Kutemukan Jawabannya

(Derellio POV)

Sungguh, sejak kejadian tak terduga di kamar Dea kemarin, hampir membuatku gila setiap kali mengingatnya. Namun, aku harus mengesampingkan rasa maluku dan harus tetap waras karena Dea sedang membutuhkanku. Aku harus cepat mendapatkan info terkait Vino, agar gadis yang mengancamnya itu menghentikan permainannya.

"Tapi, apa yang disembunyiin Dea waktu itu, ya? Kayak kertas, gitu. Tapi apa? Terus, ada gitar juga. Apa dia udah mulai main musik lagi, ya?" tanyaku pada diri sendiri.

Ia begitu menjaga kertas itu, yang artinya kertas itu pasti sangat ia sayangi dan sengat penting. Apa mungkin kertas itu adalah pemberian dari Vino? Entahlah. Yang pasti, semoga saja kertas itu tidak menambah masalah baru dalam hidupnya.

***

Senin pagi, saat aku yang masih suka mengganggu Dea kemanapun ia pergi. Seakan itu sudah menjadi hobi baru bagiku. Ya, tujuanku tentunya masih sama, aku hanya ingin memastikan bahwa ia tetap baik-baik saja. Beberapa hari ini, sepertinya kewarasannya sudah mulai kembali pulih, karena ia tidak lagi bersikap aneh dan menjadi orang lain. Namun, ia juga bukan Dea yang dingin seperti dulu– walaupun judesnya masih ada tersisa. Tak apa, anggap saja itu sebagai pemanis seorang Deandra yang membuatku semakin jatuh cinta padanya.

Kami berbincang seperti biasa– walaupun bukan perbincangan yang hangat. Tiba-tiba, telponnya berdering. Namun, setelah beberapa lama, ia tidak mengangkat telpon itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil alih telponnya dan segera mengangkat telpon tersebut.

"Halo?" sapaku.

"Loe berani juga, ya? Berapa kali harus Gue bilang untuk jauhin Derel, kenapa Loe masih lengket bener sama dia?" serbu seorang gadis di seberang telpon sana.

'Sudah jelas. Aku pastikan gadis inilah yang menelepon Dea malam itu. Sampai membuat gadisku meneteskan air mata sebanyak itu. Lihat saja, siapapun kamu, akan aku pastikan kamu mendapat balasan atas apa yang sudah kamu perbuat,' geram ku dalam hati.

Sepertinya ia tidak mendengar sapaan ku yang pertama, baiklah, akan kuulangi sekali lagi, "Halo? Ini siapa, ya? Ooh, salah sambung. Oke, mbak. Nggak papa," ucapku dengan ramah. Lalu, kuakhiri telpon itu.

"Cuma orang salah sambung aja, kok Loe lama amat ngangkat nya," celetukku.

"Eh, iya. Soalnya Gue nggak biasa ngangkat telpon dari nomor baru," jawabnya gugup.

Dea, dari caramu menjawabku saja aku sudah tau kalau kamu sedang ditekan oleh seseorang. Sorot matamu menebarkan ketakutan dan bahkan kamu gemetar sekarang.

"Hm, nggak usah takut. Kan, ada Gue," yakinku padanya agar ia tidak takut lagi.

"Ada-ada aja. Mana mungkin Loe akan selalu ada buat Gue. Ngacok, Loe," celetuknya.

"Mungkin, dong. Kan, Gue yang bilang," yakinku kembali.

"Serah Loe, deh," singkatnya.

Ternyata benar, kata-kata tidak bisa mewakili perasaan. Karena terbatasnya kata itu untuk menyampaikan maksud dari perasaan yang ingin kita utarakan. Seperti yang kulakukan barusan, siapa yang akan percaya kata-kata ku ini? Jika tanpa adanya pembuktian. Apalagi di zaman sekarang ini, dimana manusia tak lagi dapat dipercayai karena kata-kata mereka yang tak terbukti.

'De? Gimana caranya biar Loe paham dan yakin dengan apa yang Gue rasa?' lirihku dalam hati.

Tiba-tiba ....

"Rel, antarin Gue balik sekarang juga! Please," ucap Dea dengan wajah yang sangat khawatir.

Aku yang kebingungan pun bertanya padanya, "Eh, kenapa balik sekarang? Tanggung, lho. Nanti siang kita masuk lagi," ucapku.

"Loe nggak bakal ngerti. Ini urgent banget. Please antar Gue balik sekarang juga! Kalau nggak," ia menggantung kalimatnya dan hal itu semakin membuat ku penasaran.

"Kalau nggak apa?" tanyaku padanya. Berharap ia akan menjawab rasa penasaran ku ini.

"Udah, ah. Yuk cepetan. Nggak ada waktu," elaknya.

"Eh, Dea? Bilang dulu ada apa?" tuntutku.

Sedangkan yang kuajak bicara telah berlalu pergi lebih dulu masuk dan duduk manis di dalam mobilku. Sungguh, entah apa yang telah terjadi hingga Dea sekhawatir ini.

