Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
Samar-samar Ele merasakan udara dingin menerpa bahu telanjangnya.
Kesadaran lambat laut membangunkannya ketika ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyapu bahu kirinya. Ele mencoba menajamkan fokus, perlahan-lahan membuka kelopak mata dan menyadari apa yang sedang terjadi. Tora mengecup dan pelan bahunya yang sudah tak tertutupi selimut. Ele memandang wajah ngantuk kekasihnya yang saat ini menurutnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya.
“Tora,” gumam Ele.
Sosok yang dipanggil itu terkekeh di belakang Ele. Tawanya terdengar serak. Menandakan jika dirinya juga baru saja bangun. Sama seperti Ele.
“Aku bertanya-tanya...” Kecupan putus-putus yang Tora bubuhkan menjalar dari bahu menuju tulang selangka gadisnya. Pemuda itu perlahan memutar tubuh Ele sehingga menghadapnya. “Berapa lama aku harus mencium kelinci manis ini agar ia mau bangun,” ucapnya dalam deep voice-nya.
Ele menggigit bibir lagi guna menghalau desahan yang nyaris terucap. “Kau tak perlu menciumku untuk membangunkanku,” bisiknya lirih nyaris tersedak.
“Kelinciku ini tidur seperti orang mati,” sahut Tora saat bibir tipis pemuda itu tiba di dagu Ele. “Aku sudah membangunkannya sejak satu jam yang lalu, tapi matanya tetap terpejam. Membuatku nyaris menelpon layanan darurat karena khawatir ia kenapa-napa.”
Bibir Tora tanpa mampu ditahan lagi melumat bibir Ele yang tengah terengah. Kehangatan akrab yang mereka rindukan menyapa keduanya. Ele meremas rambut Tora untuk menyalurkan sulutan adrenalin yang membakar kewarasannya. Tak berapa lama Ele mendorong dada kekasihnya untuk menjauh. Gadis itu mulai kehabisan napas.
“Apa kah aku separah itu saat tidur?” tanya Ele dengan napas putus-putus.
Tora menggelengkan kepalanya membuat Ele sedikit lega.
“Lebih parah malah. Mengigau, berputar kesana kemari, ngiler—“
“Tidak!” teriak Ele panik. “Aku tak pernah mengigau! Tidurku selalu tenang kok. Aku juga tak pernah—“
“Bercanda, Baby.” Tora mencium pucuk hidung Ele sambil tertawa jenaka. “Mana mungkin kelinciku tidur seberisik itu. Cukup berisik saat sebelum tidur saja, bukan?”
Ele membelalakkan matanya mendengar gurauan vulgar kekasihnya. Ia mendorong tubuh Tora sementara kepalanya menyeder di kepala ranjang.
"Jangan menggodaku!” teriak Ele.
Kilasan peristiwa beberapa jam yang lalu terputar dengan jelas di otak Ele. Keduanya terhanyut dalam suasana dan berakhir saling menghangatkan tubuh satu sama lain. Semalam adalah pengalaman pertamanya dan ia rasa dirinya juga pengalaman pertama Tora. Tora memperlakukannya dengan gentle. Pemuda itu tidak tergesa dan memastikan kekasihnya merasa nyaman sebelum keduanya saling mengejar kepuasan hingga tengah malam.
Ele bahkan tak mengabari kakak atau ibunya. Kedua orang itu pasti khawatir padanya. Apa yang harus ia katakan nanti saat pulang?
***
“Telepon aku kalau sudah sampai.”
Tora mengantarkan kekasihnya pulang setelah pagi tiba. Pemuda itu bahkan menghubungi kakak Ele untuk menjelaskan keadaan mereka yang tidak memungkinkan keduanya untuk bisa langsung pulang. Beruntung baginya karena kakak Ele bisa mengerti keadaan tersebut dan tidak memarahi adiknya karena terlambat pulang. Itu sebabnya walau pulang sangat terlambat, Ele masih bisa tersenyum lebar saat memasuki pekarangan rumahnya.
Tora mencubit hidung Ele gemas. Gadis itu merengek dibuatnya. Tora merasa sikap manja Ele terlalu lucu di matanya.
“Okay, Pumpkin”. Tora mengacak pelan surai kekasihnya dan mengecup bibir itu.
“Apa dua puluh empat jam masih kurang untuk kalian?”
