Sialnya – atau beruntungnya? – lampu teras dimana mereka berada saat itu menyala sangat terang. Tak pelak ini membuat rona merah yang menyergap wajah Adri maupun Dessy jadi sangat terlihat. Suasana canggung seketika menguasai. Dessy yang biasa ceriwis dalam seketika seolah kehilangan seluruh stok perbendaharaan kata sehingga tak mampu mengucap satu pun kata.
Dan kalau Dessy sampai demikian adanya, betapa lebih besar lagi yang Adri alami. For the first time in his life, ia jadi bisa bertatap muka sangat dekat dengan seorang gadis yang selain ibunya. Ia bisa melihat detil keindahan alam seorang gadis yang ada pada diri Dessy. Akan halnya perasaan Dessy, Adri tidak tahu. Mungkin ia mengalami perasaan ‘lebay’ yang sama, atau bisa juga tidak. Toh, ada perbedaan besar antara dirinya dengan gadis itu.
Dessy sudah punya seorang kekasih – dan bisa jadi bukan kekasih pertama – sementara dirinya masih berstatus jomblowan a.k.a. pertapa tulen yang belum pernah menjejak kaki dalam ranah cinta.
Eits, tunggu! Cinta? Cinta?
Apakah bersentuhan pipi dan hidung bisa menghasilkan nuansa cinta? Sesimpel itukah? Di kampungnya – apalagi yang terpisah daratan – di ujung utara Sulawesi, pernikahan model Siti Nurbaya masih acap terjadi dan tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Tidakkah itu membuktikan cinta itu simpel dan orang per orang saja yang membuatnya rumit? Complicated?
Ah, apapun itu. Sederhana atau rumit yang jelas saat ini, di tempat ini, sudah tercipta kecanggungan besar di antara mereka berdua.
Kalau Dessy sampai menjadi demikian canggung, betapa lebih lagi kecanggungan itu menguasai Adri. Bagaimana tidak, bersentuhannya hidung dan pipi membuat mereka berdua jadi berjarak begitu dekat sehingga ia bisa melihat keindahan wajahnya dengan begitu detil. Ia juga bahkan bisa merasakan dengus nafas itu yang kini terasa makin berat.
“Sakit.”
Ucapan lirih tadi menyadarkan diri Adri. Dengan rasa malu dan juga bersalah karena dengan tak sengaja menyakiti Dessy ia kemudian melepas cekalannya pada pergelangan tangan gadis itu.
Spontan Adri pun menarik diri.
“S-sorry.”
Satu kata yang terlontar dari mulut Adri menjadi satu kata paling sulit yang bisa ia ucapkan saat itu. Bisa mengucapkannya saja sudah merupakan hal yang luar biasa.
“No, it’s OK.”
Suasana hening kembali tercipta. Adri terpekur. Tak berani menatap Dessy yang kemudian karena tak suka dengan suasana diam, lantas kembali bersuara.
“Lu tau gak, lu udah berhasil bikin Papa dan Mama suka sama lu.”
“Lu tau gak, gue itu udah….”
Melihat Dessy tertawa, Adri menghentikan ucapan. “Apa yang lucu?”
“Akhirnya gue denger juga lu mulai pake bahasa lu-gue. Biarpun acakadut. Dalam satu kalimat lu bisa pake lu, gue, aku, kamu. Nggak konsisten lu ah!”
“Ah, kirain apaan. Masa’ hal gitu dipermasalahkan?”
“Lanjut deh. Mau ngomong apa tadi.”
“…..”
“Koq diem? Ayo ngomong. Mau bicara apa sih tadi?”
“Mmm…. lupa.”
“Idih baru sebentar ngomong udah lupa.”
“Ya itu kelemahanku.”
“Kelemahan apa?”
“Gampang lupa kalo ngomongnya sama gadis cantik.”
Dessy terperangah. Untuk pertamakalinya ia mendengar sebuah kalimat rayuan keluar dari mulut si bocah kampung! Ia menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suaranya yang terbahak.
“Sialan lu. Baru baikan dikit udah bisa ngerayu. Mau gue cubit lagi?”
Adri menanggapi tawa itu dengan tawa juga.
“Dessy, tadinya gue mau ngomong kalo gue juga suka sama orangtua lu. Dan, gue nggak bohong, mereka itu bisa jadi sahabat kamu. Sayang banget kalo kamu abaikan.”
