Mata yang Mengawasi Hutan

Langkah kaki telanjangnya begitu ringan, meninggalkan bekas pertempuran. Faye berdiri di perbatasan hutan. Matanya melirik ke sebuah pohon dengan simbol berbentuk seperti setengah lingkaran dan garis horizontal kecil di tengahnya yang terukir di batang pohon. Simbol tersebut rusak, cahayanya pudar. Gadis itu menghela nafas dan mengeluh, "Padahal ia bilang ingin mengerjakan tugasnya."

Gadis itu menyentuh simbol itu dengan jari telunjuknya, cahaya bersinar muncul sekilas dan memperbaiki simbol yang rusak. Sebuah lapisan sihir transparan yang membentuk kubah yang mengelilingi hutan muncul saat simbol tersebut utuh kembali.

Lapisan sihir tersebut adalah sebuah pelindung sihir yang tercipta akibat koneksi antar simbol-simbol yang sudah tertanam di antara pohon-pohon terluar. Pelindung ini berfungsi untuk mencegah orang masuk. Tetapi, karena salah satu simbol penghubungnya rusak, orang-orang tersebut berhasil masuk ke hutan.

Setelah memperbaiki simbol sihirnya, gadis itu menoleh, melihat dari jauh bayang-bayang kecil kota yang ramai. Pedagang saling berjualan, anak kecil bermain sebagai ksatria, prajurit yang bertugas berkeliling ke sudut-sudut kota. Dia hanya melihat dengan wajahnya yang dingin, tak begitu mempedulikan pada hal-hal yang tak ada hubungannya dengan dirinya.

Gadis itu melirik melewati bahunya ke arah kota. Seorang ksatria dengan seluruh zirahnya yang lengkap berwarna hitam legam, bahkan juga pedangnya muncul dan berjalan melewati pelindung sihir tanpa ada masalah.

"Ada apa? Kau bilang ingin makan di kota? Kenapa lama sekali?" Gadis itu menghampiri sang ksatria.

"Maafkan aku, Yang Mulia. Dua orang pria sempat menghalangiku." Ksatria itu langsung berlutut dan menundukkan kepala dihadapan gadis berjubah.

"Lain kali kau harus berhati-hati." Gadis itu berbalik. "Sekarang bantu aku membereskan ini." Dia menunjuk ke bekas pertempuran yang berlangsung cepat, meninggalkan ingatan dan barang-barang yang sudah kehilangan pemiliknya. "Omong-omong, jangan panggil aku Yang Mulia atau Tuan Putri lagi. Aku tak menyukainya."

"Baik Tuan Putri, maksudku Nona Faye," suara gagahnya bergema dalam helm logamnya.

Pedang, koin emas, kalung dengan gigi dan cakar serta perlengkapan lainnya. Faye membawa semuanya dengan bayangan hitam yang bertindak sebagai tangan ketiganya. Sementara api kecil yang masih terbakar dalam abu, padam ketika ksatria itu menimbunnya dengan tanah. Anak panah yang menancap cukup dalam di batang pohon, dicabut satu persatu.

Sang gadis dan ksatria meletakkan semua barang-barang menjadi satu di tanah. Dengan sihirnya, sebuah lubang berwarna hitam muncul dan menelan barang-barang tersebut. Dirasa semua sudah bersih mereka pun meninggalkan tempat tersebut.

Sembari berjalan di belakang gadis berjubah, sang ksatria yang penasaran bertanya, "Apakah ada pengganggu saat aku pergi, Nona Faye?"

Faye menoleh sedikit dan mengangguk.

"Maafkan aku, Nona Faye. Ini karena aku tidak ada di hutan untuk berjaga." Sang ksatria membungkukkan badannya. Sebagai seorang ksatria, dia menghancurkan harga dirinya serta tugas mulia yang diberikan kepadanya. Sebelum gadis yang dia layani memaafkannya, dia tidak akan mengangkat badannya.

Faye mendesah, "Aku memaafkanmu."

"Kurasa nona pasti sudah menghapus ingatan mereka. Apakah itu harus dilakukan?" tanya sang ksatria penasaran.

"Tentu saja. Jika mereka mengingatnya, hal yang lebih buruk lagi akan terus berdatangan, orang-orang akan memanfaatkannya dan merebut hal yang berbahaya untuk dirinya sendiri," kata Faye.

"Dan nona juga menyerap … menggunakan semacam sihir untuk mengurung mereka?"

"Tidak semua, hanya satu. Aku terlalu lemah untuk melakukannya sekaligus."

Faye berbalik lalu menyuruh sang ksatria untuk melanjutkan tugas berjaganya sementara dia akan berkeliling hutan untuk memeriksa apakah ada simbol yang rusak atau hal lainnya. Ksatria itu langsung bergegas pergi melaksanakan tugasnya.

Faye kemudian memeriksa hal yang mencurigakan lainnya, dia tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi saat dulu dia terlalu naif membiarkan kawanan Serigala Hutan datang dan menjadi predator puncak di hutan ini. Namun, dia tidak bisa menarik kembali keputusannya waktu itu, biarkan hukum alam terjadi dengan sendirinya tanpa campur tangan dan sihirnya. Lagipula, serigala itu berhasil menahan para manusia rakus tersebut sebelum dia datang.