"Nggak sempat, Rel. Ntar aja. Buruan!" desaknya.

Aku pun akhirnya mengalah dan bergegas menaiki mobilku. Dan kulayangkan pandangan tuntutan padanya, 'Awas aja, ya, De. Habis ini Loe harus ceritain kronologi nya sampai kelar ke Gue,' telepatiku padanya.

***

Setelah sampai di rumahnya, gadis itu langsung menghambur ke luar mobil bahkan disaat mobil itu belum benar-benar berhenti. Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumahnya dan memanggil seluruh orang yang ada di sana.

Namun, memang ada sedikit hal aneh. Pak Bambang tidak ada di depan. Padahal seharusnya ia menjaga pintu gerbang, kan? Bik Ijah juga tidak menjawab panggilan Dea. Aku tau rumah ini cukup besar, tapi apa mungkin suara heboh Dea tidak terdengar sedikitpun olehnya? Dari situ aku pun mulai curiga dan ikut mencari keberadaan semua orang.

"Eh, udah pulang, Dea?" jawab Bik Ijah santai dari arah belakang.

Benar saja, setelah kulihat, Bik Ijah, Pak Adi, serta Pak Bambang sedang berkumpul di halaman belakang rumah dengan setumpuk makanan kotak.

"Dea panggil dari tadi, kok nggak ada yang jawab? Dea, kan jadi khawatir," lirih Dea terisak.

Aku yang baru tiba di sana pun kaget dengan reaksi Dea yang seperti itu, "Eh, Loe kenapa, De?" cemasku.

'Ancaman apa yang dikatakan oleh gadis misterius itu pada Dea? Sampai dia sebegini takutnya?' geramku dalam hati.

Setelah semua dijelaskan oleh Bik Ijah, bagaimana bisa mereka berkumpul di belakang dan mendapatkan makanan kotak sebanyak itu, serta jawaban dari Dea yang mengatakan ia tidak memiliki teman lain yang dikenal oleh orang rumahnya selain aku, Jihan dan Ryan.

Artinya tidak mungkin ada orang baru dan orang lama. Karena semuanya diketahui dan dikenal baik oleh orang rumah. Dea tidak akan mempunyai teman misterius seperti apa yang dinarasikan oleh seseorang di sana.

Saat aku sedang fokus menghubungkan apa yang terjadi, aku melirik ke arah Dea sekilas, ada yang aneh dari ekspresi wajahnya. Ia seperti meminta tolong padaku.

Dan sesaat kemudian,

Bug!

"Dea!" jeritku histeris.

Betapa terkejutnya kami semua mendapati Dea sudah tergeletak tak sadarkan diri. Dengan segera aku mengangkat tubuh Dea dan membawanya segera ke rumah sakit. Tentunya Bik Ijah dan Pak Adi juga turut serta. Namun, Pak Bambang ku sarankan agar tetap tinggal untuk jaga-jaga jika ada yang datang disaat kami tidak ada. Karena aku yakin, pasti gadis misterius itu sangat mengenal dengan baik keadaan rumah Dea.

Di sepanjang jalan tak hentinya aku melantunkan do'a dari dalam hatiku untuk keselamatan Dea. Sungguh aku sangat ketakutan setengah mati membayangkan jika harus kehilangan dia apalagi dengan cara yang seperti ini.

"Ya Allah, Rel! Dea, Rel!" seru Bik Ijah memperparah rasa takutku.

Sontak aku pun langsung menoleh ke jok belakang untuk melihatnya, "Ada apa, Bik?" cemasku.

"Mulut Dea ngeluarin busa. Ya ampun, Dea, kamu kenapa, Nak?" seru Bik Ijah histeris.

"Apa?! Berarti Dea pingsan tadi karena keracunan makanan itu, Bik. Nggak mungkin karna yang lainnya. Pasti karna itu, soalnya yang dia makan terakhir kali sebelum pingsan tadi, memang makanan dari orang misterius itu, Bik," jelasku.

"Tapi, kok bisa temennya ngasih makanan yang ada racunnya untuk Dea, ya? Padahal dia kelihatan kayak anak baik-baik, Rel," ujar Bik Ijah mengingat sosok misterius itu.

"Apa aja mungkin terjadi, Bik. Bahkan teman adalah musuh yang paling nyata di dunia ini, Bik," tuturku.

"Iya, ya. Kamu benar, Rel. Ya Allah, nggak nyangka bibik, Rel," isak Bik Ijah lagi, menyaksikan Dea yang mulai kejang-kejang.

Aku yang sudah berusaha memacu mobil jazz ku dengan kecepatan– yang menurutku sudah diatas rata-rata– namun, rasanya mobil ini masih sangat lambat. Apalagi untuk keadaan yang seperti ini, membuat dadaku sesak mengingat keadaan Dea.

Lima belas menit berlalu, akhirnya kami tiba di rumah sakit terdekat. Aku pun langsung menggendong Dea masuk dan mencari bantuan dari para perawat atau suster yang sedang bertugas.

