaget-kaget melihat kehidupan di sekolah. Hal-hal negatif pergaulan yang ia tidak pernah lihat atau bahkan bayangkan saat di sekolahnya yang lama, ternyata begitu mudah terjadi di sini. Ini tidak membuatnya nyaman di sini.

Berpikir bahwa belajar di luar kelas akan lebih menyenangkan, ia lalu bangkit dari bangku. Siap beranjak keluar ketika seorang siswa secara mendadak menepuk bahunya.

“Hey, Anus. Mau nonton gak?”

Adri membalik badan dan melihat Arjun yang tadi menepuknya. Matanya tiba-tiba melihat pemandangan di balik punggung Arjun. Beberapa anak nampak merubungi laptop milik Arjun yang dioperasikan Nathan. Mereka asyik melihati tampilan di layarnya. Melihat respon berupa bahasa tubuh dan celetukan demi celetukan kotor terhadap apa yang ditayangkan, tidak sulit bagi Adri untuk menduga bahwa mereka pasti menyaksikan tontonan tak senonoh.... lagi. Ya, ini sudah yang kesekian kalinya mereka berbuat begitu dan ia heran bahwa sweeping, pemeriksaan mendadak, dari pihak sekolah masih belum bisa menangkap basah perbuatan menyaksikan tontonan tak pantas itu. Adri pernah sekali terjebak dan menyaksikan kurang dari semenit. Selanjutnya, ia kapok. Alasannya selalu sama dari waktu ke waktu yaitu: ‘kalau di kampung kita, nyanda boleh bagitu.’

Atas tawaran Arjun tadi Adri kemudian menggeleng. “Nyanda.”

“Ayo deh, gak usah munafik. Tejo, Dayat, Owie aja nonton. Masa’ elo kagak?”

Adri tetap menggeleng. "Kamu tahu kita nyanda suka menonton begitu."

Raut wajah Arjun langsung berubah.

“Sok suci," Arjun terlihat sinis. "Kayaknya bener gosip yang gue denger kalo elo sempat dipiara monyet-monyet hutan selama setahun.”

Adri menanggapi dengan diam.

“Atau karena penis lu kecil?”

Ah, itu lagi. Basi rasanya mendengar ejekan seperti itu terus-menerus.

Adri masih tetap diam saja. Satu hal yang justeru membuat Arjun menjadi tambah tidak suka. Ia terdengar sedikit mengomel ketika siap melangkahkan kakinya ke tempat teman-teman lainnya menyaksikan tayangan di laptop.

“Dasar banci. Kapan dewasanya lu!”

“Kedewasaan bukan hanya soal kelahiran. Kedewasaan itu tercermin dari sikap.”

“Preeet!” Arjun yang tak suka dengan nasehat tadi beranjak pergi.

Adri mengambil sebuah buku catatan dari dalam tas dan melangkah keluar. Dekat pintu terlihat Dessy sibuk mengobrol dengan Monique dan Fitri. Topiknya jelas bukan pelajaran. Dari kosakata ‘liburan’, ‘Bali’, ‘Fitri’, dan ‘pesawat’ yang terdengar, sepertinya Fitri tengah kembali mengulang ceritanya saat pergi liburan ke Bali sebulan lalu. Liburan yang menurutnya merupakan liburan paling romantis saat terbang bersama kekasihnya dan menginap tiga malam di sebuah hotel di Kuta.

Adri bergidik. Ngeri membayangkan pergaulan remaja di kota besar yang sebelumnya tak pernah setitik pun terbayangkan dalam benaknya. Ia menghirup udara dalam-dalam ketika keluar ruangan. Secepatnya ia menuju sebuah bangku panjang di koridor sekolah, menyiapkan buku, mengambil pulpen di saku, dan memulai waktu belajarnya.

Baru saja hendak memulai, dua-tiga sentuhan halus terasa mengenai tumitnya. Adri menoleh ke bawah dan melihat Paw-paw tengah menyentuh-nyentuh sepatu dengan kaki depannya.

Tanpa merasa terusik, Adri mendiamkan. Ia malah merasa terhibur dengan kehadiran anak anjing kampung itu. Ia mengembalikan pulpen ke saku baju dan kemudian meraih kedua kaki depan makhluk itu. Seolah tengah berbicara dengan seorang bayi, Adri mengajak mengobrol.

