"Mbak … Mbak, Henny …" terdengar suara Nuning, pembantu Henny mengetuk pintu. Perempuan itu tergagap bangun. Dilihatnya jam dinding di kamar, jarumnya menunjuk di angka 11. Hampir tengah malam rupanya.
Henny bangun dari tidurnya. Kepalanya masih sedikit pusing tapi sudah tidak sesakit tadi sore.
Kreekk.
Henny membuka pintu. "Ya, ada apa, Ning?" tanyanya.
"Mbak Henny belum makan dari sore tadi, sama ini obatnya. Katanya harus diminum 3 kali sehari. Saya takut Mbak ketiduran sampai pagi," kata Nuning. Ia membawa makanan dan obata-obatan di nampannya.
"Maaf, kalau ganggu tidurnya, Mbak Henny," ujar Nuning lagi.
"Ya, Ning. Nggak apa-apa, kok. Letakan di meja ya, sebentar lagi aku minum, mau cuci muka sebentar," jawab Henny.
"Sudah nggak pusing, Mbak?" tanya Nunging lagi.
Henny menggelengkan kepalanya. "Sudah mendingan, nyut-nyut sedikit saja, mungkin kaget karena kebentur aspal. Untung reflek ditahan tangan," ujar Henny sambil menunjukkan lengan kirinya yang lebam dan baret-baret.
Nuning menatap nyeri. "Tangannya sampai lebam dan baret-baret begitu, Mbak? Mau dioles antiseptic lagi?" tawarnya.
"Boleh. Iya, ini tangannya terasa nyerinya sekarang," ucap Henny sambil meringis. "Oh ya, kamu nggak usah kabari Emak dan Bapak ya. Aku nggak apa-apa kok," ulang Henny lagi.
Nuning memutar bola matanya. "Sudah telat. Tadi sore mereka telepon dan menanyakan kondisi Mbak Henny, aku nggak bisa bohong, aku bilang Mbak Henny habis ketabrak orang," jawab Nuning.
"Duh, kamu ini. Kalau mereka ke sini bagaimana?" tanya Henny gusar. Emak dan Bapaknya, Cak Dikin dan istrinya sudah sepuh. Usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun. Henny adalah anak bungsu mereka.
"Memang mereka mau ke sini besok, Mbak," kata Nuning lagi. "Mereka tadi bilang mau ngabari Mbak Henny langsung," tambahnya.
Henny masuk lagi ke kamarnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Sejak sore benda itu memang tak ditengoknya sama sekali.
Benar saja, puluhan pesan masuk dari nomer telepon rumahnya terlihat di sana. Henny menatap Nuning gemas sambil mengacungkan ponselnya.
Nuning hanya tersenyum meringis, mau bagaimana lagi? Keluarga Henny sudah tahu kalau ia kecelakan. Berita cepat menyebar karena beberapa tetangga rumahnya ikut menolongnya. Mungkin mereka yang memberikan kabar pertama pada orang tua Henny.
Henny menatap layar ponselnya agak lama. Ia gamang antara mau menelpon balik atau menundanya hingga esok hari. Ia ingin secepatnya mengabari kalau dia baik-baik saja dan tak perlu cemas tapi waktu sudah tengah malam. Emak dan Bapak pasti sudah tidur.
"Tadi kenapa kamu ngga bangunkan aku?" protes Henny pada Nuning.
"Aku ngga berani, Mbak Henny tampak lelah sekali." Nuning menjawab sambil jemarinya mengetuk meja. "Tapi aku bilang yang nabrak Mbak Henny tanggung jawab kok, dia sampai mengantarkan ke rumah," imbuhnya lagi.
"Hah? Siapa yang nabrak aku terus antar pulang??" Henny terkejut karena rupanya si Nuning cukup banyak omong.
"Yang ngantar pulang kemarin itu kan yang nabrak Mbak Henny. Ya aku bilang saja begitu," terang Nuning.
Henny hanya bisa melongo. 'Yang ngantar aku kemarin 'kan … Hans … Eh, bukan. Surya. Orang itu lagi!'
Henny menngoyang-goyangkan kepalanya. "Apa aku sudah amnesia?" gumamnya.
"Kenapa? Mbak Henny sakit kepala lagi?" tanya Nuning cemas.
"Sudah nggak apa-apa. Aku minum obatnya sekarang saja," ujar Henny.
"Tapi harus makan dulu, Mbak," pesan Nuning perhatian.
"Iya." Henny menjawab pendek, tangannya mulai mengaduk bubur yang dibuatkan pembantunya itu. Meskipun terkadang menjengkelkan, tapi Nuning adalah orang yang paling mengerti Henny. Sudah lebih dari 10 tahun wanita itu bekerja membantunya. Tak perlu banyak omelan, ia tahu apa yang harus dikerjakan. Hanya saja, kadang memang sedikit ember.
"Mbak Hen, yang nabrak Mbak Henny kemarin orang mana? Apa perlu melaporkan dia ke polisi?" Nuning rupanya punya jalan pikiran sendiri.
Henny cepat-cepat menyelesaikan semangkok bubur makan malamnya.
