Jessi dan semua rekannya saling menatap satu sama lain, sejak kapan? Sejak kapan ada bom di markas Vincent?! Tanpa banyak berfikir lagi, Jessi menarik lengan Alvin dan Sasha, dan ia mempercayakan keadaan di luar pada Carol serta tim 1. Jessi berlari secepat mungkin, saat ia sampai di depan pintu masuk, Jessi terdiam. Sudah tidak ada pintu masuk, lagi. Semua akses untuk mereka agar sampai ke dalam sana, tertutup oleh reruntuhan bangunan yang tumbang. Alvin tidak diam saja, pria itu mencari cara lain untuk masuk ke dalam markas, entah sekecil apapun celah itu.
Alvin berusaha untuk naik ke atap, mungkin saja di atas saja ada jalan untuk masuk ke dalam, dan bisa menyelamatkan Vale serta yang lain. Tapi ... Alvin juga tidak mau berharap banyak, karena ... kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan bomnya saja sudah separah ini. "Teman–teman ... sepertinya kita harus mengurus bom yang lain, sebelum kita masuk ke dalam sana!" ucap Sasha, dengan suaranya yang sedikit panik. Jessi dan Alvin menoleh ke arah Sasha, gadis itu memegang sebuah bom yang ukurannya cukup besar, dan waktu ledakannya tinggal ... "2 menit? Tidak! Kita tidak memiliki waktu untuk menjinakkan bom yang menggunakan remote pengendali!" balas Jessi tak kalah panik.
Waktu bom itu meledak semakin dekat, daripada bom itu meledak di tangannya, Sasha membawa lari bom tersebut ke hutan. Gadis itu melemparkannya sejauh yang ia bisa, walau harus mengorbankan dirinya sendiri. "No, Sasha! Comeback here!" teriak Alvin, sembari berlari mengejar Sasha. Waktu ledakan bom yang berada di tangan Sasha hanya tersisa 1 menit lagi, dan ia masih harus berlari sejauh yang ia bisa, agar ledakan bom itu tidak melukai siapapun. Entah sudah berapa ratus meter yang sudah Sasha lewati, tapi ia rasa, sekarang lah waktu yang tepat untuk melemparkan bomnya. "Sial, aku harus melemparnya sekarang juga!" ucapnya. Dengan nafas yang sedikit tertahan, Sasha melemparkan bomnya ke dalam hutan, setelah itu, Sasha kembali berlari, menjauhi hutan itu agar tidak terkena dampak ledakannya.
'DUAGH!'
Sasha memejamkan matanya, ia merasakannya ledakan bom tersebut mengenai tubuhnya. Mungkin ketika ia terbangun nanti, tubuhnya sudah berada di bawah tanah. "Hey, Sasha! Are you okay??" tanya seseorang, sembari menepuk–nepuk wajahnya dengan keras. "Alvin? Apa kau juga ikut mati bersama ku?" tanyanya polos, dan Alvin memukul wajahnya lagi. "Jika itu tidak terasa sakit, selamat. Sebentar lagi neraka akan menyambut mu, Sasha." Setelah mengatakan hal itu, Alvin memindahkan kepala Sasha dari pahanya ke tanah, kemudian ia bangkit dari duduknya, dan berjalan meninggalkan Sasha sendiri. Dasar laki–laki, dia kan bisa menyadarkan Sasha dengan minyak angin? Tidak perlu ditampar–tampar seperti tadi, tahu. "Untuk wajahku tidak merah dipukuli olehnya," batin Sasha kesal.
Setelah mendapatkan kesadarannya kembali, Sasha segera mengejar Alvin. Mereka berdua masih harus menyelamatkan Vale, Cyslin, Gracie, serta orang–orang yang masih berada di dalam sana. Dengan langkahnya yang timpang, Sasha berhasil mengejar Alvin, dan menyamakan langkahnya dengan Alvin. "Lain kali, berpikir lah sebelum bertindak. Paham?" ucap Alvin secara tiba–tiba, membuat Sasha menautkan kedua alisnya. Haish, padahal Sasha melakukan hal itu untuk keselamatan mereka semua, toh tidak ada salahnya juga. Sudah lah, masa bodoh dengan semua itu, yang harus mereka pikirkan sekarang adalah Vale.
