Two. Sebuah Bom

Hari ini, dia harus menjalankan tugasnya seperti biasa. Tugas sebagai seorang mahasiswa teladan di kampusnya. Ah, memang terdengar sedikit ... tapi mahasiswa teladan itu biasanya banyak dibutuhkan jasanya. Dekan juga kadang keterlaluan, menyuruhnya untuk mengajar di kelas jika Dekan itu sedang malas mengajar. Menyebalkan sekali, bukan? Apalagi isinya adalah anak–anak yang hobinya bertanya hal–hal tidak penting, seperti ... "Kak? Kenapa kakak gak tulis nomor telfon kakak di papan tulisnya??" Dia menghela nafas, menatap datar pada mahasiswi tersebut.

"Pelajarannya cukup sampai di sini, kalian lanjutkan pelajaran di rumah," ucapnya dingin.

Tanpa berbasa–basi lagi, ia kini meninggalkan kelasnya, berjalan dengan langkah lebar agar tidak ada gadis–gadis yang mengikutinya. Yap, dia memang popular, dan dia benci akan hal itu. "Pria tua sialan! Padahal aku bisa mendapatkan nilai dengan nilaiku, dan aku tidak butuh belas kasihan sampah seperti ini darinya," gumamnya kesal.

"Hei kau! Minggir dari saa—"

'DUAR!'

Sebelum orang itu selesai bicara, sebuah ledakan lebih dulu menutup mulutnya. Membuat orang–orang yang berada di dalam kampus ini keluar dari tempat mereka, seperti kerumunan semut yang sarangnya dihancurkan. "VALE! MENJAUH DARI SANA, ADA BOM DI BAWAH KAKI MU!" Mendengar hal itu, pria yang bernama Vale ini bukannya pergi, ia malah menatap ke bawah kakinya, mencari bom yang di maksud itu.

Bukan dari bawah lantai marmer yang ia pijak, tapi bom itu berada tepat di bawah sepatu yang ia gunakan. Yap, bom itu menempel di sepatunya. "Damn it!" umpatnya. "Kalian semua menjauh dari ku! Bom itu ada di bawah kaki ku!" Setelah mendengar apa yang Vale katakan, orang–orang yang tadinya mengkrumuni Vale, berangsur–angsur mundur dan berlari menjauh darinya. Satu pertanyaan yang terlintas di pikiran Vale adalah, "Bagaimana bisa seseorang membuat bom seperti ini? Jika bomnya sekecil batu kerikil, bagaimana aku menjinakkannya?!" ucapnya, sembari bergelut dengan pikiran sendiri.

Valentio Dominguez. Ssstt, hanya kalian yang tahu nama ini. Yap, hanya aku, dan kamu. Kampus hanyalah tempat Vale untuk bersembunyi dari identitas aslinya, jadi jangan heran jika secara tiba–tiba ada bom yang meledak di kampus ini. Ah iya, Vale lah yang di incar, jadi wajar saja jika ada bom yang menempel di sepatunya. Tidak, apanya yang wajar? Ini di luar nalar.

"Vale di sini. Ada bom di bawah sepatu ku, dan ini akan meledak dalam waktu 15 menit lagi. Bisa kau cari tahu, jenis bom apa ini? Dan bisakah kau cari tahu susunan bom mungil ini?"

Apa sebutan yang pantas untuk pria berdarah dingin ini? Hanya 'Vale'. Ah bukan itu, maksudnya, bagaimana bisa dia mengerti tentang bom? Mudah saja, karena dia adalah ... "Sir, bom ini adalah varian baru dari Bom H–t17, rancangannya tidak jauh beda, hanya saja jika anda secara tidak sengaja menginjaknya, dan bom tersebut hancur, maka bom itu akan meledak dengan radius ledakan yang sangat besar." jelas suara di balik telfon.

Vale berdecak, bagus juga orang itu bisa meniru rancangan bom yang ia buat. Tapi tidak dengan menyabotase ukurannya juga! Orang–orang payah yang merepotkan! Sekarang Vale harus berpikir dua kali, bagiamana caranya menjinakkan bom yang super kecil ini? Jika tidak dengan cara menginjaknya sampai hancur? "Hey, sambungkan akses ku ke komputer sekarang," titahnya. Vale mengambil notebook di dalam tasnya, ia menghubungkan kabel data yang terpasang di jam tangannya ke notebook tersebut.

