Tidak Peduli dengan Istri dan Anak

"Sayang, kamu sudah makan belum?" tanya Tiara dengan nada lembut pada suaminya yang tampak masih menyendiri di balkon.

Pria itu tampaknya tidak sedang sibuk, namun ia masih tidak ada niatan untuk melihat putra mereka yang padahal sudah ada di rumah sekarang.

"Hm."

Hanya deheman itu yang Tiara dapatkan. Hal itu tentu saja membuat berat hati Tiara untuk melanjutkan perbincangan di antara mereka.

"Mas, aku ada ngelakuin kesalahan, ya, sampai-sampai kamu kayak gini ke aku? Aku heran, sejak kemarin kamu menjauh, tidak biasanya loh."

Tiara menjujuri apa yang selalu menjadi bahan pikirannya selama ini. Walau begitu, Ade masih saja sama. Ia tidak begitu peduli dengan keadaan istrinya, menatap buku yang ada di tangannya yang padahal entah tentang apa.

Kali ini, ia bahkan lebih kejam dan jahat tatkala tangannya meraih earphone yang segera dipasang. Ah, sungguh menyesakkan di hati Tiara.

"Sayang, kita lihat anak kita sekarang, yuk?" ajak Tiara memberanikan diri mengguncang tubuh suaminya yang biasanya memang sangat lembut padanya.

"Awas, pergilah sana. Jangan mengajakku bicara dulu. Mengganggu saja!"

Tepisan yang berbarengan dengan bentakan itu membuat Tiara sadar jika suaminya memang telah berubah. Matanya berkaca-kaca apalagi ketika melihat kedatangan Ela dan Arsha yang bahkan tidak berani untuk berbuat apa-apa.

Arsha mendekat hanya untuk menarik Tiara dari sana. Ia mengajak wanita itu untuk lebih baik bermain dengan keponakannya saja.

"Aku boleh bicara dengan Bang Ade?" tanya Ela sekarang.

Ia memang gadis yang cukup berani, tak peduli akan semarah dan separah apa perbuatan Ade padanya nanti, ia hanya ingin pria itu sadar jika waktu akan terus bergulir. Dan masih ada Tiara dan putranya yang butuh perhatian darinya.

"Hentikan, Ela, hentikan! Ini bukan soal berani atau tidak. Bulshit jika omonganmu akan digubris olehnya. Sudahlah, biarkan saja dulu. Aku yang akan mengurusnya nanti."

Arsha menegaskan kata-katanya pada Ela yang padahal sudah sangat geram pada Ade sekarang ini.

"Kita makan dulu, aku sudah sangat lapar," ajak Tiara setelah perseteruan di antara sepasang anak muda itu berhenti.

"Sangat lapar? Jangan bilang kamu tidak makan seharian," omel Ela sangat kesal dan segera bergerak cepat mempersiapkan segalanya di meja makan. "Jangan dibiasakan, Tia. Ya, kalau suamimu gila seperti itu, tidak harus dong kamu pakai acara ikutan segala. Aneh sekali," lanjutnya.

***

Kaki Mario dinyatakan pincang alias tidak bisa berjalan dengan normal untuk selamanya. Hal itu sungguh membuatnya kecewa dan marah. Kali ini, ia bahkan tidak ada niatan untuk mengembalikan keutuhan keluarganya seperti impiannya seperti dulu.

Nita yang juga baru mengetahui hal itu mencoba menghibur suaminya. Namun, apalah daya ketika pria itu sangat tempramen dan memiliki emosi yang sangat buruk. Kali ini, ia bahkan ditampar di rumah sakit.

Mario juga memaksa untuk pulang walau keadaannya belum begitu baik. Tak ingin semakin banyak tersiksa, ia akhirnya menurut.

Arsha datang tepat pada waktunya ketika ia ingin memastikan keadaan ibunya. Pria itu datang bersama Ela yang juga ingin memastikan keadaan ayahnya walau dari jauh sebab mereka masih tidak saling bicara hingga saat ini.

"Kenapa dengan wajah Mamah? Apa ada orang yang menyakiti atau memukul?" tanya anak itu sebab memang selalu memperhatikan keadaan ibunya secara detail.

"Ibu terjatuh di kamar mandi. Bukan orang yang menyakiti mamah." Nita menjawab dengan sangat cuek.