Terkadang ia mengangkat tubuhnya dan terkadang pula membiarkan jemarinya digigit-gigit kecil. Dengking dan gonggongan anjing kecil itu membuat Adri yang mulanya hanya berniat bermain satu-dua menit, akhirnya memperpanjang waktu bermainnya.

“Sudah. So cukup torang ba maeng,” kata Adri setelah merasa cukup bermain. Seolah tak puas, Paw-paw malah terus mengajaknya bermain dengan ekornya mengebas kesana-kemari.

“Terima kasih sudah menghibur,” cetus Adri lagi. Ia mengambil sebuah permen kacang dari saku celana, mengupas, dan memberikannya langsung ke mulut anjing itu.

“Pigi jo ngana.”

Paw-paw menelengkan kepala.

“Pigi! Go away!”

Paw-paw tetap tak bergerak.

“Hush… hush…”

Dua kata ajaib tadi ternyata jadi kata yang dimengerti. Paw-paw segera pergi dengan mulut terisi bulir permen. Sambil tersenyum-senyum kecil karena sempat terhibur, Adri dengan keluguan luar biasa melipat tangan dan dengan ‘norak’ mulai berdoa.

“Tuhan, terima kasih buat hari ini. Terima kasih untuk jodoh yang masih OTW. Tapi selain itu tolonglah supaya kita juga bisa konsentrasi ke pelajaran. Bukan konsentrasi ke mi ayam, mi soto, apalagi miyabi. Edo’e, godaan parampuang-parampuang adalah yang paling berat, Tuhan. Jadi tolong supaya kita bisa katakan TIDAK pada korupsi, eh katakana TIDAK pada parampuaaaahhhhh!!! ”

Kekhusukannya berdoa terusik ketika terjadi sebuah sentakan agak keras di sepatunya.

Adri mengaduh, terkaget. Seorang gadis tampak tengah terhuyung karena sentakan tak terduga tadi. Namun nasib baik berhasil membuatnya berdiri tegak kembali. Rupanya saat berjalan, entah bagaimana, ia tersandung selonjoran kaki Adri. Saat melihat siapa gadis itu, Adri tercekat.

Dia lagi!

“Dessy? Kenapa?”

“Dasar pura-pura bego lu!” Dessy menoleh kesana-kemari seperti hendak mencari sesuatu. “Untung di sekitar sini gak ada benda keras.”

“For apa?”

“Buat apa? Ya buat nyambit elo lah, bopung!”

“Marahkah kamu mengapa? Eh, kamu marahkah mengapa? Eh, mengapakah kamu mar…”

“Shut up!” gemas betul rasanya Dessy mendengar ucapan Adri. “Ngomong aja belepotan!”

Adri menggaruk kepala karena lagi-lagi diperhadapkan dengan bahasa baru yang ia tak pernah dengar sebelumnya.

“Eh bopung! Elo begitu benci sama gue sampe bisa-bisanya elo nyengkat kaki gue setelah sebelumnya ngelepeh meja gue ya?"

Lagi-lagi Adri menggaruk kepala. Kata ‘nyengkat’ dan ‘ngelepeh’ adalah dua kata yang belum masuk dalam kamus bahasa gaul yang ia kuasai. Melihat kebingungan itu, Dessy makin gemas.

“Elo udah setahun di sini masa’ masih gak ngerti-ngerti istilah bahasa sini sih,” intonasi Dessy masih tinggi. “Beli kamus gaul kek. Cek Google kek.”

“Ponselku payah.”

“Bodo amat!” Tak merasa kasihan dengan alasan Adri, Dessy terus menyerang. “Heh… ngelepeh itu artinya meludah. Elo ngeludahin meja gue ya? Ngaku!”

“Ohhh, “Adri lantas menggeleng. “Meludah itu kebiasaan buruk. Kalau di kampung kita, nyanda boleh bagitu karena nyanda sopan. Bisa ada kuman-kuman yang…”

”Jadi elo nggak ngaku?” potong Dessy.

“Kamu pernah lihat kita buang ludah walau cuma sekali?” Adri balik bertanya. “Cuh, begitu? Pernah lihat? Nyanda toh?”

Sadar karena ia menuduh tanpa bukti, Dessy tidak lagi mengejar. Tapi rasa jengkel masih tetap menguasai dirinya.

“Tapi bener kan, elo tadi barusan nyengkat kaki gue?”

“Nyengkat? Apa itu?”