Cita-citaku Kandas

Cita citaku Kandas

"Kalau tidak begini, kita tidak bisa menyelamatkan Dewi, Pak. Penyakit putri kita semakin ganas, setiap hari dia semakin lemas. Ibu tidak tega melihatnya

Bu Sukma berusaha menghapus air matanya, menyelesaikan anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Pagi tadi, Dewi, Anak kedua mereka yang berusia empat belas tahun itu jatuh pingsan. Memang sudah lama anak mereka itu sakit keras. Jantungnya bermasalah. Dokter yang menangani mengatakan, anak mereka bisa selamat dengan operasi.

Bu Sukma dan pak sakir sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengusahakan kesembuhan kesembuhan sang anak. Sudah banyak tabungan mereka dari bertani selama ini yang terkuras. Perjalanan bolak balik rumah sakit dan desa yang bertani selama ini yang sangat jauh juga tak menjadi halangan mereka untuk membawa anak bertobat. Namun kini anak mereka operasi secepatnya.

"Tidak ada jalan lain, Bu, kita jual saja sawah kita kepada juragan Budi. Sudah lama dia menawar sawah itu dengan harga yang lumayan tinggi."

"Ya Allah, Pak, hanya itu harta kita yang tersisa." Bu Sukma menutup matanya, terguncang pula nampak bahunya.

"Tidak apa, Bu, yang penting anak kita sembuh."

Bu Sukma memandang suaminya, gurat lelah nampak jelas di wajah tuanya.

Namun, ia akhirnya mengangguk. Mereka tak punya pilihan lain selain menjual sepetak sawah mereka kepada juragan kaya di kampung.

Sementara itu, seorang gadis cantik memeluk sebuah brosur universitas di dadanya. Di balik pintu kamar perawatan sang adik, ia telah mendengar semua hal yang dibicarakan oleh kedua orang tua nya. Bening Anjani namanya.

Gadis cantik yang sedang ranum dan mekar di usianya yang akan menginjak delapan belas tahun.

ia tahu, pembicaraan serius orang tua nya barusan sudah sekalian mengubur cita-citanya untuk bisa kuliah di kota besar. Padahal, dulu bapak sudah berjanji akan menguliahkannya ke Jakarta dengan tabungan yang memang sudah disiapkan. Namun, sebagai anak yang berbakti juga sebagai bentuk kasih sayangnya kepada adik satu-satunya, Bening rela selesai sampai bangku SMA. Ia bahkan merasa cukup beruntung, karena bisa menyelesaikan sekolahnya yang tidak bisa dirasakan oleh Dewi yang sakit-sakitan.

"Ning?"

Bening segera menghapus air matanya. Ia tak sadar kalau kedua orang tuanya sudah keluar dari kamar perawatan. Mereka juga menatap putri sulung mereka dengan perasaan gundah gulana.

"Maaf, Pak, Bu, Bening datang terlambat. Tadi masih ada berkas-berkas yang harus Bening ambil di Sekolah." Bening mengecup punggung tangan kedua orang tuanya dengan penuh takzim.

"Tadinya istirahat saja, Nak. Mengapa menyusul kemari? Kan jauh." Ibu merangkul Bening hangat, tapi Bening masih melihat sisa airmata juga mata ibunya yang sembab.

Gak papa, Bu." Bening membalas singkat.

"Bening, nanti Bapak dan Ibu pulang sebentar ke Desa. Bening jaga adik ya."

"Iya, Pak. Bening akan jaga adik di sini.

Bening duduk di kursi khusus untuk keluarga yang mengguna pasien. Ibu dan bapaknya sedang ke depan mengurus surat administrasi dan memastikan jumlah pasti berapa nominal yang mereka butuhkan untuk biaya operasi.

Bening beranjak lagi, dilihatnya sang adik yang terbaring lemas dengan banyak sekali selang di tubuhnya. Bening mengatupkan bibirnya, ia menatap sebentar brosur universitas impiannya lalu memasukkan ke tong sampah. Tak apa, ia mengerti keadaannya.

Bening menghapus bulir air matanya yang jatuh membasahi pipi, menatap sedih sang adik juga membayang impian yang sudah pupus. Bening adalah murid yang pintar ketika di sekolah kemarin, tetapi untuk masuk universitas ternama itu juga tak hanya mengandalkan otaknya yang cerdas saja, butuh banyak sekali biaya.

"Dewi, cepat sembuh ya, kakak tidak apa-apa kok tidak jadi kuliah." Bening berkata lirih sambil tersenyum ke arah adiknya yang diam seribu bahasa dengan mata terpejam.

Kedua orangtuanya kembali dan mengatakan jika mereka akan segera pulang. Bening menurut, ia akan menjaga adiknya. Sembari mengisi waktu luangnya selama berada di luar ruangan, Bening berkeliling rumah sakit yang cukup besar di daerah Banjar kota itu.

Karena keasyikan melamun, Bening jadi tak sengaja menabrak seseorang. Tubuhnya jadi terhuyung, Bening mendongok, melihat seorang perempuan yang menatap seperti jijik saja.

"Pakai matamu kalau jalan!" hardikanya.

"Maaf, Mbak." Bening menunduk.

"Sela, kamu gak papa?"

Suara seorang lelaki terdengar. Bening menatap sekali lagi perempuan di depannya. Cantik sekali dan tinggi semampai. Kulitnya seputih susu. Pasti perawatannya mahal. apa dia artis? Bening seperti pernah melihat di televisi.

"Kan udah aku bilang, Gara, jangan ajak aku ke tempat kayak gini!"

"Kamu kan pingsan tadi, Sayang. .

Bening bingung dengan kedua orang di depannya itu. Akhirnya dia memilih pergi. Lelaki tampan itu juga tidak peduli padanya, dia sibuk membujuk perempuan cantik tadi.

Bening akhirnya tiba di sebuah pohon besar dengan sebuah bangku panjang. Ia duduk menatap kosong pandangan di depan nya. Setelah ini, Bening mungkin tetap akan merantau. Di desa juga ia tidak tahu harus melakukan apa. Biarlah ia tidak jadi kuliah tapi niatnya merantau ke Jakarta tetep harus terlaksanakan. Dia harus mendapatkan pekerjaan untuk mengembalikan sepetak sawah juga rumah yang akan kedua orangtuanya jual hari ini.

Di usahakan Up setiap hari ya