“Tuh kan? Lu, gue, aku, kamu, campur aduk jadi satu. Tapi okelah, gue musti biasa dengan tata bahasa lu yang acakadut kayak gitu. Jadi menurutmu, aku harus merubah sikap pada Mama dan Papaku?"
"Mereka orangtua yang luar biasa. Sayang sekali padamu. Jadi sebaiknya, ya. Ubahlah sikapmu. Kamu dimanja bukan berarti menentukan segala sesuatu tanpa melibatkan mereka."
Aduh, kata-kata itu terasa menghunjam telak ke ulu hati. Dessy heran. Kalimat semacam itu bukan hal asing di telinganya. Tapi entah mengapa ketika diucapkan si bocah kampung, kenapa bisa begitu menggetarkan? Ilmu magis apa – kalau memang ada - yang ia gunakan? Jelas, tak ada ilmu magis di sin ikan?
“Mereka orang-orang yang luar biasa. Mudah sekali karib dengan mereka. Kami jadi nggak berjarak. Nggak ada sekat. Malahan, belum apa-apa Papamu buka peluang supaya kampungku dapat CSR dari perusahaan dia.”
“CSR?”
“Corporate Social Responsibility.”
“Explain please, Mister Adrianus.”
“Intinya itu adalah wujud kewajiban sebuah korporasi untuk memberdayagunakan potensi daerah yang ada. Karena kebetulan perusahaan Papamu ada juga di provinsi aku, terbuka peluang untuk bikin pelatihan atau membangun fasilitas publik di sana.”
“Fasilitas publik? WC Umum?”
“Bukan hanya itu. Pokoknya kegiatan untuk menunjang masyarakat. Bisa berkaitan dengan ekologi, lingkungan, ekonomi, Pendidikan. Banyak deh.”
“Kamu itu sering dicap orang kampung tapi koq bisa ngerti yang aku dan teman-temanku nggak ngerti.”
“Aku nggak bisa salahin. Setiap orang ada minatnya masing-masing.”
Dessy tersenyum kecil. Pikirnya, teman dari kampungnya ini lama-lama bicaranya menjadi sangat dewasa. Matang.
"Mereka berdua pasti ingin sekali untuk pergi bersama-sama dengan puterinya," Adri menyambung. "Mau pergi kemana ya terserah. Yang penting kalian ber-ti-ga. Aku mohon sekali, Sy. Sempatkan waktu untuk kalian jalan bersama."
Dessy mengebas rambut. "Aku heran."
"Maksudmu?"
"Aku heran kenapa kamu begitu perhatian. Ini bukan karena kamu dibujuk Papa kan?"
"Bukan karena itu tapi karena..." ucapan Adri terhenti sejenak. Suaranya berubah berat. "Karena aku pernah mengalami pahitnya kehilangan orangtua ketika aku masih belum banyak membahagiakannya. Dahulu aku nakal sekali."
Info itu sedikit mengejutkan Dessy. "Kupikir kamu itu anak kalem, Dri."
"Aku ini begitu nakal sampai-sampai nggak naik kelas. Dan ketika aku mau berubah situasi sudah terlambat karena Papa sudah terlanjur berpulang. Aku menyesal sekali. Dan penyesalan itu berlangsung berlarut-larut. Butuh enam tahun sampai kemudian luka hatiku pulih dan menerima kenyataan ketiadaannya."
Mata Adri kini menatap tajam ke arah Dessy. "Jangan lakukan kenakalan seperti yang dulu aku lakukan. Aku gak ingin kamu mengalami hal yang sama. Cobalah dengar apa kata orangtua. Toh mereka hidup lebih lama daripada torang samua.”
“Zaman kan udah berubah. Nilai-nilai yang ada sekarang kan berbeda dengan zamannya mereka waktu remaja dulu.”
“Betul, tapi nilai-nilai yang basic, yang fundamental, kan tidak?”
Wuih, kaget juga Dessy mendengar si bopung sudah mulai pakai kata ‘basic’ dan ‘fundamental’. Selain itu makin jarang pula dia pakai bahasa kampung.
“Iya toh?"
Ucapan Adri begitu dalam. Dessy larut dalam hening yang terjelma di lima menit berikutnya. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar dari seorang pria pedalaman namun cukup kenyang dengan asam-garam kehidupan. Sampai kemudian dua buah lampu menyorot dari sebuah tikungan jalan dan berhenti di depan rumah.
"Taksimu sudah datang."
"Aku pamit dulu." Adri beranjak ke pintu gerbang dengan diiringi Dessy. "Dan sampaikan salam untuk orangtuamu yang hebat itu."