Lauren berjalan santai menuju ruangan Adam. Mengabaikan atensi para karyawan pria itu. Dia benar-benar tak peduli.
Bukan urusan mereka Lauren mau datang atau tidak ke tempat kerja Adam. Tapi yang jelas, Lauren bosan berada di apartemen tanpa kegiatan. Belum lagi dia sendirian saja di sana.
"Kak!"
Keputusan Lauren adalah memanggil Adam dengan panggilan 'kakak' meski masih terasa aneh ketika dia menyebutnya.
Adam jelas senang. Panggilan keramatnya yang selalu membuat orang salah paham kini sedikit terobati. Tapi, orang lain mungkin bakalan menyangka dia 'kakak' Lauren.
Masa bodohlah, yang penting tidak dipanggil 'om' lagi, pikir Adam kala itu.
Ketika dia mendengar suara Lauren dari depan pintu ruang kerjanya. Seulas senyum terbit di bibir Adam. "Hm, kenapa?" sahut Adam.
Lauren yang memang pada dasarnya tidak tahu adab, langsung duduk di sofa tanpa diminta oleh Adam. Dia menyandarkan kepalanya di bantal. Kemudian melirik Adam yang tengah duduk manis di kursi kebesarannya.
"Om, eh? Kak, maksudnya. Aku bosan banget di penthousemu itu."
Mendengar ucapan Lauren. Adam mendongak. Dia menatap manik kecoklatan di seberang sana. Tangan pria itu bergerak cepat di berkas yang ditanganinya.
"Lalu?"
"Aku mau kerja. Jadi, pelayan kafe."
Adam berhenti melakukan kegiatannya. Menghunus netra milik Lauren dengan tatapan tajamnya. "Pelayan? Kamu bisa jadi pemiliknya kalau mau."
Lauren memutar bola matanya. Meskipun kedengarannya hebat, tapi Lauren sama sekali tidak mau ambil resiko gulung tikar, karena ketidak berpengalamannya itu.
"Aku mau kerja. Bukan ongkang-ongkang kaki. Boleh ya?" tanya Lauren dengan suara yang dibuat semanja mungkin.
Dia bangkit dan menuju meja kerja Adam. Menghampiri pria itu seraya bergelayut manja. "Ya, mau ya. Please...," kata Lauren, tumben-tumbenan.
"Hm," sahut Adam pasrah.
Lauren menjentikkan jarinya. "Bagus. Aku sudah melamar kerja soalnya dan sudah diterima."
Adam menoleh. Melihat cengiran tak berdosa dari bibir Lauren yang dipoles lipstick merah mudah terang.
"Hah, dasar!" gerutu Adam ketika Lauren pergi begitu saja, meninggalkannya tanpa bilang di mana alamat kerjanya sekarang.
***
Lauren memulai pekerjaannya hari ini. Dia benar-benar memulai pekerjaan ini dengan baik. Barang-barang yang diminta untuk di pindahkan ke bagian penyimpanan dengan cepat dikerjakan oleh Lauren.
Gadis itu merapikan pakaiannya dan bersiap menjalani tugas lain. Pemilik kafe menyuruhnya menjadi pelayan kafe, karena kekuatan pendengaran juga kecepatannya dalam menulis bisa menjadi modal yang baik bagi Lauren.
Selain itu, wajah Lauren yang cantik juga mendukung. Banyak pelanggan cowok yang berucap ingin meminta nomor ponselnya.
Tapi Lauren menolak. Seperti biasa, dia menjawab dengan kasar dan ketus. "Saya gak bisa. Emang situ ngerasa ganteng?" sindir Lauren.
Membuat hati para pria itu langsung potek. "Wah, lo ngeremehin kita?" tanya mereka mundur dan menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana. Mengabaikan perasaan terluka yang diakibatkan oleh Lauren.
"Sialan! Kita ditolak!" kata salah satu dari mereka. Memandang Lauren dari ujung kaki hingga kepala. Memuji kecantikan paripurna Lauren.
"Gila bodynya itu loh! Kalau lo bisa dapetin dia. Gue kasih lamborgini gue deh!" tantang kedua orang itu pada sahabat mereka yang sedari tadi menatap lapar pada sosok Lauren.
Minuman dan makanan mereka yang baru dipesan datang. Lauren memasang wajah kesal mengamati satu persatu dari mereka yang tak melepas pandangan dari wajah Lauren.
"Yakin lo nolak kita nih? Minta nomor doang masa enggak boleh." Salah satu dari pria itu masih berusaha menawar dan membujuk Lauren agar mau memberinya nomor ponsel gadis itu.
