Close Your Eyes, Dont Peek At Me

"Teman," jawab Anja menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. "Kenapa? Mendadak ada yang merasa cemburu?"

"Heh?" Lovani balas menertawakan dari atas. Menunduk ke arah si pendongak, bergantungan di ujung teralis. "Cemburu? Kata-kata bodoh macam apa itu? Lagipula apa hubungannya dengan pertanyaan saya itu, hm? Atau kamu berharap saya cemburu?"

"Kalau begitu kamu tidak perlu tahu lebih lanjut." Sebelah tangan Anja menelungkup ke dalam saku celana kala udara di atas jam dua belas malam menyengat. "Kenapa tidak tidur? Kamu selalu menghindari saya, tiba-tiba saja kamu menghubungi saya. Untuk apa?"

"Hei, hei. Jangan mengalihkan pembicaraan ini, Anja," ledek Lovani sengaja. "Ayolah. Beritahu kepada saya. Angel itu hanya sekadar teman atau lebih dari itu?"

Semakin ditekan, Anja semakin meruncing tak menyukai adanya nada kejelekan di sana. "Dia teman saya, Lovani. Memangnya kamu ingin apakan dirinya, huh? Kamu mau membunuhnya? Mau mengubur jejaknya?"

Lovani berdesis berpura-pura merajuk. "Ah! Apa sejelas itu?"

"Lovani! Saya peringatkan untuk tidak menyentuh satu pun yang menjadi milik saya," kata Anja menahan tingkat kemarahannya. Delapan dari sepuluh, angka yang tidak buruk. Mengangkat tangannya, menunjuk Lovani yang masih mengulum senyumnya. "Jangan coba-coba mencari Angel."

"Ah, tampaknya Angel mendapat banyak keposesifan dari seorang Anja, ya?" tanya Lovani tak tertarik dengan ancaman tersebut. Mencondongkan lagi separuh tubuhnya bergelantung di ujung palang besi itu. "Tapi sepertinya Anja tidak suka dengan keposesifan seorang Angel? Ada apa ini?"

"Jaga bicaramu."

"Ups," kekeh Lovani. "Terlalu jelas, ya, maksud saya? Apa saya harus menyampaikannya secara tersirat?"

"Lovani!"

Ya, pria itu lebih cocok berkata seperti itu. Bukan penuh kelembutan, dan menahan amarahnya sendiri. Emosi Anja bahkan sampai ke dirinya tadi. Masa dengan perbuatan keterlaluan begitu, Anja masih menerimanya? "Kamu ternyata munafik, ya, Anja?"

"Maksud kamu?" Tanda tanyanya bermunculan banyak. Penasaran akan kata selanjutnya yang dikeluarkan oleh wajah dipancari sinar rembulan itu. "Saya munafik di mananya?"

"Sifat kamu tidak lembut," ujar Lovani. "Tapi kamu berusaha melembutkan sifat kamu untuk dia. Siapa tadi namanya? Angel, ya? Kamu marah, tapi kamu berusaha menahannya demi dia. Itu munafik, bukan?"

Ah, apa dia salah menangkap kalau itu adalah suatu nada kecemburuan dari Lovani? "Apakah kamu cemburu saya berbicara baik-baik dengannya, sementara denganmu saya serius?"

"Tidak juga," jawab Lovani mengedarkannya ke langit gelap di atas. "Saya terkadang berpikir bahwa saya mati rasa. Sebagai istri kamu, mungkin seharusnya saya sakit hati mendengar kamu punya wanita lain di belakang saya, tapi ternyata saya tidak."

Mungkin, rasa sakitnya yang telah memukulnya menjadi sekuat sekarang. Tumbuh bersama rasa sakit, berteman dengan rasa perih. Sesuatu yang menjadikan hatinya sekuat batu. "Entahlah, saya tidak mengerti lagi."

Syukurnya, pria itu ada di bawah sana. Tidak dapat melihat sendiri kesenduan yang berkumpul di matanya. "Saya tidak kesal, saya juga tidak marah. Tadi saya hanya menjahili kamu saja. Tapi kamu ingat, bukan, apa yang sudah kamu tandatangani?"

"Jangan berbuat macam-macam kepadanya."

"Ya, ya." Lovani membuang asal napasnya sia-sia. Berbalik badan, menuangkan segelas wine untuk ditenggaknya lagi-lagi. "Mau wine?"

"Orang gila macam apa yang minum wine jam dua belas malam?"

Lovani mengangguk-angguk kecil. "Akan lebih baik kalau saya gila, Anja."