Dari luar, mungkin keadaan sangat buruk, tapi di dalam sana, keadaannya jauh lebih buruk. Vale dan Vincent, kini sedang berusaha untuk melawan orang–orang berpakaian hitam. Dengan senjata seadanya, mereka harus bisa bertahan sampai bala bantuan datang. "Cyslin, terus lah mencari jalan keluar! Jangan pikir kan kami berdua!" ucap Vale pelan. Cyslin yang mendengar hal itu, hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak berada di tempat Vale dan Vincent berada, sedangkan dirinya sendiri tidak menemukan sedikit celah pun untuk keluar dari dalam sini. Awalnya Vale dan Cyslin berpikir jika mereka hanya diserang dengan ledakan bom saja, tapi ternyata, penjaga yang Vincent bawa sudah dikalahkan oleh orang–orang itu, dan mereka semua menyamar menjadi pengawal Vincent dari awal Vincent datang kemari.
'Bugh!'
Vale yang sudah kehabisan peluru, hanya bisa menyerang menggunakan benda–benda yang berada di sekitarnya. Ia tidak peduli dengannya damage yang dihasilkan, baginya, melihat lawan tidak bisa bangkit kembali adalah sebuah kemenangan. "Guez! Dibelakang mu!" teriak Vincent. Vale yang tidak sempat menghindari pukulan yang dilayangkan orang itu, harus jatuh tersungkur ke tanah. Dan belum sempat Vale bangkit, orang yang tadi memukulnya masih berusaha untuk menyerang Vale. Dengan sigap, Vale menahan serangan orang itu, menarik kaki yang orang itu gunakan untuk menyerang, dan memukul wajahnya ketika ia sudah tidak bisa berkutik lagi. Vincent tidak tinggal diam, ia mengambil balok kayu yang Vale gunakan tadi, dan memukuli pria yang ada di hadapannya secara brutal.
Ah, memangnya mereka harus mengasihani orang–orang yang tidak segan untuk menembak seorang wanita? Bahkan, seorang seorang yang tak paham dunia pun akan menghajarnya. "Kita masih harus mencari Cyslin, Gracie dan sekertaris mu sekarang, Vin," ucap Vale, sembari berlari keluar ruangan itu. Vincent mengikuti Vale dari belakang, dan memperhatikan keadaan disekitarnya. Mungkin saja, secara tiba–tiba mereka mendapat serangan lagi? Tidak ada yang tahu. Setelah lama memutari tempat ini, akhirnya Vale dan Vincent berhasil menemukan ketiga perempuan itu. Dan mereka masih belum berhasil menemukan jalan keluar. "Cyslin, apa sekarang kau sudah bisa menghubungi yang lain?" tanya Vale, dan Cyslin menggelengkan kepalanya.
Vale menghela nafas berat. Semua akses keluar benar–benar di tutup, dan mereka tidak mungkin tetap diam di dalam sini sampai ajal menjemput. Terlebih lagi, yang membuat Vale khawatir adalah keadaan Graciela, gadis itu rela terluka hanya untuk melindunginya tadi. Ah, sebenarnya Cyslin dan Jessi juga sudah sering melakukan itu, tapi kali ini berbeda. "Sembunyi! Ada seseorang yang datang!" ucap Cyslin, sembari berlari ke salah satu ruangan yang sedikit tertutup. Mereka berlima berusaha untuk menahan suara nafas mereka, agar orang–orang itu tidak mengetahui keberadaan mereka.
"Tuan Guez? Cyslin? Tuan Vincent? Apa kalian masih hidup?!" tanya Sasha, yang langsung mendapatkan pukulan di kepalanya. "Sembarangan sekali bicara mu!" balas Carol. Jessi dan Metta hanya bisa menghela nafas pasrah, dua orang ini apakah tidak bisa serius sedikit? Vale yang mendengar suara anak buahnya itu kini bisa bernafas lega. Setidaknya, mereka sudah berhasil masuk, dan menyelesaikan kekacauan yang terjadi di luar sana. "Kami di sini!" serua Cyslin, sembari melambai–lambaikan tangannya.
Mereka yang melihat keberadaan Vale dan yang lain, segera menghampirinya, mengecek kondisi ke–limanya, baru setelah itu membawa mereka keluar dari tempat ini.
"Aku kira kalian sudah mati tertimbun reruntuhan."
~~~~