Aku Mau Pulang

Hayu memulai pekerjaannya, dia meretakkan dan memecahkan butir demi butir telur. Hingga saat semua telur-telur mulai pecah, hatinya juga ikut retak karena ucapan Bu Ayu.

“Jangan harap saya akan menerima kamu jadi menantu saya, saya hanya mengikuti kemauan anak dan suami saya. Jelita jauh lebih baik ketimbang kamu!”

Hayu merasakan rasa perih dihatinya, untungnya dia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa, sehingga air mata tak meleleh begitu saja di pipi mulusnya. Dia menguatkan hati dan telinganya, dia yakin setelah ini rintangan akan semakin terjal.

“Bu, jadi apalagi yang harus saya lakukan setelah ini?”

“Katanya kamu pandai memasak, Ibumu juga bisa membuat kue-kue basah, jadi kenapa kamu bertanya pada saya, apalagi yang harus kamu lakukan, kamu tahu kita akan membuat apa?”

Hayu mengangguk, dia tahu Bu Ayu akan membuat kue nastar, terlihat dari bahan yang dia gunakan dan juga selai nanas yang ada di meja.

“Ibu mau membuat kue nastar, bukan?”

“Iya, jadi sekarang kamu buat nastar ini, kamu bisa?” tanyanya agak kalem dan tersenyum tipis.

Dalam hati Hayu, dia agak senang melihat senyuman yang tersungging di bibir Bu Ayu. Namun seketika perasaannya tidak enak ketika Bu Ayu berpamitan dengan Hayu.

“Kamu di sini dulu, selesaikan semuanya, saya ada keperluan sebentar dengan Bisma.”

Hayu mengangguk, suaranya tercekat, tak mampu membantah perintah wanita ayu yang seumuran dengan ibunya, tapi masih cantik dengan banyak perawatan yang dilakukannya.

Bu Ayu melepas celemeknya dan melangkah keluar, dia sama sekali tak peduli dengan perasaan Hayu. Namun sejurus kemudian dia berbalik lagi dan menghampiri Hayu.

“Ingat, saat saya kembali semuanya harus sudah selesai, kamu pikir gampang menjadi menantuku! Kamu harus bisa membuktikan kalau kamu memang pantas menjadi bagian dari keluarga kami!”

Dalam hati dia menjerit, mengatai dirinya berulang kali. Bodoh! Satu kata yang terbesit dalam benaknya. Kenapa dia menjadi bodoh hanya karena mencintai lelaki seperti Bisma. Tapi bukan cinta namanya kalau tak dibalut dengan kebodohan. Bukankah banyak orang bilang cinta itu buta, mungkin saat ini, itulah yang Hayu rasakan.

Hayu mendesah pelan, mau tak mau dia harus melakukannya, untung saja dia bisa membuat nastar karena sering membantu ibunya membuat pesanan kue-kue lebaran.

Mengumpulkan kesabarannya dan menyemangati dirinya sendiri. Dia memulai semua pekerjaannya. Membuat nastar sembari meratapi nasibnya. Perkataan Bu Ayu terus saja terngiang di telinganya.

Hayu menggelengkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Di dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa tidak ada satu asisten rumah tangga mereka yang terlihat sejak tadi. Apa mungkin mereka sengaja tidak diperbolehkan mendekati Hayu. Kalau memang benar begitu, ini sungguh terlalu, dia di sini untuk membantu, bukan menggantikan orang lain bekerja.

“Fighting Hayu,” gumamnya pada dirinya sendiri. Kembali membulatkan adonan demi adonan nastar yang dibuatnya. Meski semakin lama semakin lelah dia berdiri, tak menyurutkan niatnya untuk membuktikan bahwa dirinya memang bisa diandalkan. Hayu mengelap peluh yang menetes dari keningnya, agak kesusahan dia menepis dengan lengannya, sementara dia menggunakan sarung tangan plastik.

Entah doanya dikabulkan atau bagaimana, seorang asisten rumah tangga mereka lewat, Hayu memanggilnya.

“Mbak, apa saya boleh minta tolong?”

Dengan takut-takut asisten rumah tangga itu menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah di rasa aman, dia mulai mendekati Hayu, untungnya di dapur kotor tak terjamah CCTV, jadi dia yang melihat Hayu sendirian merasa kasihan dan menghampiri Hayu.