Lauren tetap keukeuh. Dia menggeleng tidak mau. Bukan karena sok jual mahal. Tapi dia memang tidak mau, selain itu para pria ini pasti ada maksud tertentu pada Lauren.
Sudah bisa ditebak.
"Sok jual mahal banget sih lo!"
"Maaf, gue kerja di sini. Bukan ngeladenin kalian doang. Jadi, silakan nikmati makanannya." Sayang Lauren tak pernah memperhitungkan tindakan pria itu akan berubah agresif.
Pria tadi menahan lengan Lauren. "Apaan sih lo!" keluh Lauren berusaha menarik tangannya dari cengkraman pria itu.
"Kalian bisa tidak, jangan mengganggunya. Dia sedang bekerja!" tegur seseorang membuat pria tadi menoleh.
Lauren membulatkan matanya saat tahu siapa yang kini berdiri di depannya. "Kak Adam," gumam Lauren.
"Lepasin tangannya!" titah Adam. Pria tadi melepas tangan Lauren, terpaksa. Namun dia malah bikin masalah dengan Adam.
"Apaan lo! Tua bangka ini keknya suka juga sama pelayan kafe sini!" katanya meledek Adam. Membuat kepala pria itu mendidih.
Adam mengepalkan tangan. Memandangnya geram. "Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi?"
Lauren menatap sekelilingnya dan segera menahan Adam. "Cukup! Kalau kalian mau buat keributan. Mending pergi!" tegur Lauren.
Pria tadi berdecak sebal. Dia duduk di kursinya. Melirik ke arah Adam yang ditarik paksa oleh Lauren menuju keluar kafe.
"Ngapain sih di sini? Urusan kantormu sudah selesai?" tanya Lauren. Adam mengangguk saja.
Dia menatap wajah Lauren yang cemas, lalu berubah jengkel saat Adam malah melangkah masuk ke dalam kafe tersebut.
Lauren menariknya lagi. "Eh, mau ke mana? Balik sana, aku gak mau ya kamu bisa cari kesempatan di sini."
"Siapa yang cari kesempatan? Aku mau makan."
Lauren menjatuhkan rahangnya karena dicueki oleh Adam.
Pria itu tersenyum geli. "Skor 1-0," kata Adam membuat Lauren berdecak sebal.
***
Adam melepas dasinya. Melirik ke arah Lauren yang tengah berjalan memasuki area walk in closet.
Mencari kaos yang ingin dia kenakan. "Mending kamu gak usah kerja di sana."
Lauren menutup lemarinya dan menenteng kaos serta celana training di tangannya. "Kenapa? Kakak pikir aku takut kejadian serupa terulang lagi? Gak, sama sekali."
Adam mendesah sebal. Istrinya ini memang keras kepala, jutek dan yang paling menyebalkan dari sikapnya adalah penggoda ulung.
"Bisa gak sih kamu nurut sekali aja sama omongan suamimu?" tanya Adam sambil berkacak pinggang memandangi Lauren yang tengah melepas ikatan rambutnya.
"Gak. Males."
'Tuhkan!' batin Adam. Dia sudah bisa menebak ke mana jawaban Lauren jika dia meminta sesuatu.
Gadis ini benar-benar jadi ujian Adam. "Lauren, mending kalau mereka yang tadi gak pernah ke kafe itu lagi, ta--"
"Kak! Please, aku udah besar. Aku udah biasa hidup sendiri lebih dari 10 tahun. Kamu tahu itu!" sergah Lauren kesal.
Dia melangkah ke dekat Adam. Membawa baju dan celananya dalam dekapan. Gadis itu mendongak. Menatap manik mata Adam yang menyorot tajam ke arah Lauren.
"Aku suami kamu, Lauren. Wajar aku marah kamu digoda begitu!"
Lauren tiba-tiba mengangkat jemarinya. Menunjuk ke arah dada Adam. Rahangnya mengetat, bibir gadis itu bergetar menahan emosinya.
"Dengar! Aku gak mau bergantung terus sama kamu!" katanya bernada dingin.
Adam merasakan udara di sekitarnya menipis. Dia menatap Lauren lembut. Berharap bisa melunakkan hati gadis itu.
Kedua tangan Adam terangkat menyentuh bahu Lauren. "Wajar kamu bergantung padaku, Lauren. Wajar, karena kamu memang tanggung jawabku."
Lauren menyentak tangan Adam. "Siapa yang mengakui kamu suamiku?" tanya gadis itu dengan muka pongahnya.
***
Bersambung