Banyak Hal Terjadi

"Ayo, Tiara, kita pergi dari sini. Tidak ada gunanya bicara dengan bajingan murahan ini. Mendengar suaranya saja aku sudah jijik, apalagi harus melihat wajahnya." Ela menarik sahabatnya itu untuk segera pergi dari sana.

Ada rasa penyesalan yang amat besar di dadanya.

"Hentikan! Diam!" Teriakan Aram kali ini membuat semua orang diam membisu. Tidak tahu kenapa dia bisa semarah itu, tapi yang jelas semua orang benar-benar diam olehnya.

"Aram, jaga kesehatanmu," ucap Doddy Ebiigael, sang sahabat sejak lama.

"Diamlah. Aku tidak ingin bicara denganmu, aku ingin bicara dengan wanita ini. Apa dia calon menantumu?" tanya Aram menunjuk ke arah Nayra yang tampilannya memang adalah seorang pengantin.

"Iya, benar. Kenapa?"

"Tidak apa-apa," jawab Aram dengan nada getir. "Mereka semua adalah cucu-cucuku. Entah kenapa mereka sering membuat kekacauan, tidak mengenal waktu dan tempat. Ck! Entah harus bagaimana lagi aku bersikap," ucapnya kemudian menarik dan menuntut mereka semua untuk bergerak menjauh dari tempat itu.

Ade terdiam membisu. Ia menatap ke arah Ela yang berusaha mempengaruhi istrinya untuk pergi. Besar harapannya, wanita itu akan menolak dan memilih tinggal bersamanya. Ia juga baru sadar jika kakeknya telah tahu segalanya tentang masalahnya.

"Dia aja nggak mikirin kamu, Tiara."

"Memangnya kamu ada mikirin aku? Terus, kenapa bawa aku ke mari? Kenapa?!" Teriakan itu sangat jelas menusuk hati semua orang. "Biarkan aku bicara!" tegasnya pada Ela yang hendak menyahut.

"Dia adalah kakakku. Di tubuh kami masih ada darah yang sama. Aku nggak akan pernah senang kalau kakakku terluka, terserah bagaimana dengannya. Ela, kamu kan sahabatku, kamu seharusnya ngerti kalau dia sakit hati, aku akan merasakan hal yang sama. Tapi, bagaimana bisa, kamu dengan sengaja membawaku ke mari?!"

Suara tangis wanita itu pecah membuat Ela segera memeluknya dengan sangat erat. Dari mulutnya keluar ucapan maaf berkali-kali.

"Nggak usah sentuh aku, Ela." Menolak dengan tegas kemudian melangkah pergi dari sana.

Namun, masih beberapa langkah berjalan, tubuhnya oleng dan ambruk dalam tangkapan Ade.

"Bukakan mobil!" perintah Aram pada Ela. Ia membiarkan anak muda itu pergi meninggalkan dirinya yang tak ingin acara ini rusak. Terlebih lagi, tak ingin membuat Nayra mundur dari acara pernikahan yang membawa nama baik temannya, Doddy Ebiigael.

***

"Kamu bawa dia ke mana aja? Kamu itu manusia apa bukan, sih?!" kesal Ade dengan tatapannya yang sangat tajam.

"Apa maksud kamu? Kamu sendiri yang bilang bawa ke pesta—"

"Bukan itu! Kenapa dia sampai pingsan? Kenapa dia sampai kekurangan asupan makanan sehat seperti itu? Kalau sampai keadaannya semakin memburuk, kamu tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang."

Menatap ke arah ruangan Tiara yang masih mendapat penanganan kembali, membuatnya sedih. Ia tahu dan sadar jika semua ini salahnya. Jika saja, ia tak meyakinkan sahabatnya itu akan indahnya sebuah pelarian, semua ini tidak akan terjadi.

Air matanya menetes sempurna bersamaan dengan langkah kakinya yang menjadi dari Ade lalu keluar dari tempat itu. Ia meminta ayahnya untuk menjemputnya dan memerintah beberapa orang untuk mengurus pakaian mereka yang sempat terbeli.

Untuk beberapa saat mereka akan berpisah, namun bukan untuk bermusuhan. Dari sisi Ela dan Tiara, keduanya sama-sama butuh waktu menyendiri.

Semua terjadi begitu saja, bagaikan mimpi buruk.