Ele melepas tautan bibirnya dan Tora. Sang Kakak, Reynold, sudah berdiri tepat di depan pintu rumah dengan kedua tangan yang disilangkan di dadanya. Ia menatap tak suka pada Tora. Ele tertegun melihat pandangan kakaknya yang terlihat sinis. Tidak biasanya Reynold tidak menyukai orang secara terang-terangan seperti ini.
Menurut tebakannya, mungkin kakaknya kesal karena ia pulang sangat terlambat.
“Eleanore, masuk lah. Mumpung ibu masih tidur,” ucap Reynold sebelum melenggang masuk.
Ele memeluk kekasihnya sekali. “Pulang lah. Hati-hati di jalan.” Ia mengecup pipi kekasihnya singkat dan melesak masuk. Gadis itu meninggalkan Tora yang terkekeh di luar sana. Ia melambaikan tangan padanya sekali sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Reynold rupanya tengah berdiri menunggu adiknya di bawah tangga. Lelaki itu menatap Ele dengan tatapan yang tak biasa. Campuran antara kesal, marah, dan … iba.
“Kenapa sampai menginap?” tanyanya.
Ele melepaskan tas dan duduk di atas sofa hijau di ruang tengah. “'Kan aku sudah bilang. Hujan badai, Kak. Kakak tahu sendiri cuacanya bagaimana.” Ele menyenderkan kepalanya karena tiba-tiba merasa Sang Kakak akan menginterogasinya. “Kenapa kau marah?”
Reynold terdiam beberapa saat.
“Aku tidak marah padamu, Ele. Hanya saja... Kau yakin kekasihmu itu benar mencintaimu?”
Ele mengernyitkan dahinya heran. “Kau ini bicara apa sih, Kak? Tentu saja dia mencintaiku. Kau ‘kan tahu sendiri,” gumamnya kesal.
Akan tetapi, Reynold menggelengkan kepalanya. “Aku tak yakin. Bukannya aku ingin menghancurkan hubunganmu, hanya saja, akhiri saja hubungan kalian. Demi kebaikanmu.”
Ele menatap Reynold tak percaya. Bagaimana bisa kakaknya sendiri mengatakan hal seperti itu padanya? Padahal kemarin kakaknya terlihat mendukung hubungannya dengan Tora.
“Kau ini kenapa sih, Kak? Aneh sekali sikapmu.” Ele menyambar tasnya. “Aku tak akan putus dengan Tora. Sampai kapan pun!” Ele melangkahkan kakinya menuju kamar sebelum Reynold mencekal tangannya.
“Dengarkan Kakak dulu, Eleanore,” cegah Reynold. “Aku mengatakannya karena aku peduli padamu. Tora itu bukan orang baik. Dia membohongimu!”
Ele melepaskan cengkeraman kakaknya di tangannya. “Apa buktinya dia bohong padaku?” tanya Ele menyalak tak kalah panas.
Reynold bergumam marah saat menjawab pertanyaan adiknya.
“Kemarin siang aku menemui temanku untuk membahas urusan bisnis kami di Sunbathe Bar karena dia pemilik bar itu.”
Ele terdiam. Bar itu, siapa yang tidak mengenalnya? Semua anak muda terkenal yang memiliki banyak uang pasti sering datang ke sana. Kecuali dirinya.
“Temanku itu menanyakan kabarku dan kabarmu. Aku bilang jika adikku sedang berkencan dengan seorang bernama Tora. Rupanya ia kenal Tora. Ia bilang Tora sering datang ke barnya dengan teman-temannya. Ia dan Tora beberapa kali minum bersama.”
Anak muda pergi ke bar adalah hal yang lumrah, bukan? Pikir Ele.
“Temanku itu kemudian menunjukanku sebuah foto polaroid. Di foto itu ia menunjukkan sosok Tora yang tengah duduk di tengah dan dikelilingi banyak temannya. Tentu banyak rokok dan alkohol di foto itu.”
Minum minuman alkohol? Mungkin Ele masih bisa menoleransinya. Telinga Ele setengah tidak ingin mendengarkan sisa cerita dari Reynold, namun batinnya ingin tahu kelanjutannya.
“Di foto itu ia duduk bersebelahan dengan seorang gadis.”
Ele menelan ludahnya. Tiba-tiba merasa was-was akan kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh kakaknya.
“Seragam mereka sama. Pasti dia teman satu sekolah Tora. Di foto itu Tora dan gadis itu berciuman dengan panas.”
Kilas Balik Selesai