“Stop!” Adri menghentikan omongan Ibu Prapti. Sepertinya dia udah bisa menangkap maksudnya.
“Jadi kamu sekarang sudah mengerti kah? Mengerti cara bagaimana untuk mengarang sebanyak satu halaman penuh?”
“Lebih dari satu halaman pun kita juga bisa,” jawab Adri dengan mimik seolah mendapat pencerahan super dahsyat. “Tinggal di bikin daftarnya saja kan? Daftar buah, daftar binatang, daftar ini-itu. Apalagi kalau daftar nama. Dengan modal buku telpon, novel pun bisa pula kita bikin. ”
“Cakeeeep. Ngerti juga kamu akhirnya, nak!”
*
Suasana di ruas jalan Sudirman di sekitar bundaran Senayan pagi itu ramai. Sangat ramai seperti biasanya pada tiap pelaksanaan Car Free Day, hari bebas kendaraan. Adri yang sudah lebih dari sejam melakukan jogging kini berlari membelok ke arah Stadion Gelora Bung Karno. Tak beda dengan tempat lain, di tempat itu pun suasananya meriah. Sisa-sisa keramaian acara 17 Agustusan berupa bendera, umbul-umbul, dan spanduk masih cukup banyak tersebar di sana-sini.
Adri memperlambat kecepatan sampai kemudian berhenti di bawah sebuah pohon. Nafasnya terengah-engah setelah cukup jauh berlari. Ia mengeluarkan ponsel buatan murah miliknya dari kantong celana dan melihat aplikasi stopwatch yang tengah aktif. Menurut catatan waktu ternyata ia lebih cepat lima menit jika dibandingkan minggu sebelumnya ketika menempuh jarak yang sama.
Melihat sebuah toilet di dekat tempatnya berdiri, Adri langsung melangkahkan kakinya ke sana. Itu ia lakukan karena baru saja merasa bahwa kandung kemihnya sepertinya telah sedari tadi berteriak agar membuang cairan urine yang tertampung di sana.
Ia beruntung karena kamar toilet yang dirancang untuk pria atau wanita itu cukup bersih. Tak tercium bau pesing atau bau tak sedap lainnya. Ini artinya selain untuk buang air kecil ia bisa gunakan waktu yang ada untuk memang lensa kontak di matanya.
Saat lensa kontak yang memang sehari-hari ia gunakan telah selesai terpasang dan ia juga selesai membuang air kecil, sebuah ketukan di pintu toilet terdengar.
“Cepetan!” terdengar suara wanita dari luar toilet. "Banyak yang butuh ni toilet."
Kening Adri mengerenyit. Apakah hanya sekedar perasaannya, tapi ia merasa mengenali suara tadi.
“Hey cepetaaaan! Jangan bertapa di sana. Ini tempat umum!”
‘Dasar orang kota tidak sabaran,’ rutuk Adri dalam hati.
“Duuuuh, lama amat sih?” ketukan di pintu kini berubah menjadi gedoran kecil. “Ini toilet umum, tauk?!”
“Sabar, Bu.”
Balasan Adri menimbulkan respon dari luar sana.
“Eh, ternyata bapak-bapak yang ada di dalem.”
“Iya. Gue juga baru tau,” terdengar suara wanita lain menanggapi.
Dari situ Adri mengetahui bahwa ada dua orang yang sudah tak sabar untuk ‘bertahta’ di sana. Kendati percakapan keduanya tidak terlalu lantang, pendengaran Adri masih sangat baik untuk bisa menangkap detil percakapannya.
“Ihhh, lama amat?” terdengar suara gemas wanita pertama. “Udah gak tahan nih. Kebelet banget…”
“Elo juga sih. Sejam lalu minum air putih banyak-banyak segala,” wanita kedua terdengar menyalahkan temannya.
“Itu bagus buat kesehatan, tauk!”
“Apa nahan kencing itu juga bagus buat kesehatan? ”
“Tauk ah! Ngomong sama elo sama kaya’ ngomong sama batu. Keukeuh, keras kepala.”
Ketukan kasar di pintu terdengar lagi.
“Oom, lama amat kencingnya?!”
“Tunggu!” Adri yang hampir selesai memasang celananya mendadak pusing mendengar omelan tadi.
“Sabar,” wanita kedua terdengar berbicara kepada temannya. “Paling-paling semenit lagi udah keluar orangnya.”
“Taunya?”
“Tuh kedengeran suara retsletingnya.”
“Maksudnya?”
“Berarti udah mau selesai.”
“Analisa elo keren,” wanita pertama terdengar lega. “Lebih bagus lagi kalo kedengeran suara retsleting sambil ada suara ‘adowwww’ gitu ya?”