***

Acara pernikahan Bobby dengan Nayra telah selesai. Kini, ia telah sah menjadi istri dari Bobby Ebiigael. Sesungguhnya, banyak kejutan-kejutan baru yang ia dapatkan hari ini.

Bobby yang adalah anak dari konglomerat dan berteman baik dengan Aram Ellias. Sadar jika pria itu adalah kakek mertua dari adiknya, ia mencoba bertanya keadaan Tiara.

"Kamu ... cari tau sendiri, Nak. Datanglah dan temui dia. Minta maaflah jika perlu, peluk dia jika butuh. Tali persaudaraan kalian tidak akan pernah putus. Kamu juga sudah menjadi istri yang suatu hari nanti akan menjadi ibu. Jangan terlalu jahat agar keturunanmu tidak sengsara." Aram memberikan keterangan yang benar-benar membuat wanita itu sungguh menyesal.

"Kakek, tolong sampaikan padanya permintaan maafku. Aku malu jika harus bertemu dia. Dan perintahkan juga pada cucumu agar tidak semena-mena dengan adikku. Aku akan segera membayari hutangku—"

"Dua puluh kali lipat." Bobby menyela kemudian memeluk istrinya itu. "Om Aram, Nayra tidak akan memilih kembali padaku jika cucumu baik. Seharusnya itu menjadi poin penting bagi kalian, kenapa Tiara berniat pergi darinya juga."

Aram tertegun. Ya, memang benar. Yang dikatakan oleh kedua orang ini benar adanya.

"Tapi, hutangmu telah ditukar dengan hidup adikmu. Bukankah itu yang kamu inginkan? Nayra Pratista adalah seorang kakak yang selalu iri dengan kehidupan adiknya. Bayaran yang kalian berikan, bahkan seratus kali lipat besarnya, tidak akan pernah mengembalikan kenyataan bahwa kakaknya menumbalkan adiknya untuk hutang."

Lelaki tua itu segera beranjak pergi dari sana. Ia yang dicegat oleh Doddy bersama istrinya, Emma. Pun harus menurut untuk duduk bersantai sejenak. Bagaimanapun, tak banyak yang bisa perbuat selagi menunggu keterangan dari dokter akan keadaan Tiara sekarang ini.

***

Tiara menatap ke sekeliling, ia mencoba memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuh. Ade yang baru saja keluar dari toilet pun segera bertanya.

"T-tidak usah dekat dan jangan sentuh. Panggilkan Ela saja."

"Memangnya dia sudah tidak punya harga diri setelah kamu maki dan masih tetap di sini? Memangnya siapa kamu, ha?" balas Ade yang segera membuat Tiara terdiam.

"Kamu!"

"Diamlah!" perintah Ade dengan raut wajah datarnya yang seperti biasa. "Arsha, bawakan selimut kecil untuk wanita ini."

Ucapan melalui sambungan telepon itu membuat Tiara terdiam. Tak banyak yang bisa perbuat, apalagi dengan keadaan tubuhnya yang terasa sangat lemah.

"Duduklah, waktunya makan." Ade kembali angkat bicara dengan membuka kotak makan yang diberikan oleh pihak rumah sakit.

Tiara kembali dibuat kebingungan. Sesungguhnya, ia bisa melakukan segalanya sendirian, apalagi ketika dipaksa dan diancam pria ini. Baginya, itu lebih baik daripada harus diperlakukan manis seperti ini. Seolah ada firasat buruk yang menemani.

"Haus lagi?" Ade kembali bertanya.

Tiara diam sebab ia belum meminta apa-apa sejak tadi. Memangnya apa niat lelaki ini selain mempermainkan dirinya.

"Ini, minumlah." Menusukkun sedotan di gelasnya untuk segera diminum oleh wanita itu.

"Sudah. Terima kasih." Tiara akhirnya menyerah dan mengucapkan rasa terima kasih selayaknya manusia yang tau diri setelah diberi pertolongan.

Ade kemudian meniup-niup makanan Tiara dengan lembut dan mencoba memberikannya pada wanita itu. Tampaknya ia cukup ikhlas melakukan hal ini.

Pikiran buruk Tiara segera hilang ketika lelaki itu menyendokkan makanan dan menyodorkan ke dalam mulutnya.

"Aaa...."

***