Rasa Curiga

Pagi itu, Ade bangun dan menikmati pemandangan wajah istrinya. Tanpa sadar, tangannya bergerak, menyibak anak rambut yang jatuh menutupi salah satu mata wanita itu.

Pria itu menengok ke arah jendela, bermaksud menutup cahaya matahari yang terasa mengganggu ketenangan tidurnya wanita itu.

"Ssh," desis Tiara tepat ketika suaminya hendak menutup jendela. Ia segera bangkit dan menengok ke segala arah. "Ngapain?" tanyanya santai.

"Mau buka jendela. Cepat bangun! Memangnya kamu siapa di rumah ini? Katanya mau ngurus suami dan pernikahan ini, nyatanya bangun aja lama!" kesal Ade dengan jawaban ketusnya.

"Ha? Memangnya sudah jam berapa?" tanya Tiara segera mengecek jam di ponselnya. "Hehe... maaf. Tapi, itu semua udah aku urus, kok. Pakaian kerja kamu juga udah lengkap tuh!"

Ade segera memastikan perkataan istrinya dan sadar jika memang segala urusannya sudah lengkap. Ia cukup kesal sebab tidak ada alasan untuk mengintimidasi istrinya lebih jauh, apalagi setelah wanita itu masuk ke dalam kamar mandi.

Masih dengan perasaan kesal, pria itu melangkah meninggalkan kamar setelah merapikannya. Ia bergabung dengan kakek juga adik sepupu yang kini tengah mengobrol.

"Rencananya sih, aku mau kuliah di luar negeri, Kek. Bang Ade saja bisa, apalagi aku kan, ya?" celetuk Arsha dengan sengaja tatkala bosnya itu datang.

Aram menengok ke arah Ade yang tampak kesal. Sepertinya ia tidak terlalu peduli. Kini, ia malah melanjutkan kebohongan yang dimainkan oleh cucunya itu.

"Iya. Sekalian tuh, kamu bawa Nita. Jadi, kamu yang biasanya mandiri, bisa sedikit manja dan fokusnya ke pendidikan saja. Pekerjaan di sini, tinggalin dulu."

Mendengar hal itu, Ade berdecak kesal. Ia tidak terima jika asisten pribadinya itu harus meninggalkan dirinya di sini. Bukan hanya tentang pekerjaan, juga tentang rumah yang akan menyepi, pun hidupnya yang biasanya selalu diusik oleh Arsha.

"Tidak bisa!" putusnya dengan serius.

"Benarkah? Kenapa? Kemarin kau sudah kuliah di luar negeri, apa bedanya denganku?" kesal Arsha.

"Memangnya kenapa harus jauh-jauh ke luar negeri? Pendidikan itu sama saja, di mana saja kamu bisa sukses asal belajarnya serius. Sudahlah, tidak usah bertingkah! Di sini banyak pekerjaan yang harus kamu tanggungjawabi dan selesaikan!" tegas Ade tanpa peduli dengan permohonan Arsha.

Sementara Nita baru saja kembali dari kesibukannya di luar sana. Entah apa yang dipikirkan oleh wanita itu. Tapi yang pasti, setiap ia pulang ke rumah, keadaannya pasti menjadi sangat terkasihan.

"Mama?" panggil Arsha. Ia berlari untuk memeluk wanita yang keadaannya sangat lemas itu.

"Ada apa, Nak? Mama lagi malas sekarang," balas Nita cuek.

"Kenapa, Tan? Ada masalah apa? Kasih tau aku. Siapa yang gangguin Tante kesayanganku? Aku selesaikan orangnya sekarang." Ade ikut nimbrung yang membuat Arsha kesal kemudian menarik ibunya menjauh dari sana.

Namun, hal itu ternyata membuat Ade semakin kesal. Dia adalah manusia biasa yang juga punya rasa penasaran besar. Terlebih, ketika hal itu berhubungan dengan Nita, wanita yang sangat ia sayangi sejauh ini.

Tiara yang tengah memasak di dapur, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia sungguh tidak menyangka jika seorang Ade bisa bersikap manja dan kekanak-kanakan seperti itu.

***

Ela baru saja mendapatkan ponsel baru pemberian ayahnya. Untuk terakhir kalinya, ia menatap foto kebersamaannya dengan Tiara selama ini. Tak sadar, air matanya kembali banjir dari pelupuk matanya.