Ela yang memang tidak begitu suka terhadap wanita itu, pun memasang wajah cueknya. Ia merasakan hal yang sama, jika wanita dan pria itu sama saja buruknya. Nita memang terlalu bodoh untuk seukuran dia yang padahal adalah wanita berpendidikan tinggi.

"Jangan-jangan dia malas belajar waktu kuliah, hm..." gumamnya sembari berjalan mengitari rumah yang sekarang ditinggali oleh Nita dan Mario. Keadaannya cukup memprihatinkan, sangat jauh kenyamanannya dibanding rumah utama mereka.

Tak berhenti sampai di sana, ia terus berjalan hingga termangu dengan pemandangan Mario yang tengah sibuk dengan benda haramnya. Obat-obatan terlarang yang jelas sangat dijauhi oleh mereka. Ia bahkan tidak sanggup berkata-kata.

"Ela?" panggil Arsha ketika ia hendak membawa gadis itu pergi dari sana. Ia sungguh kesal sebab kunjungannya kali ini tak membawakan kedamaian atau sekadar kesadaran sang ibu, sungguh disesalkan.

"Ela?" panggilnya lagi sebelum akhirnya ia menemukan keberadaan gadis yang tengah terbengong itu. Ia juga ikut diam dan mendekat secara perlahan. "Apa yang sedang dilakukan si bodoh ini," pekiknya sungguh kesal dan penasaran.

"Om?" panggilnya ketika ia sudah benar-benar mendapatkan apa yang dilihat oleh Ela sejak tadi.

Pria itu tampak sangat marah sekarang. Ia bergerak untuk memberikan hukuman pada pria itu jika Nita tidak segera datang dan menghentikannya.

"Kamu tidak boleh melakukan itu. Biarkan dia melakukannya jika itu bisa membuatnya tenang. Sekarang yang jadi masalah adalah kamu kenapa tidak juga memberikan apa yang mamah minta sejak kemarin. Tolong segera dapatkan, apa yang seharusnya menjadi milik kita dan bawa kemari. Mamah sangat butuh itu."

"Sialan! Pria bajingan ini terus mempengaruhi ibuku ke jalan yang tidak benar," geram Arsha. Tak lagi peduli dengan teriakan dan larangan Nita, ia terus memberikan hukuman pada pria yang adalah ayahnya itu. Pukulan bertubi-tubi ia layangkan.

"Arsha, hentikan. Jangan menyakitinya lagi, itu bisa berpengaruh buruk untuk kesehatannya, kasihan..." Nita memberi larangan dengan sedikit berteriak. Berharap jika sang anak akan mau mendengarkan.

Namun, apalah daya ketika pria itu bahkan tidak mau mempedulikannya. Arsha terus memberikan tinju sepuasnya sampai ia benar-benar merasa cukup dan lelah.

"Kamu tuh, ya!" teriak Ela kesal dan segera menamparnya.

Bagaimana tidak, ia sudah sangat lelah berteriak, malah pria ini hanya tersenyum santai dan tenang. Sungguh sangat menyebalkan.

"Kenapa?" tanya Arsha merasa heran sambil memeriksa wajahnya yang memerah dan berbekas tamparan Ela.

"Aku yang akan memberi tahu Bang Ade untuk segera memberikan bagian mereka, bahkan jika dia tidak mau, aku sendiri yang akan membayarnya dengan bantuan papa, jadi sekarang kita harus kembali. Tiara membutuhkan kita." Ela segera menarik tangan Arsha untuk berlalu dari sana.

"Sha, kamu masih tetap sayang mamah, kan? Kamu akan tetap mengunjungi mamah dan papah kamu di sini, kan?"

Pertanyaan yang bahkan sudah menjadi rasa bosan di telinga Arsha. Ia menatap ibunya dengan penuh kemarahan sebelum akhirnya menyambut ajakan Ela dan bergerak menjauh dari sana.

"Arsha, kamu tidak boleh begitu!" teriak Nita yang tentu saja tidak terima.

"Maaf, Mah. Tapi aku masih waras, tidak mungkin jika aku mendengarkan kalian."

Lelaki itu menutup pertemuan mereka dengan kemarahan yang berapi-api di hati masing-masing.

***