Baik Anja maupun Lovani sama-sama membiarkan gulungan angin mengisi percakapan yang kehabisan topik itu. Lovani yang menunduk, dengan kemeja lebar tanpa bawahan, mengabaikan rambutnya yang terbang ke sana kemari, bersama cangkir kaca yang terus diputarnya.

"Kamu seharusnya mengatakan kepada saya sebelum saya terikat dalam hubungan pernikahan ini," kata Lovani pelan. "Sekarang sudah terjadi, mau bagaimana lagi?"

"Hari ini kamu terus meracau, huh? Berhenti minum atau saya yang naik ke atas?" Sesungguhnya, telinganya sudah merasa panas akibat hampir tiga puluh menit menemani Lovani menelepon. Biasanya, ia hanya pernah menelepon seseorang selama ini, dan itu Angel.

Akan tetapi, Anja sendiri tidak tahu bagaimana cara yang baik-atau cara yang kasar untuk memutus sambungan ini. Cara yang dipunyanya sebatas menekuk alis, berteriak, melandaikan suaranya, atau menunjuk.

"Seharusnya kamu menikahi dia, bukan saya. Kamu tidak bisa mempermainkan perasaan perempuan seperti itu." Lovani mengakhirinya dengan desahan panjangnya. Mengusap keningnya dengan keempat jari lainnya, selepas itu, menegapkannya seperti tidak terjadi apa pun. "Malangnya nasib orang yang terikat denganmu. Bahkan tidak ada satu pun perjanjian yang benar-benar kamu pegang."

***

"Lovani? Ayo berbelanja hari ini. Barang-barang di bawah sudah mau habis. Saya juga tidak melupakan kesepakatan kita untuk mengganti kendaraan kamu di bawah itu."

Cklak!

Pintu kamar ini tidak terkunci. Orangnya sedang berada di mana?

Lelaki itu menjulurkan kepalanya ke dalam. Celingukan ke kiri dan kanan mencari sebuah subjek yang membuatnya kepikiran hingga hilang kata untuk dua malam yang panjang.

Kasur panjang itu ditempatinya. Menepuk lembut sprei dan bedcover berwarna biru tua empuk, merebahkan diri mengikuti keinginannya untuk berbaring di sana.

Kenapa rasanya berbeda dengan kasurnya sendiri? Padahal kasurnya berukuran king size, lebih wangi dari milik Lovani yang berbau perempuan, tapi kenapa rasanya bisa secandu ini?

"Oh, shit! ANJA GASTANA! APA YANG KAMU LAKUKAN DI SANA?"

Sebelum Anja berhasil melihat sosok itu, terlebih dahulu ia berjengkit masuk ke dalam kamar mandi lagi. Pintu itu ditariknya, menutup kencang sampai Anja mengusap telinganya. "Apa, sih?"

"KELUAR DARI KAMAR SAYA!"

Anja mengerang lemah. Mengacak rambutnya sendiri akibat terlalu malasnya untuk berpindah. "Kamu itu sudah menjadi istri saya. Kamu tidak perlu terlalu peduli karena saya belum akan memintanya sekarang. Kita pergi berbelanja sebentar lagi. Cepatlah."

"Memangnya saya sudah menyetujui usul itu?!" hardik Lovani menggerutu. "Minggu ini saya pergi berbelanja sendiri. Saya tidak mau mengajak kamu."

"Ada barang yang sekalian saya ingin beli, Lovani." Ucapannya beruntun memudar, tenggelam di bawah pusara keempukan kasur Lovani. Milik orang lain memang selalu lebih menyenangkan. "Lagipula mana bisa kamu menenteng barang belanjaan dua kantung dengan motor kamu itu? Yang ada sepanjang jalan barang belanjaannya tercecer nanti. Menurut saja."

"Tapi tidak ada perjanjian-"

"Berhentilah berpatokan pada perjanjian. Perjanjian adalah perjanjian di atas kertas, yang melaksanakannya adalah kita, Lovani." Anja menguap sekali. Rasa malasnya berlipat bangkit mendadak. Padahal tadi ia tidak semengantuk ini. "Keluar sekarang atau saya tidur di sini?"

"Anja!" Lovani menghentakkan sebelah kakinya kesal.

"Makanya keluar sekarang. Kamu bisa saja menghindar nanti. Kalau saya di sini kamu, kan, sudah terkurung."

Pria itu lihai sekali bersilat lidah. Kemarin ia yang membungkam, hari ini dia yang bungkam. Lihatlah, ia hanya menggunakan bathrobe tanpa apa pun dibaliknya. Kegiatan normalnya dirusak oleh pria itu karena kebodohannya yang lupa mengunci pintu. "Tutup matamu kalau begitu! Jangan mengintip!"