Entahlah, apa tujuan Reeno menjauhkan ia dari Tiara. Padahal, pria itu sendiri yang mengatakan jika ia harus menikah dengan Arsha. Secara logis, Tiara bisa saja menjadi jalan keluar untuk mendekatkan dirinya dengan pria itu.

Ponsel lamanya segera ia letakkan di atas sebuah meja yang berbahan dasar batu. Segera saja benda pipih itu ia hancurkan tak bersisa.

Hancurnya benda itu tak jauh berbeda dengan keadaan hatinya. Beberapa detik kemudian, sang ayah datang untuk memastikan kegiatan putrinya itu.

"Udah beres?" tanyanya.

"Udah, Yah."

"Baguslah. Besok ikut ayah. Kamu akan hidup dengan ketegasan sekarang. Mulai besok, kamu ... kalau ke mana-mana harus sama pengawal."

Sesungguhnya, keputusan itu adalah hal yang sangat mengejutkan bagi Ela. Namun, sebisa mungkin ia tahan agar tidak menjadi bahan pikiran lagi untuk ayahnya.

Sepanjang malam, ia tak bisa tidur dengan damai tatkala masih memikirkan hal itu. Ah, terlebih lagi bila harus berpisah dengan Tiara, satu-satunya orang yang paling mengerti deritanya.

***

Bobby memeluk dan menciumi istrinya itu berkali-kali. Walau sesungguhnya kepercayaan Nayra tengah diuji oleh perbuatan pria ini.

Siang tadi, wanita itu mendapati foto Tiara di beberapa lipatan kertas di dompet dan berkas-berkas penting soal pekerjaan Bobby.

Hati siapa yang tidak akan hancur menerima kenyataan pahit seperti itu. Ia yang sedang hamil harus menahan segalanya sendirian dan sepertinya hal itu adalah sebuah kewajaran tatkala pria itu pernah mengaku tidak pernah mencintai Tiara.

"Mas?" tanyanya dengan nada serius.

"Ada apa, Sayang?" balas Bobby dengan santai kemudian menarik tubuh istrinya untuk duduk di atas pangkuannya.

"Aku mau bertanya serius," ucap Nayra dengan nada tegasnya. Ia menolak duduk di pangkuan suaminya.

"Katakanlah."

"Kamu sebenarnya cintanya sama siapa? Aku atau Tiara?"

"Kenapa sih harus selalu ada nama dia? Apa sih yang ada di benak kamu? Sadar nggak sih, kalau ada anak kita di perut kamu?"

"Nah. Ini nih yang paling aku nggak suka. Mas selalu aja bawa-bawa anak kita ke dalam setiap masalah. Memangnya apa? Apa kamu benar-benar ada perasaan sam Tiara?"

Plak! Tamparan keras itu begitu terasa di pipi kanan Nayra. Wanita itu menatap dengan heran. Sungguh tak menyangka jika suaminya kini benar-benar tega melakukannya.

"Kamu selalu saja menyudutkan aku. Capek tau! Telingaku ini sudah bosan mendengar kecurigaan kamu. Memangnya apa tujuan kita menikah jika bukan untuk saling jujur dan percaya?"

Ucapan Bobby kali ini membuat Nayra terhenyak. Ia kehabisan kata-kata untuk melawan perkataan suaminya. Bagaimana tidak, semua tuduhannya malah dikembalikan kepadanya.

"Kamu jahat, Mas!"

"Kamu yang jahat. Dasar istri tidak berguna!"

Nayra segera menitikkan air mata. Ia tak lagi dapat menahannya. Lidahnya kelu, sungguh tak dapat melawan perkataan Bobby yang selalu berhasil menyudutkan dirinya.

"Kamu mau ke mana?" teriak Bobby segera membawa Nayra ke hadapannya.

"Aku mau ke kamar mandi, Mas."

"Ngapain? Mau nangis?" tanya Bobby semakin memprovokasi istrinya. Hal itu sungguh membuat wanita itu semakin kesal.

Nayra tak peduli lagi. Ia segera keluar dari kamar sekarang, berjalan menuruni tangga hingga akhirnya semua orang yang ada di rumah itu menatap ke arahnya.

Heran, memang. Bobby yang dikenal pendiam dan baik hati,ternyata bisa marah juga. Mungkin begitulah isi pikiran mereka.

"Nayra, kembalilah!"

***