Dalam perjalanannya, gadis itu melihat seekor rusa betina dan anaknya yang sedang mengunyah rerumputan. Ia menghampiri rusa kecil dengan tenang, membungkukkan tubuhnya sambil memberikan sejumput rumput liar di tangannya.

Dalam pengawasan ibunya, rusa kecil tersebut perlahan mendekati sang gadis, mengendus rumput di tangannya lalu memakannya. Setelah gadis itu berhasil mendapat kepercayaannya, dia memberanikan diri mengusap leher rusa kecil tersebut. Selain wajahnya yang selalu sama setiap saat, gadis tersebut masih membuka hatinya terhadap hewan-hewan di hutan tersebut.

Selain rusa, kelinci yang bermain di batang pohon yang roboh turut meramaikan suasana hutan. Tetapi, suara di balik semak-semak yang bergetar lebih menarik perhatian Faye. Ia langsung paham saat mencium aroma lavender yang menyengat. Faye membelah semak-semak, dan menemukan seorang lelaki dengan wajah serius dan pakaian mewah sedang berjongkok mengamati seekor Kucing Lentera yang mengejar kupu-kupu yang beterbangan.

"Apa yang kau lakukan disini, Archie?" tanya gadis itu ke lelaki bernama Archie tersebut.

Lelaki itu menoleh dan tersenyum ke arah Faye, "Oh, halo Faye." Tangannya menunjukkan gestur seperti mengajaknya ke dekatnya. "Aku sedang mengamati seekor Kucing Lentera. Tingkah lakunya, warna bulunya, dan bentuk ekornya yang unik ini. Jarang sekali aku mendapatkan kesempatan untuk melihat makhluk pemalu ini."

Faye berjongkok di sebelah lelaki itu, menaburkan serbuk sihir yang berkilau dari tangannya dan bermain dengan kucing berekor seperti lentera itu. Bahkan keimutan dan kepolosan dari tingkah laku kucing tersebut tak membuat wajah sang gadis sedikitpun berubah. Datar seperti papan.

Ketika bermain dengan kucing tersebut, Faye teringat sesuatu dan berdiri, "Aku pergi dulu. Kalau kau lihat Rynn, katakan padaku."

"Tentu saja."

Faye lalu menuju sebuah pohon tua dan ajaib dengan ukurannya yang besar. Kulitnya berwarna coklat abu-abu dengan tekstur yang kasar. Daun hijau menyirip tumbuh disepanjang dahan bercabangnya yang tebal dan kokoh. Di salah satu dahannya, sebuah sangkar burung tergantung. Jerujinya terbuat dari kayu cemara yang dibuat meliuk-liuk. Di bagian depan ada jarak cukup lebar diantara jeruji yang digunakan untuk keluar-masuk.

Dengan sihirnya, gadis berjubah melayang cukup tinggi untuk menengok seekor Burung Hantu Putih yang tertidur pulas di sangkar kayu. Bulunya seputih salju dan lembut saat disentuh, cukup tebal untuk udara malam yang dingin. Saat Faye menyentuh kepala burung itu, ia terbangun dan berkicau kecil seperti menyapa gadis tersebut. "Selamat pagi, Rue," Faye akhirnya tersenyum kecil. Dia hanya datang untuk memeriksa Rue, dia tak ingin menganggu tidur nyenyak makhluk kecil itu.

Sebuah rumah di tengah hutan. Rumah yang tampak normal dengan kebun bunga di halamannya. Gadis itu masuk ke dalam, saat sampai di ruangan utama dengan meja dan kursi di tengahnya, dia berbelok ke sebuah pintu di kanan. Pintunya tersegel dengan sihir khusus. Tangannya menyapu dari kiri ke kanan di pintu, sebuah cahaya putih muncul yang membuat pintu tersebut terbuka. Ketika gadis itu berjalan masuk, pintu kembali tertutup secara ajaib dan tak ada siapapun yang dapat membukanya kecuali dia.

Di sebuah ruangan yang gelap dan hanya diterangi beberapa lilin, tak ada satupun jendela yang berarti tak ada cahaya dari luar. Terlihat berbagai macam lemari berisi buku-buku, gulungan, tongkat sihir, pedang sihir, jimat, topeng, botol ramuan, cincin dan berbagai macam peralatan sihir lainnya, tapi ia tak menemukan jejak Rynn.

Hari pun berganti sore, Faye keluar dari rumahnya setelah memeriksa seluruh ruangan dan menuju ke sebuah kolam. Dia duduk berpangku tangan di tepi kolam. Kakinya tergantung di bawah hingga mata kakinya terendam air kolam. Melepas penatnya dengan kesejukan air kolam.

Faye menghela nafas dan menutup matanya, membiarkan pikirannya terhanyut dalam aliran kolam yang tenang. Seperti air yang menetes menciptakan riakan. Awalnya bergoyang menciptakan gelombang kemudian menjadi tenang seperti di alam mimpi.

Jiwanya seakan-akan menyatu dengan alam, merasakan daun yang jatuh, angin yang meniup bunga dengan lembut serta getaran kecil pada tanah. Begitulah cara Faye mengistirahatkan dirinya setelah kesibukannya berkeliling hutan. Sampai saat ini pun, ia masih belum menemukan keberadaan Rynn.