Bisma melemparkan ponselnya begitu saja. Pikirannya menerawang, dia teringat dengan Hayu, teringat akan janjinya pada kekasihnya untuk menjemputnya besok pagi. Bisma keluar kamar, dia ingin bicara dengan Maminya.
Ingin mengatakan pada maminya, jika dia akan mengajak Hayu ke rumah esok hari. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, seseorang yang familier itu memanggilnya.
“Bisma!”
“Lho, kok kamu ada di kamar tamu, kamu menginap di sini? Kamu bukannya pulang ke apartemen kamu?”
Mendadak tubuhnya terasa berat, dia seperti baru saja tertimpa batu yang besar, ingin mengumpati Jelita saat itu juga. Tapi sayang, hal itu tak urung dilakukannya. Di rumahnya ada aturan di larang mengumpat dan berbicara kasar, jika ada yang melanggarnya, maka sanksi yang diterimanya adalah penarikan black card selama sebulan.
“Mami memintaku menginap di sini malam ini, Mami bilang besok ingin mengajakku membuat cookies. Ya, aku mana mungkin menolaknya."
Bisma tercengang mendengarnya, ingin rasanya dia mengubur dirinya di dalam selimut saat ini juga. Tak menyangka jika maminya bergerak lebih cepat melebihi kecepatan cahaya, sekarang apa harus dilakukannya, dia terlanjur mengatakan pada Hayu, jika dia akan mengajak Hayu datang besok pagi.
Jelita melambaikan tangannya di depan Bisma, “Hei, kamu kenapa? kamu seperti orang linglung. Kamu kesambet?”
“Heem, aku kesambet Jin yang ada di rumahku.”
Melanjutkan langkahnya mencari Bu Ayu, Bisma berdoa dalam hati, semoga maminya mengizinkan Hayu datang dan membantunya. Dia melihat maminya yang sedang membuat jahe madu untuk papinya, segera Bisma mendekati wanita yang paling dicintainya itu.
“Mi, besok mami mau membuat cookies, bukan? Bisma bawa Hayu ke sini buat bantu Mami, ya.”
“Untuk apa, bukankah sudah ada Jelita di atas, dia bisa membantu ibu membuat kue-kue itu.”
“Yakin dia bisa, kok aku nggak yakin ya, Mi. Dia lebih bisa buang uang ketimbang bikin kue!”
“Wajar! Karena dia di besarkan dari keluarga yang memiliki segalanya, dan dibesarkan dengan fasilitas yang mumpuni, yang nggak wajar itu, sudah miskin nggak bisa masak, itu yang nggak wajar,” ucap mami Bisma melengos dan meninggalkan Bisma sendiri.
Bisma mengejar maminya, “Mi, ingat apa yang Papi katakan, syarat itu tidak akan Bisma penuhi jika tidak ada kesempatan untuk Hayu, MI!”
Mau tak mau Bu Ayu pun menjawab perkataan anaknya. “Baiklah, biar kita lihat bisa apa dia?”
Bisma lega, menghembuskan nafasnya dengan ringan serasa tak punya beban, tanpa dia tahu bahwa sejak besok masalah akan semakin menjadi rumit.
Dengan senang hati, dia kembali masuk ke kamarnya, namun sebelum dia berhasil meraih gagang pintu kamar, Jelita lebih dulu menyapanya.
“Hem, jadi kamu besok mau membawa sekretaris Candra itu datang ke sini menjadi sainganku, begitu?”
Bisma mengangguk, “Harus ada lawan yang seimbang, bukan?”
Jelita tertawa mendengar perkataan Bisma padanya. “Apa kamu bilang, seimbang? Sure, jangan bercanda, Bisma. Jelas saja ini tidak seimbang!”
Bisma tertawa, “Kamu benar, ini memang tidak seimbang, mana mungkin kamu yang ningrat ini bisa membuat sesuatu di dapur, apalagi membuat cookies, tentu saja itu adalah hal yang mustahil kamu lakukan, Jel! Aku takut kamu mempermalukan diri kamu sendiri, besok.”
“Brengsek!” umpat jelita kesal, mengentakkan kaki dan masuk ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Untung saja dia tahu jika di rumah itu tidak diperkenankan membanting pintu.
Jika tidak, Bisma yakin, Jelita akan membanting pintu dengan kekuatan besarnya, atau malah bisa saja merobohkannya. Bertahun-tahun berteman dengan Jelita, Bisma cukup tahu temperamen Jelita seperti apa.