Dan, akhirnya Dea pun kini telah masuk ke dalam ruang UGD dan langsung di tangani oleh para ahli medis. Sedangkan aku, Bik Ijah, dan Pak Adi hanya bisa menunggu di luar ruangan dengan hati yang campur aduk.

Tunggu!

Aku mengingat sesuatu, jika Dea benar-benar keracunan karena makanan tadi, artinya makanan itu harus segera diamankan. Karena alamat toko dari makanan itu ada pada kotaknya. Dari situ kita bisa melacak siapa yang sudah berniat jahat pada Dea.

"Pak, boleh tolong telponkan Pak Bambang, Pak? Agar kotak makanan tadi jangan dibuang dulu, karna kita bisa melacak pelakunya dari alamat toko makanan itu," pintaku pada Pak Adi.

"Oh, iya-iya, Rel. Sebentar Bapak coba telpon dulu," ujar Pak Adi.

Sementara Bik Ijah sudah menagis sesegukan dari tadi. Aku jadi teringat dengan mama saat kehilangan Raya dulu. Akhirnya, aku pun perlahan duduk di sebelahnya dan merangkul Bik Ijah. Mencoba menguatkannya dan menyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tenang, Bik. Insya-Allah semuanya akan baik-baik aja. Kita berdo'a aja, ya, Bik," lirihku.

"Iya, Rel. Aamiin, semoga Dea cepat pulih," isak Bik Ijah. Aku pun hanya membalasnya dengan sebuah senyuman kegetiran.

***

Waktu pun sudah menunjukkan pukul empat sore, dan kini Dea telah lepas dari rasa sakit akibat racun mematikan itu. Dia juga sudah dipindahkan ke ruang rawat dan tinggal menunggu waktu kapan ia akan siuman. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di sana untuk menjaga Dea. Sedangkan Bik Ijah dan Pak Adi kusarankan untuk pulang karena memang mereka kelihatan sangat letih. Lagipula Dea sudah melewati masa sulitnya, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Aku menatapnya lekat, membayangkan bagaimana sulitnya berada di posisi Dea saat ini. Aku tau, ia tentunya tidak ingin melukai ku, tapi syarat dari gadis misterius itu yang mengharuskannya untuk melakukan itu. Apalagi ancaman itu juga berlaku untuk orang yang ia sayangi. Orang yang sudah menjaganya selama ini dan sudah menemaninya di masa-masa sulit Dea. Sakit yang tak berdarah.

Tiba-tiba ....

"Aaakkk," lirih suara itu.

'Tunggu, suara siapa? Dea? Benar, ternyata ia sudah sadar,' batinku lega.

"Eh, Dea? Udah bangun? Pelan-pelan, jangan dipaksain dulu," lirihku membantunya untuk duduk.

"Kk-kok, Loe ada di sini? Tt-terus Gg-Gue di mana?" lirihnya yang masih terbata-bata.

"Loe lagi di rumah sakit, De. Tadi habis makan makanan dari orang yang ngaku sebagai 'temen' Loe itu, Loe langsung pingsan. Kami panik banget, dan langsung bawa Loe ke sini," jelasku dengan memberi penekanan pada kata 'teman' itu.

Aku memperhatikannya, sepertinya ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.

"Heh! Ngaku Loe, dari awal waktu di kampus Loe ngebet banget ngajakin Gue pulang sampai tiba-tiba Loe minta untuk cicipin duluan, tuh makanan, terus ekspresi muka Loe yang khawatir itu. Sebenarnya Loe tau kalau makanan itu ada racunnya, kan?" selidikku

Percuma, ia adalah seorang Deandra Ozahwa. Ia tidak akan semudah itu menceritakan seluruh masalahnya padaku. Apalagi masalah utamanya adalah aku. Tetap saja, sebuah perdebatan kecil selalu timbul saat aku berbicara dengannya. Namun, itulah yang selalu kurindukan darinya.

Seketika kubawa tubuh mungilnya ke dalam pelukanku, akun tidak lagi ingin berdebat dengannya. Untuk saat ini, satu hal yang kutau, bahwa aku sangat merindukannya bahkan sangat takut untuk kehilangannya.

Kuhabiskan waktu sore itu untuk bercengkrama dengannya. Dan dari situ juga aku mengetahui sebuah jawaban yang kutunggu selama ini. Bahwa sesungguhnya Dea juga merasakan apa yang kurasakan padanya. Hal itu terlihat jelas dari sikap yang ia tunjukkan beberapa hari ini. Ditambah dengan munculnya info tentang Vino dan syaratnya adalah menjauhiku. Dea tidak melakukan itu, karena ia memang tidak bisa melakukannya. Jawabannya satu, karena ia tidak menginginkannya. Rasa itu sudah mucul di hatinya.

Walau aku senang akan hal itu, namun aku juga takut untuk hal-hal tak terduga kedepannya. Karena mulai dari hari ini, teror itu pasti akan terus berlanjut dan aku harus selalu siap untuk apapun yang terjadi nantinya.