Seven. The Bloody Night

Vale hendak menghentikan Jessi yang berlari tanpa pikir panjang itu, namun dirinya juga ditahan oleh Cyslin dan Gracie. Ah, sialan! "Biarkan Jessi membereskannya Guez! Jika ia tidak melakukan hal ini, maka citra mu sebagai penguasa baru dermaga ini akan buruk!" ucap Cyslin. Gracie membantu Cyslin meyakinkan Vale dengan anggukan kepala antusias, seolah ia juga mendukung Jessi, dan menginginkan Vale tetap berada di sini. "Carol, Alvin. Kalian kejar Jessi, Harist, dan Sasha, serahkan keselamatan Vale pada kami berdua," ucap Cyslin tenang. Tanpa banyak bicara, Carol dan Alvin yang disuruh langsung pergi meninggalkan ketiganya, dan mempersiapkan diri untuk bertarung.

Jessi, Harist, dan Sasha sudah dekat dengan lokasi perbuatan keji tadi. Ia masih mencari celah, untuk menyerang orang itu secara diam–diam. Dan ketika Jessi mendapat kesempatan untuk menyerang, tanpa banyak berpikir ia langsung melayangkan tendangan dari arah samping ke bokong pria itu, membuat pria yang sedang membungkuk itu jatuh tersungkur ke tanah. Sasha yang mendapatkan peluang, langsung menolong korban pelecehan dan kekerasan itu. Tiga Rekan pria yang tadinya asik menyaksikan pelecehan tersebut, langsung bangkit, dan menyerang Jessi secara bersamaan.

Belum sempat Jessi melawan, Harist sudah terlebih dahulu melayangkan high knee kick ke wajah pria itu, yang membuatnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tak mau berhenti begitu saja, Harist pun melayangkan tinju ke pria yang berada di sebelahnya, setelah melakukan penyerangan itu, Harist menendang perut pria itu, dan membuatnya kehilangan keseimbangan tubuh. Jessi pun tidak diam saja, ia melayangkan calf kick ke musuh yang ada dihadapannya, meraih rambut pria itu, menariknya, dan menghantamkan wajah pria itu ke lututnya. Aw, sepertinya itu terasa sakit. Namun, setelah diserang secara terang–terangan seperti ini, mereka masih belum menyerah, padahal wajahnya penuh dengan darah, dan tubuhnya sudah sulit untuk berdiri tegak.

"Siapa yang menyuruh kalian untuk mengotori tempat ini, hah?!" teriak Harist. Bukannya mendapatkan jawaban, Harist hampir saja terkena pukulan dari pria itu, untungnya ia berhasil menghindari pukulannya. "Ah, percuma juga aku berbicara pada bedebah seperti kalian!" Tanpa pikir panjang, Harist langsung menyerang pria yang ada dihadapannya dengan brutal, setelah berhasil membuatnya tidak sadarkan diri, Harist menarik kerah baju pria yang menyerang Carol, memukul wajahnya, menendang perutnya, dan melayangkan tendangan ke kepala pria itu. Jessi dan Alvin yang masih berusaha untuk melawan sisanya mundur perlahan, keduanya tidak mau jika harus terkena pukulan Harist juga. "Minggu depan, jika kami masih melihat wajah kalian di sekitar sini, maka aku tidak akan memberikan kesempatan hidup lagi pada kalian!" kecam Harist.

Ah, sepertinya Harist sudah puas sekarang. Melihat pelaku kriminal babak belur, dan mengeluarkan banyak darah dari bagian wajahnya. Nah, ini adalah balasan yang impas untuk para pelaku kejahatan. "A–aku, aku akan melaporkan kalian ke bos besar!" ucap salah satunya. Kemudian mereka melarikan diri dari hadapan kelimanya. Jika Jessi dan Alvin tidak menahan Harist, mungkin pria itu akan menyerang empat pria brengsek itu, dan pertarungannya tidak akan pernah berakhir. "Harist, sekarang lebih baik kita lihat kondisi korban!" ucap Jessi sedikit berteriak. Bukanya setuju, Harist malah pergi, dan menggelengkan kepalanya. Ah, pria itu selalu saja seperti itu. "Biarkan saja dia, ayo kita lihat kondisi perempuan tadi," ucap Alvin, sembari menepuk pundak Jessi.