Perempuan setengah baya itu pun bertanya pada Hayu, “Ada apa, Non. Saya tidak bisa lama-lama di sini. Saya takut nyonya marah pada saya. Kami sudah diberitahu, untuk tidak mendekati dapur kotor sama sekali, kalau tidak, kami akan menerima hukuman karena sudah melanggar perintahnya.”

Cleng!

Rasanya nyeri ketika Hayu mendengarkan penjelasan asisten rumah tangga Bisma itu. “Saya nggak lama, kok, Mbak. Saya hanya ingin meminta tolong, untuk mengambilkan tisu dan juga kertas roti. Tentunya kalau mbak tidak keberatan. Sebelumnya saya berterima kasih karena mau datang menolong saya.”

Asisten itu dengan gesit keluar dan mengambilkan apa yang Hayu butuhkan dan melangkah kembali mendekati Hayu. Menyerahkan tisu dan juga segulung kertas roti.

“Ini, Non, maaf saya permisi dulu, yang sabar ya, Non,” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan Hayu, sebelum Hayu sempat mengucapkan terima kasih padanya.

“Terima kasih, Mbak,” lirihnya pelan, dan hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Hayu lelah berdiri terus menerus, dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat sore.

“Bu, Hayu ingin pulang,” lirihnya pelan, menggoyang-goyangkan kakinya yang mulai kesemutan.”

Dia hampir menyelesaikan semua adonan nastar yang sudah dibentuknya. Saat panggangan yang terakhir, Bu Ayu dan Bisma melangkah masuk ke dapur. Bu ayu melihat hasil karya Hayu dan mencicipinya.

Bisma penasaran dengan respons maminya, dia melirik Hayu. Hayu hanya mengendikan bahu membalas lirikan Bisma.

Bisma mengambil satu nastar dan mulai mengunyahnya, rasanya benar-benar enak.

“Ini, enak, Mi.”

“Kamu bilang begitu, karena kamu mencintainya, Bisma, coba kamu rasakan lagi, ini tidak seperti buatan Mami. Ini terlalu crispy dan juga retak, Bisma.”

“Tapi, Mi, sekarang yang lagi viral itu nastar retak, lebih kering dan crispy tapi lembut di dalam.”

Apa yang dikatakan Bisma memang benar, kue nasatar buatan Hayu, crispy dan benar-benar enak. Garing di luar, lembut di dalamnya, selainya juga pas, sesuai lidah Bisma, tapi kenapa maminya tidak mau mengakui jika nastar buatan Hayu benar-benar enak.

Dia juga kasihan dengan Hayu, dia pikir Hayu hanya akan membantu maminya. Nyatanya malah Hayu yang bekerja sendirian di dapur untuk membuat nastar-nastar yang sudah menjadi sepuluh stoples itu. Bisma tak bisa membayangkan betapa lelahnya kekasihnya, apalagi Hayu membuatnya sambil berdiri. Membayangkan Hayu yang tiap hari selama seminggu memakai high heels, dan sekarang ditambah seharian berdiri membuat nastar, yang kata maminya tak seperti buatannya. Bisma mendesah pelan. Dia tak mungkin juga membantah maminya.

Perasaan Hayu campur aduk antara sedih dan kecewa menjadi satu. Tapi dia bisa apa, setidaknya dia berkata pada dirinya sendiri untuk tidak menangis di hadapan mereka, dia harus kuat, bagaimanapun caranya. Menguatkan dirinya dengan perkataan yang akan diucapkan Bu Ayu selanjutnya.

“Ini sudah selesai semua bukan?” tanya Bu Ayu yang mencomot sebutir nastar lagi.

Bisma yang melihatnya pun menegur maminya.

“Mi, Mami bilang nggak seperti buatan mami, kenapa dimakan terus, kenapa Mami nggak mengakui kalau nastar buatan Hayu ini enak?”

Hayu hampir tertawa mendengar perkataan kekasihnya itu, tapi kembali lagi dia menahannya, dia tidak mau mami Bisma semakin membencinya.

“Sekarang kamu bersihkan semuanya, Bisma jangan bantu dia!”

-bersambung-