Setibanya di rumah, Ade sungguh kaget sebab semua orang sedang menatap dengan histeris. Mereka tidak tau harus berbuat apa sebab tidak ada kendaraan yang bisa mereka gunakan untuk mengejar Tiara yang baru saja kabur.
"Tuan Ade, mobilnya baru aja pergi. Mobilnya berwarna hitam dan ini nomor platnya." Pembantu di rumah itu segera memberi keterangan yang membuat Ade segera bergerak untuk mencari mobil yang dimaksud.
"Dasar wanita gila! Wanita jalang! Aku akan membunuhmu kalau sudah ketemu." Ade melaju dengan sangat cepat, mencari ke sana ke mari sampai akhirnya ia berhenti untuk meminta bantuan pada Arsha.
Benar memang, jika ia bukanlah apa-apa tanpa lelaki itu di sisinya.
***
Arsha yang baru saja mendengar kabar jika dirinya harus dirawat di rumah sakit merasa sedikit kesal. Ia juga tidak percaya dengan diagnosa kesehatannya yang sedang bermasalah. Selama ini ia tidak pernah mengeluhkan sakit sedikit pun. Lalu, ia dirawat untuk apa?
Tatkala ia ingin kabur, Aram malah telah datang dengan membawakan tamu untuknya. Ia menjadi lebih kesal lagi.
Beberapa saat setelahnya, ia berkenalan dengan Reno yang juga mulai membahas masalah bisnis mereka. Tentu saja, Arsha paham akan tujuan perbincangan itu.
"Apa putrimu tidak laku lagi sampai harus disodorkan pada keluargaku lagi? Aku belum mau menikah dan tentang perjodohan itu adalah hal yang tidak akan pernah terjadi dalam hidupku!" Begitulah ucapan tegas dan menyakitkan yang keluar dari mulut anak remaja yang bersikap sangat dewasa itu.
Reno tentu saja tidak mau tinggal diam. Ia sangat ingin membalas. Namun, itu hanyalah sebuah kesia-siaan ketika Arsha mendapat panggilan dari Ade dan harus berbincang serius.
"Apa? Gadis itu lagi? Lihat saja, kali ini aku yang akan memberi hukuman untuknya. Aku harap, dia tidak akan bisa kabur dariku setelah mencari masalah denganku."
Tanpa pikir panjang, Arsha pun keluar dari sana. Aram bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menegur cucunya itu.
"Kenapa, Aram? Apa yang salah?"
"Dia sedang ada urusan dengan sepupunya. Kalau urusannya dengan Ade, siapapun tidak bisa melarangnya. Huft! Sebaiknya kita berlibur saja besok, masih banyak yang harus kita kunjungi sebelum ajal menjemput."
Aram tampak frustasi sebab tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menatap rasa kesal dan kecewa yang melekat di wajah Reno sekarang ini.
***
Setelah berada di rumah Ela. Tiara akhirnya berani menyalakan ponselnya. Ia tertuju pada pesan Arsha yang mengingatkan ia untuk kembali saja dari pada harus menjadi buronon Ade.
Seketika wanita itu mencampakkan ponselnya dan tidak ingin menyentuhnya lagi. Ia bisa membayangkan bagaimana keruhnya suasana di luaran sana sekarang.
Ela yang melihatnya pun menjadi khawatir sekaligus penasaran.
"Kamu kok jadi penakut gini, Tiara? Kan ada aku yang akan nolongin kamu dalam kondisi apapun. Tenang aja, kita aman di sini."
Tiara melebarkan kedua tangannya. Ia butuh pelukan sebagai penenang untuknya sekarang ini. Tatapannya masih sendu, ia menatap ke arah jendela dan membayangkan hal yang sama berulang-ulang.
"Ela, jangan mengelak lagi. Sekarang aku mau nanya, kamu tau dari mana aku tinggal di sana? Aku bahkan nggak pernah ngasih tau kamu sebelumnya. Jangan mencari alasan dan berikan jawaban sejujurnya padaku. Kalau kamu masih bohong, aku akan keluar dari sini, sekarang juga."
Ela tidak bisa menjawab secepat yang diharapkan oleh Tiara. Gadis itu malah diam membisu. Entahlah apa yang ada dalam pikirannya.
