Hal ini terjadi di luar dari kendali mereka. Perdebatan privasi ini terlanjur merembes keluar. Dan diamnya sepasang sejoli yang belum berbaikan sama sekali menjadi pemanas suasana. Membuat atmosfer terlalap api.
Diamnya dua orang ini bukanlah emas. Diamnya seorang perempuan dan lelaki ini diartikan sebagai terkaman maut dan orang yang tak dapat diterkam. Sumbu negatif yang hendak disatukan tapi tetap tolak-menolak. Magnet pun sudah menyatakannya sebagai kebenaran mutlak.
"Pokoknya itu adalah peringatan terakhir." Wanita itu tak ingin menyempitkan lagi sedikit waktunya yang berharga. Tergesa menyapu beberapa hal tak penting, berlanjut menyerahkannya pada Rane. "Anda juga tahu apa yang saya katakan setelah saya mengucapkan kata itu, Tuan. Jadi sebaiknya Anda mengalah. Saya tidak akan membakar jika tidak ada pemantik."
Lovani membungkuk kecil pada orang yang memperhatikan perdebatan mereka berdua. Sekadar formalitas, karena yang sebenarnya ada di mulut pedas dan tak dapat memfilter ucapannya sendiri. Lovani tak mempunyai kemampuan untuk bertutur lembut. Semua lepas tanpa mengubah kata-kata dari dalam pikirannya. "Untuk semua orang yang ada di sini, saya ingin kalian semua tutup mulut akan apa yang kalian dengar dari orang-orang di sini. Mengerti?"
"Baik, Nona Lovani." Orang-orang yang berdiri sejajar dengannya mengucapkannya penuh hormat. Sementara memang yang di sebelah kiri tidak ada tata krama. Dari para pekerja saja, sudah dipastikan yang mana yang lebih bisa diandalkan.
Dasar Anja bodoh. "Saya permisi kalau begitu. Kalian dipersilakan pulang."
"Kamu ingin ke mana?" Usai sudah kuncian mulutnya. Merangkak naik mencekal langkah majunya lagi. "Apa saya sudah mengizinkan kamu untuk keluar?"
"Ini di luar jam kerja saya. Mau apalagi saya di sini?" tanya Lovani berdecak jengkel. "Darah tinggi jika saya berada di dekat Anda."
ustru itulah kalimat yang paling ingin ia dengar dari seorang Lovani. Karena, telah mempersiapkan kalimat berikut untuk memutar balikannya. "Ya, tapi setelah kamu dan saya berada di luar jam kerja, sekarang kamu adalah istri saya. Bukankah begitu?"
"Jadi ikut saya sekarang, karena saya sudah berhak untuk melarang dan memerintah kamu," cetus pria itu datar.
"Tuan Anja, saya mempunyai janji dengan Nona Lovani, harap dimaklumi-"
"Semua keluar," sela Lovani. "Sekarang juga."
Orang-orang yang berada di pihaknya menurut tanpa mengeluarkan bantahan lain. Sisanya orang yang di sana, yang memang hanya menuruti atasan mereka saja masih terdiam. Melayangkan antara simbol tanda tanya dan tak setujunya.
Sedikit lagi dia menyesap cairan tak memiliki rasa itu, Anja memutuskan suatu hal. "Baiklah, keluar. Semua perkataan yang Lovani katakan, turuti mulai dari sekarang. Jangan ada yang membantah, atau kalian yang akan berurusan dengan saya."
Sesuatu yang berasal dari Anja mudah untuk diangguki. Tidak seperti Lovani yang berbicara sampai mulut berbusa, tapi lawannya itu hanya diam saja. Cenderung menikmati ucapan demi ucapan baik secara emosi ataupun dengkusan kasar nan frustrasinya.
Satu per satu orang dalam ruangan menipis. Sampai si orang terakhir menutup daun pintu, Lovani langsung melemparkan benda pipih yang sudah padam total di pagi hari. "Dasar brengsek! Bisa tidak jangan bawa privasi saya?! Jika Anda ingin mengungkap privasi Anda, silakan saja. Tapi jika menyangkut diri saya, saya akan menghabisi Anda segera!"
"Kamu memanggil Rane dengan panggilan kamu, sedangkan kamu memangil saya dengan panggilan Anda. Jahat sekali." Anja terkekeh sinis. Mengabaikan beberapa poin penting yang didapatkannya. "Lalu apa ini? Anda tidak butuh ponsel lagi?"