Dia masuk ke kamarnya, membersihkan tubuhnya yang terasa lelah. Lelah jiwa dan raga. Batinnya merintih memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Hayu. Dia membutuhkan istirahat malam ini.
**
Pagi yang cerah untuk jiwa yang saat ini sedang merasa bahagia. Bisma gegas bangun dan membersihkan dirinya, memakai pakaian santai, hendak menjemput kekasih hatinya.
Bisma turun ke bawah, di sana semua orang sudah menunggunya, Mami, Papi dan juga Jelita.
“Cepat, Bisma. Papi sudah menunggumu dari tadi,” ucap Bu Ayu kesal. Pasalnya sang suami hendak berangkat bermain golf.
Bisma mempercepat langkahnya, dan segera duduk di kursi yang biasa dia tempati. Melihat menu pagi ini, liurnya menetes, dia yakin sekali pasti maminya yang memasak, bukan asisten rumah tangga yang mereka pekerjaan.
Nasi pecel, pergedel dengan mendoan hangat, sungguh menggugah seleranya pagi ini. Mereka semua makan dalam diam. Selesai sarapan, papinya mengingatkan atas syarat yang di ajukan untuk putra semata wayangnya itu.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan?”
“Iya, Pi. Bisma mengerti. Aku sudah mengatakannya pada Candra, tapi dia bilang aku harus keluar setelah penggantiku datang. Jadi Papi juga harus bersabar.”
Pak Adibrata mengangguk, sebenarnya dia sudah tak sabar, tapi sebagai pemilik perusahaan dia cukup mengerti dengan alasan Candra. Memang tidak gampang mencari pegawai berkompeten dalam waktu singkat.
Bu Ayu mengantar suaminya hingga masuk ke dalam mobil. Setelah mobil menjauh, barulah di melangkah kembali ke dalam ruang makan.
Bisma berdiri, berpamitan pada Bu Ayu untuk menjemput Hayu dan mengajaknya datang ke sana. Bu Ayu dengan ogah-ogahan pun mengangguk, meski terasa berat menerima keputusan suaminya, dia meyakini jika suaminya pasti memiliki rencana yang tidak seorang pun tahu. Dia tahu bagaimana suaminya itu.
Bisma mencium punggung tangan maminya dan keluar rumah, dia tak menyapa Jelita sama sekali. Enggan menatap wajah cantik yang saat ini menurutnya sangat menyebalkan. Saat hendak masuk ke mobil maminya berseru memanggilnya. Bisma menoleh, “Ada apa Mami?”
“Sekalian antar Jelita pulang, Maminya meneleponnya tadi.”
Bisma melotot ke arah gadis yang sedang menaik-turunkan alisnya itu, memamerkan tanda kemenangannya, dia berhasil lolos dari pekerjaan yang tak di sukainya.
Jelita berpamitan dengan mami Bisma dan melambaikan tangannya.
“Lama! Cepat masuk!” perintah Bisma yang kesal karena harus menunggu drama antara Maminya dan Jelita, yang seakan enggan berpisah satu sama lain.
Jelita masuk ke mobil Bisma, maminya menghardiknya, “Jangan galak-galak dan juga membentaknya Bisma, atau Mami cabut fasilitas keuangan kamu!”
“Iya, Kanjeng Mami, Bisma pergi dulu, Mi.”
Bu Ayu mengangguk dan menatap mobil Bisma hingga keluar dari gerbang rumah mereka.
Bisma diam, kerongkongannya terasa kering mengingat tadi maminya begitu senang dengan Jelita, kebahagiaan yang terpancar dari matanya tak bisa membohongi Bisma sama sekali.
“Antarkan aku ke apartemen,” ucap Jelita, tanpa menoleh ke arah Bisma.
“Bukannya kamu bilang dengan Mami jika kamu mau pulang ke rumah, aku harus mengantarkan kamu ke rumah seperti perintah mami!”
“Aku mau pulang ke apartemen, bukan ke rumah Mamiku Bisma!” serunya kesal. Dia menoleh ke arah Bisma yang diam, dia tahu Bisma sedang kesal padanya. Hening tak ada pembicaraan lagi, hingga suara dering ponsel berdering memekakkan telinga mereka berdua.
-bersambung-