Kedua wanita itu terkikik. Adri kini membuka pintu dan terkaget melihat dua makhluk gadis di depannya yang ternyata teman sekelas, Monique dan Dessy.
“Ya olohhhh, jadi elo orangnya yang dari tadi semedi di dalem?” tanya Monique sambil menggeleng-geleng kepala.
“Wah nyanda menyangka kita bisa bertemu di tempat i...”
Omongan Adri terpotong ketika Dessy yang memang selalu kesal padanya menyerbu masuk sambil mendorong tubuhnya ke sisi jalan. “Minggir!”
Akibat terdorong itulah, suara benda terbanting dan pecah berderai terdengar seketika.
“Edo’e!” Adri terpekik kaget dan sedih saat mengetahui bahwa benda yang pecah berderai tadi ternyata ponsel butut miliknya. Perangkat itu terjatuh dan kini ter-mutilasi dengan sempurna hingga berceceran di bawah kakinya.
“Itu ponsel elo? Aduh, Dri. Sori banget.” Monique nampak merasa bersalah kendati bukan dia penyebab jatuhnya benda itu.
Adri terdiam. Dengan dibantu Monique, ia membungkuk dan mulai mengumpulkan bagian-bagian ponsel mulai dari body, SIM card, baterai, dan tutup casing. Dessy sendiri kini sudah berada di balik pintu toilet yang tertutup.
"Adri, are you okay?"
“Nyanda okay," jawab Adri sengit. "Kita heran kenapa Dessy masih begitu benci pa kita. Apakah karena kita ini orang dari desa, dianggap bodoh dan terkebelakang?”
“Nggak segitunya, Dri. Dia nggak sengaja ngejatuhinnya.”
Adri menggeleng. “Kita nyanda percaya.”
Monique yang masih turut membantu dengan mencari-cari potongan ponsel yang berserakan sebetulnya siap mengucapkan kata-kata pembelaan buat Dessy. Tapi ia tak jadi mengucapkan karena tertarik dengan sebuah benda yang baru saja ia temukan.
“Ini apaan?” Monique mengamati dengan penasaran pada potongan lakban hitam yang melilit casing penutup ponsel.
“Lakban. Lakban yang berwarna hitam.” Adri menjawab polos sembari mengambil benda itu.
“Itu mah anak SD juga tau, Oom!”
“Fungsinya untuk menempelin benda-benda agar supaya untuk…”
“Itu juga gue tau, dodol! Yang gue maksud, fungsinya buat apa koq bisa nempel di ponsel elo?” Monique geregetan.
“Itu untuk menutup casing ponsel.”
Adri kemudian bangkit dan langsung pergi dengan membawa ‘reruntuhan’ ponselnya.
Duh, hati Monique terenyuh. Ponsel milik temannya kini begitu tak berbentuk. Ia lantas menahan langkah Adri. “Ponsel elo parah banget. Elo nggak mau minta Dessy gantiin? Pasti dia mau koq buat tanggungjawab.”
Niat Monique jelas tulus. Tapi ia tak menyangka kalau Adri rupanya tak suka dengan usulannya. Pemuda itu membalik badan dan berkata pedas ketika matanya tajam menatap Monique.
“Kita nyanda akan minta tolong pada gadis sombong itu. Nanti dia pikir kita sengaja atau pura-pura jatuh supaya ponsel diganti. Nyanda mau kita!”
“Tapi Adri, kondisi ponsel elo tuh udah parah banget. Gue gak tega liatnya. Kalo kondisi udah kayak gitu mending di-euthanasia aja.”
“Apa itu?”
“Suntik mati.”
“Oh tidak bisaaaaa. Kita akan usaha sekuat tenaga supaya ponsel itu diperbaikpun. Eh, diperbaikan. Eh, diperbaikin. Eh, diperbaiki.”
“Ya elah. Elo koq sayang banget sih sama ponsel jelek gitu?”
“Jelas sayang, Monique. Soalnya di ponsel itu ada permainan Tetris.”
“Cuma karena ada game Tetris? Hari gini elo masih main Tetris?”
“Iya. Ada game Tetris di ponsel ini. Dan kita so ada di level terakhir. Kan sayang kalau belum game over. Iya toh?”
Monique terdiam. Jadi itu toh alasannya, katanya membatin.
*
Renang adalah kegiatan ekstra kurikuler yang Adri ambil.Tergolong sebagai kegiatan ekskul yang kurang begitu favorit di kelas, Adri tidak merasa heran ketika melihat hanya belasan siswa yang datang ke kolam renang di sebuah Sports Club tak jauh dari lokasi sekolah. Tapi sialnya dua sejoli musuh bebuyutannya ternyata ada juga di sana. Arjun dan Dessy.