"Saya masih punya ponsel lain dengan nomor baru yang tidak akan Anda ketahui. Ingin saya pakai agar Anda tidak mengetahui keberadaan saya?" Perempuan itu serta merta menyatakan keberaniannya melalui dongakan kecil dagunya. "Satu lagi. Katakan tujuan Anda kemari. Saya tahu Anda tidak serius akan kedatangan Anda ke sini."
Sial. Kenapa Lovani begitu ahli dalam mengendus sesuatu yang tidak beres, sih? Bahkan untuk hal yang sudah lampau pun, ia masih dapat membawa topik itu kembali, secara elegan pula! Untuk sekejap ia mengagumi. Untuk sesaat lagi, ia merasa kesal juga karena dirinya yang sering tertangkap melakukan hal-hal bodoh itu.
Dirasa mengelak adalah perbuatan kesia-siaan, Anja tak membuang waktu melakukannya. "Ya. Saya tidak serius. Itu hanya alasan saya untuk bisa bertemu kamu dan berbicara di sini karena ponsel kamu dimatikan."
"Saya ada email!"
"Kamu jarang membuka email."
"Anda tidak punya buktinya!"
"Ada buktinya." Tangan di atas mejanya menunjuk malas layar persegi panjang yang masih bercahaya terang. "Lihat saja kapan terakhir kali saya mengirimkan email. Kamu tidak pernah membalasnya, padahal itu adalah pesan penting."
Kini Lovani berdesis tak kalah nyaring. "Baiklah! Kalau Anda datang ke sini, berarti ada hal yang ingin kamu bicarakan, bukan? Apa itu?"
"Tidak, tidak. Kali ini giliran saya yang berbicara, Lovani." Sementara tatapannya menunjuk kursi empuk itu. "Duduk dulu. Sebentar lagi kamu akan menendang meja kalau masih berdiri."
"Saya masih bisa melakukannya kalau saya duduk," sahut Lovani memalingkan wajah. Berulang kali dadanya bergerak naik turun cepat. Memburu pasokan oksigen untuk masuk ke dalamnya. Kesal bukan main. "Cepat!"
Wanita ini paling tidak bisa diberi pengertian hanya dengan kata-kata. Tapi, dia paling mudah terpicu oleh kalimat-kalimat. Suatu penalaran aneh yang tidak sinkron, tapi wanita ini nyata. Ada di depannya, masih dengan posisi sama semenjak tadi.
Dan itulah yang membuat Anja tertantang dan ketagihan untuk meneruskan kebencian ini sampai ke akarnya. Bagaimana jika Lovani tunduk kepadanya? Akan jadi apa kalau Lovani memohon kepadanya untuk terus berada bersamanya? Apakah akan rela jika diduakan?
Atau ... cinta dan pria tidak akan berarti apa-apa untuknya? Setidaknya ..., ia akan mencoba untuk membuat Lovani mencintainya dulu. Itu rencana pertamanya.
"Kamu membuat janji dengan Rane? Untuk apa janji itu?" tanya Anja terus terang, tanpa maksud di baliknya. "Saya hanya ingin kamu baik-baik saja. Bukan berarti saya cemburu."
"Tch! Tuan Anja tentu tahu yang namanya privasi, bukan?"
"Privasi dan menghormati pasangan adalah dua hal lain, Lovani," jawab Anja lebih tenang dari picuan kekesalan itu. Merendahkan perkataannya sedikit demi sedikit, sampai perbincangan ini berada dalam jangkauan kontrolnya. "Saya tidak akan bertanya kalau kamu pergi dengan perempuan. Saya akan bertanya jika pergi dengan laki-laki. Sampai jam berapa, dan batasnya sampai mana."
Keukeuh. Titik. "Saya tidak peduli apakah Tuan pulang atau tidak. Apakah Tuan pergi bersama perempuan atau laki-laki, tuh."
"Berbeda halnya dengan saya, Lovani. Saya tidak suka. Itu prinsip saya sejak dulu. Kamu boleh pergi jika saya mengizinkannya. Tapi jika kamu tidak mau tahu, ya, saya tidak butuh untuk memberitahu kamu. Itu kebutuhan masing-masing orang, bukan? Saya hargai itu. Tapi kamu juga harus menghargai saya," terang Anja cukup jelas.
Sangat jelas. Itu adalah too much information yang tak dapat dielak Lovani. "Ya, ya! Terserah! Rane mengajak saya dinner. Kenapa memangnya?"