"Ela, kita sahabat apa bukan, sih? Kamu kok nyimpan rahasia dari aku kayak gini. Kamu tau nggak sih kalau aku udah nikah sama—"
"Iya, Tiara. Aku tau kamu udah nikah! Kamu nikah sama Ade, kan? Maafkan aku, Tiara..." Gadis itu segera memeluk Tiara erat, sangat erat. Ia menjelaskan kondisi dan keadaan yang sesungguhnya telah terjadi. Ia juga menjelaskan betapa merasa bersalahnya ia selama ini.
Keduanya kemudian tertidur dengan ditemani isak tangis yang masih tersisa. Hingga ketika hari telah sore, Ela baru sadar jika Arsha tau rumah ini dan tidak memungkinkan untuk mereka menjarah tempat ini secepatnya.
"Kamu bersih-bersih sekarang, kita pergi dari sini." Ela memerintah Tiara untuk segera bergerak dengan sedikit panik.
Setelah apa yang sudah ia dengarkan dari sahabatnya itu, tiada keraguan lagi untuknya. Dengan cepat, ia bersih-bersih seperti yang diperintahkan oleh Ela.
Lalu, beberapa saat kemudian, keduanya keluar dari sana dengan Ela yang meminta izin pada ayahnya melalui sambungan telepon sebab belum kembali.
"Tungguh ayah, Ela!" seru Reno dari ujung sana, namun tiada guna sebab putrinya sudah menutup sambungan telepon.
"Kamu yakin kita akan aman kalau kita pergi ke rumah lamaku?" tanya Tiara tampak sedikit ragu.
"Aku yakin, Tiara. Percayalah, mereka pasti sudah ke sana duluan. Tapi, kita akan mengecoh mereka dengan pergi ke sana lagi dan tinggal di daerah yang dekat situ. Jadi, kita bisa tau perkembangannya."
Ela memeluk sahabatnya itu lagi.
"Apa kamu tau seberbahaya apa Ade? Aku merasa penasaran."
"Diam dan tidurlah. Aku akan mengebut."
"Ela, apaan sih? Ayo jelasin, kasih tau ke aku, dong!" rengek Tiara yang memang sangat merasa penasaran.
"Tidak, Tiara! Hentikan rengekanmu. Aku sama sekali tidak tau!" seru Ela dengan cerewet membuat Tiara yakin jika sahabatnya itu telah memberikan jawaban yang sejujurnya.
Pada akhirnya, ia memilih untuk menurut dengan diam, mendengarkan musik, lalu tertidur.
***
Berbeda dengan Ade yang sudah merasa frustasi sebab belum mendapatkan info tentang keberadaan istrinya. Ia semakin kesal tatkala sudah menggunakan tenaga Arsha yang ia yakini akan segera mendapatkan jalan keluar dari masalah ini, namun sama saja dengan yang lain.
Ia mencoba tenang di ruangan kerjanya, mencoba mengolah langkah perjalanan Tiara yang tetap saja tak ia dapatkan.
"Apa mungkin ke rumah Ela?" gumamnya kemudian menghubungi Arsha, menyampaikan isi pikirannya yang ternyata telah ada dalam benak lelaki itu dan sudah di cek.
"Aku udah cek langsung, tidak ada mereka berdua di sana. Ade, kamu berbuat apa sama Tiara sampai ia keluar dari rumah seperti itu?"
Ade begitu frustasi. Ia semakin murka setelah mendengar pertanyaan itu. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan apa yang coba ia lakukan selama ini pada wanita itu. Ia memperlakukan Tiara sebaik mungkin.
Namun, satu hal yang membuat ia ragu. Mungkinkah ketika ia mabuk kemarin telah menyakiti wanita itu? Mungkinkah ia membuat kesalahan di sana?
Kini, Ade teringat akan hari-hari yang ia lewati bersama Tiara selama dua minggu ini. Ia sungguh merasa kesal ketika memperlakukan wanita itu sebagai istri hanya ketika di hadapan kakeknya. Ia sungguh buruk dan jahat.
Parah dari yang paling parah adalah ketika ia mengingat jika dirinya bahkan tidak menyimpan nomor ponsel wanita itu.
"Suami macam apa kamu!" teriak Aram. "Bahkan ketika aku tidak suka istrimu atau mendorongmu menjatuhkan dia, tak seharusnya kamu berbuat seperti itu, Ade. Selama ini kamu mendukungnya hanya pura-pura? Sialan kamu!" umpat Aram yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjanya. Lalu, melempar tongkatnya hingga hampir mematahkan hidung lelaki itu jika tidak segera menghindar.
"Kenapa semua orang menyalahkanku? Kenapa rasa bersalah menghantuiku? Di mana kamu, Tiara?"
***