"Bukan dia yang nabrak aku. Kalo ditabrak mobil, entah bagaimana rupaku sekarang. Aku cuma diserempet motor, terus pemilik mobil itu lewat. Jadi dia yang bawa aku ke rumah sakit dan antar pulang," jelas Henny dengan malas. Tumben si Nuning cerewet malam ini.
"Oh, jadi dia yang nolong bukan yang nabrak?" ucap Nuning.
"Iya, makanya tanya dulu sebelum membuat kesimpulan," ujar Henny kalem.
"Pantas orangnya sopan dan baik, tidak terlihat seperti orang yang bersalah," tanggap Nuning.
Henny menatap Nuning lurus. "Ganteng 'kan?"
Pertanyaan yang tak diduga sama sekali oleh Nuning. "Mbaaakk?!" serunya sambil menutup mulut yang hampir ternganga.
***
Henny tersenyum meringis, meledek Nuning. "Kenapa?" tanyanya masih dengan senyum.
"Apa aku nggak salah denger? Sejak kapan Mbak Nuning mau memuji seorang pria??" ucap Nuning dengan tatapn curiga.
"Apa itu salah?" Henny justru membalikkan pertanyaan.
"Nggak salah, Mbak. Tapi dia sudah berumur, atau … Mbak naksir anaknya?? Oh, ya ampun Tuhan!!" Nuning jadi heboh sendiri.
Henny tertawa ngakak. "HAHAHA …"
"Jadi benar? Mbak Henny suka berondong sekarang??" Nuning membelalakkan matanya. Ia tak habis pikir dengan majikannya itu.
"Anak itu memang ganteng, tapi dia terlalu muda buat Mbak Henny. Maaf, maaf … lebih cocok jadi keponakan atau anaknya saja," sungut Nuning.
Henny menghentikan ketawanya. "Sudah, pikiranmu terlalu jauh. Aku cuma teringat dengan seseorang di masa lalu yang mirip orang itu," ujar Henny.
Nuning akhirnya diam. "Ooo … jadi cuma mirip, kirain. Eh, tapi Mbak Henny bilang 'ganteng'. Siapa yang ganteng?" tanya Nuning penasaran.
Henny tampak kurang berminat melanjutkan obrolan itu. "Sudah, nggak usah dibahas. Aku juga nggak terlalu ingat. Sudah, mau tidur lagi aku," pungkasnya.
Nuning membereskan bekas makan Henny. "Iya, tidur saja, Mbak. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Aku memang pernah dengar, orang kalau habis kebentur kepalanya suka jadi beda pikirannya," ungkap Nuning.
"Ish, kamu menyumpahi aku? Aku baik-baik saja," protes Henny.
"Iya, iya, Mbak. Maaf, canda …" ujar Nuning sambil tersenyum dimanis-maniskan.
"Kalau begitu besok kamu siapkan rumah, kalau-kalau orang tuaku benar jadi datang," perintah Henny.
"Siap! Beres kalau itu. Aku besok masak makanan kesukaan Emak dan Bapak," kata Nuning.
"Nah, gitu. Oh ya, kalau sekarang bikinkan aku kopi mau ngga?" tanya Henny dengan senyum dikulum. Ia sudah tahu jawabannya, tapi tak ada salahnya dicoba.
"Nggak! Mbak Henny nggak boleh minum kopi dulu. Nanti nggak bisa tidur," jawab Nuning cepat.
"Oh gitu. Ya sudah kalau nggak boleh, berarti besok malam saja," ujar Henny mencoba menawar.
Nuning masih berpikir dan kelihatan cemberut. "Aku heran, Mbak Henny suka sekali minum kopi. Sehari entah berapa gelas, hati-hati lho, Mbak. Jangan banyak-banyak," ucapnya.
"Bagaimana ya? Habis suka sih. Dari kecil aku suka sekali kopi," ujar Henny.
Bicara kalau suka kopi dari kecil, Henny tiba-tiba teringat pada Hargus. Iya, anak itu bilang kalau juga suka kopi dari kecil. Ia bahkan menjanjikan akan membuat kopi racikan yang berbeda, dengan rumus fisika dan kimia katanya!
"Hehehe …" Henny terkekeh sendiri.
Nuning yang sudah siap pergi menoleh dan menatapnya curiga. "Mbak, masih waras ta? Masih sehat 'kan?" tanyanya kurang yakin.
"Waras, memangnya kenapa?" tanya Henny.
"Kenapa ketawa sendiri begitu? Bikin orang takut saja," keluh Nuning.
"Apa yang kamu bilang sepertinya benar. Aku sekarang meyukai berondong. Anak yang manis itu," ujar Henny sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Mbak, sudah ya. Tidur saja. Besok pagi pasti sudah kembali waras kok syaraf kepalanya ya," bujuk Nuning. Ia semakin yakin majikannya mengalami sedikit gangguan akibat benturan tadi siang.
"Iya, baiklah." Henny tak mau banyak mendebat. Ia kemudian masuk kamarnya lagi dan menutup pintu.
"Mbak, jangan dikunci!" seru Nuning dari luar. Ia tak mau jika terjadi apa-apa di dalam ia susah mendobraknya.