Jessi dan Alvin berjalan kearah Carol dan Sasha, mereka sepertinya kesulitan untuk menenangkan gadis itu. Bukan sulit, tapi yang namanya trauma memang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, apalagi ia menjadi tontonan orang lain. Kasihan sekali. "Ditubuhnya penuh dengan luka, senior. Kami sudah berusaha menenangkannya, namun ia terus menerus menangis," ucap Carol. Jessi berjongkok di hadapan gadis itu, ia meraih tangan gadis itu yang sedari tadi menutupi wajah. "Berapa usia mu, dik?" tanya Jessi dengan suara yang lembut. Gadis itu menyeka air matanya, kemudian ia sedikit mendongakkan kepalanya. Lalu dia berkata, "Usia ku 17 tahun, aku datang dari Indonesia, kak," jawabnya. Jessi sedikit terkejut mendengar jawaban dari gadis itu, sepertinya ia salah satu korban perdagangan manusia, sama seperti yang dialami Reyna dulu. Namun yang membedakan, gadis itu bisa melindungi diri sendiri.

"Siapa nama mu?" tanya Jessi lagi. Gadis itu tidak menjawab, ia hanya menatap wajah Jessi dengan raut wajah takutnya. Ah, Jessi mengerti, orang–orang itu pasti memanfaatkan data diri gadis ini, sehingga membuatnya memiliki rasa tidak percaya pada orang lain. "Kau ikut kami, aku akan pertemukan kau dengan orang Indonesia juga," ucap Jessi. Gadis itu menatap Jessi ragu, namun tatapan Jessi sebaliknya. Jessi dan teman–temannya memberikan tatapan yang tulus, seolah mereka memang orang baik. Namun pada akhirnya, gadis itu mengangguk, dan mau ikut dengan mereka.

"Tuan muda sudah berada di mobil, jadi sepertinya kita langsung menyusul saja," ucap Carol, yang dianggukki oleh teman–temannya. Dengan langkah yang sedikit cepat, mereka berjalan kearah mobil yang mereka tumpangi tadi terparkir. Tapi ... mobilnya sudah tidak berada di sana. "Hey kalian! Cepat datang ke arah selatan, kami diserang orang–orang sini!" teriak Cyslin, melalui earphone yang terkoneksi satu sama lain. Tanpa banyak bertanya, mereka berlari ke arah selatan, mereka tidak mencari keberadaan Vale dan Cyslin, mereka sedang mencari keberadaan orang–orang itu.

"Siapkan senjata kalian, Carol kau amankan saja gadis itu!" titah Jessi. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Harist yang sedang berlindung dibalik box besar. Dilihat dari jarak yang jauh saja sudah jelas jika pria itu banyak terluka, dan ia sudah kesulitan untuk berdiri. "Berpencar! Serang mereka dari segala arah!" Mereka semua mulai berpencar, menarik pelatuk senapan yang mereka bawa.

Jessi bersembunyi di balik pohon besar, ia melemparkan bom asap ke arah lima orang yang berkumpul. Setelah bom asap itu bekerja, Jessi menembaki mereka dengan senapan yang ia bawa. Tenang saja, kacamata yang Jessi gunakan, membantunya untuk dapat melihat dikondisi apapun.

"One shot!"

'DUAGH!'

Suara ledakan itu membuat Jessi tersenyum puas, melihat tubuh kelima orang itu melayang di udaara seperti melihat Mannequin uji coba enam tahun lalu, sangat lucu. Dan ketika mereka jatuh menghantam tanah, ada darah yang mengalir dari tubuh mereka. Jessi tidak tahu itu dari bagian tubuh yang ia tembak, atau luka baru akibat benturan. Sedangkan di sisi lain, Alvin berhasil menaklukkan lebih dari 10 orang, dengan hanya menggunakan pisau kebanggaannya. Ah, sudah berapa banyak bagian tubuh yang ia sayat minggu ini? Belum lagi, mereka harus menerima luka tembak dibeberapa bagian tubuh mereka, karena Alvin tidak mau orang–orang ini pulang dengan selamat.

"Tinggal satu lagi saja yang belum kita tangani," ucap Sasha.

Mereka bertiga berjalan melewati genangan darah yang terus bertambah, dari puluhan orang ini, ada sekitar 5 orang yang masih meminta pertolongan. Jika dipikir lagi, hebat juga Harist bisa mengalahkan setengah dari puluhan bedebah ini.

"Entahlah, tapi aku tidak yakin jika mereka sudah mati,"

'Dor!'

~~~~~~