"Apa Vale sudah tidak waras? Sudah tau ada bom menempel di sepatunya, dia masih saja santai dengan bermain game seperti itu?!" Kesal seorang gadis, sembari menatap Vale dengan ekspresi wajah khawatirnya.

Lawan bicara gadis itu hanya diam tak bergeming, sebab ia tahu apa yang sedang Vale lakukan. Daripada membuat pria itu semakin kesusahan, lebih baik ia membantunya dengan cara berdiam diri, dan bergerak jika sudah diperintah. Yap, seperti itu lah aturan mainnya. "Jessi, kenapa kau tidak menjawab ku, hah?!" teriaknya lagi, membuat beberapa orang mengalihkan pandangan padanya. "Kau yang seharusnya tidak banyak bicara, Cyslin." Setelah mengatakan hal itu, gadis bernama Jessi itu pergi meninggalkan Cyslin, ia berjalan ke arah Vale berada. Loh? Ekhem, Jessi memang mendapat perintah langsung dari Vale.

Jessi menatap layar notebook yang kini sudah Vale arahkan padanya, ia melihat sebuah rancangan kabel di layar notebook itu. Jessi mengerti, Vale memintanya untuk meretas jaringan bom ini, agar mereka berdua bisa menjinakkannya. "Guez, aku tidak yakin semua bom yang ada di sini dijinakan dengan cara yang sama," ucap Jessi, membuat kedua alis Vale bertaut. "Berapa banyak bom yang disebar oleh orang–orang sialan itu?" tanya Vale kesal. Jessi menghela nafasnya berat, ia mengangkat tangannya, dan menunjukkan 7 jari pada Vale.

"Sialan." Satu umpatan keluar dari mulut Vale setelah mengetahui jumlah bom di kampus ini, dan masing–masing bom itu, tidak bisa dijinakkan secara serentak. "Di mana letak bom yang lainnya, Jc?" tanya Vale lagi. Tanpa banyak berfikir, Jessi menunjukkan ponselnya, layar ponsel Jessi berubah menjadi warna hijau tua, dengan lingkaran putih yang bergaris. Di sana, Vale bisa melihat di mana saja letak bomnya. "Masing–masing dari mereka, memiliki waktu ledakan selama 17 menit lagi. Kita hanya punya waktu 7 menit untuk meretas semua bom tersebut," jelas Jessi, yang dibalas anggukan kepala.

Jessi ikut mengeluarkan notebook miliknya, menyambungkan server miliknya dengan milik Vale. Mereka berdua mencari tahu kelemahan setiap bom, dan cara cepat untuk menjinakkan ke tujuh bom tersebut. Tidak butuh waktu yang lama, Jessi berhasil menemukan cara cepat untuk menjinakkan bom–bom tersebut. Akan tetapi, cara yang Jessi temukan tidak 100 persen aman.

Vale mendengarkan penjelasan dari Jessi, walau bisa di andalkan, tapi Vale tidak menjamin keamanannya. Mungkin, ia bisa mengambil langkah lain, yaitu dengan cara menggabungkan cara keduanya. "Jika salah satunya meledak, ada sekitar 70 nyawa yang menjadi taruhannya, Guez," ucap Jessi mengingatkan.

"Itu lebih baik, dibandingkan ketujuhnya meletus, dan kampus ini hancur."

Jessi tidak mungkin membantah seorang Valentio Dominguez, jika ia masih menyayangi hidupnya, maka perintah Vale harus ia turuti.

Dengan perasaan yang campur aduk, Jessi mengambil ancang–ancang untuk menekan tombol 'Accept' yang kini muncul di layar notebook miliknya dan Vale. Mereka berdua harus menekannya secara bersamaan, jika tidak, bom itu malah akan meledak lebih cepat, bukan mati dan berhasil mereka jinakkan.

"Hitungan ke tiga, kita tekan tombolnya bersama. 1 ... 2 .... 3 ...,"

'Pushh'

'Pushh'

'Pushh'

Dari beberapa tempat, terdengar suara angin yang seolah keluar dari letusan balon. Yap, mereka berhasil menjinakkan bom–bom itu.

"Kerja bagus Guez, kita berhasil menn—"

'DUAR!'

"JESSI! VALE!"

~~~~~~