Lovani Agastani.
[Send a picture.]
[Tuan Marcus mengirimkan undangan untuk pernikahan anaknya. Karena beberapa hari kedepan kamu tidak berada di rumah dan resiko pernikahan kita diketahui kekasih kamu, terpaksa saya membicarakannya di ponsel.]
Tak seberapa lama, balasan sudah diketikkan di dalam ponselnya. Pria itu apa selalu memegang ponselnya, ya?
Anja Gastana.
[Pemilik hotel Maxmil itu?]
Lovani Agastani.
[Ya. Marcus Maximillian.]
Anja Gastana.
[Saya tidak begitu dekat dengannya. Kamu saja yang pergi. Lagipula dia klien tetap di perusahaanmu, bukan perusahaan saya.]
Akan lebih mudah kalau begitu! Masalahnya, undangan yang datang ada dua! Satu lagi harus diabaikan dengan alasan bukan klien? Dasar sinting!
Lovani Agastani.
[Undangan yang datang dua. Saya diberikan satu, kamu juga diberikan satu. Tadinya Tuan Marcus ingin mengundang perusahaan Nile saja, tapi sekarang kamu sudah terjalin dengan saya, kamu harus datang.]
[Oh, itu pun jika kamu masih memiliki harga diri, hm?]
Anja Gastana.
[Terserah kamu. Saya tidak peduli.]
[Saya sedang bersama Angel, kamu jangan mengganggu. Saya tidak mau merusak sisa hari saya dengan berdebat dengan kamu. Sudah dulu.]
"Tch! Memangnya apa hebatnya dia," sungut Lovani sebal. Ini adalah kekalahan secara tidak langsungnya. Tapi, ia juga malas meminta Anja untuk meninggalkan Angel di sana. Nanti malah ia yang dibilang mencintai seorang Anja.
Hey! Lovani sendiri sudah lupa rasanya dicintai dan mencintai! Bagaimana dia bisa tahu-tahu menaruh hatinya pada lelaki bajingan yang tidak setia itu? Lovani masih bisa membedakan yang baik dan buruk terlepas dari paras, tahu! "Ya sudah kalau begitu. Aku juga tidak akan tanggung-tanggung lagi."
Lovani Agastani.
[Kosongkan jadwalmu minggu depan, hari Sabtu. Malamnya, kita akan menghadiri acara pernikahan anak dari Tuan Marcus, Wisely. Karena saya tidak punya kendaraan, tolong jemput saya di rumah. Satu jam sebelum acara dimulai, saya akan kirimkan alamatnya.]
Saverane Lafael.
[Baik, Nona. Apa ada lagi yang harus saya persiapkan?]
Lovani Agastani.
[Berpakaian rapih saja. Pakai kemeja putih dan tuxedo hitam saja agar senada dengan gaun saya. Kita akan mewakili perusahaan Nile.]
Entah mengapa, belakangan jarinya jadi malas mengetik panjang lebar. Sekarang saja, ponselnya sudah dimatikan tanpa menunggu balasan dari Rane. Sungguh situasi yang membingungkan.
***
"Kamu akan datang, kan, Lovani? Jangan bilang kamu sibuk lagi untuk hari ini," oceh Marcus sejak beberapa waktu yang lalu. Selalu mengulang kalimatnya seperti kaset rusak agar Lovani tak mempunyai waktu untuk mengabaikannya.
"Aku akan datang, Ayah. Kenapa Ayah begitu bawel, sih, untuk hari ini? Aku bahkan belum selesai memakai make up-ku Ayah," desis Lovani gregetan. "Aku akan datang terlambat kalau begini!"
"Kamu tidak menjawab Ayah habisnya daritadi. Ayah kira kamu sengaja untuk tidak datang seperti pertemuan keluarga lainnya," jawab Marcus cemberut. Dipastikan bibirnya itu sudah maju beberapa sentimeter yang memberikan tawa kecil untuk Lovani.
Ayah angkatnya yang sudah berperan ayah sungguhan baginya ini selalu tampak lebih kekanakan darinya, dari tiga anak lainnya. Semua itu berguna untuk menciptakan tawa di bibir mereka. Lovani pun tahu itu, dan dia menghargai itu.
Andai ... anaknya dan dirinya kelak memiliki suami seperti Marcus ini. Akan menjadi suatu keberuntungan yang tidak terbayangkan untuknya. "Aku sedang bersiap, Ayah. Aku akan datang pastinya. Ayah tidak perlu khawatir."
"Tapi, Lovani," cetus Marcus. "Apa kamu sudah mengabarkannya kepada Anja? Kamu berjanji untuk memberitahukan kabarnya kepadaku, tapi kamu sampai sekarang tidak memberitahuku."
"Ah, aku lupa. Maafkan aku, Ayah." Lovani meringis kecil. Bisa-bisanya ia lupa hal sepenting itu. "Kurasa dia tidak akan datang, Ayah. Entahlah, mungkin dia merasa tersinggung karena kartu undangan itu tidak dikirimkan atas namanya saja. Atau juga dia merasa ini bukan suatu hal yang penting. Jadi ..., ya ... kurasa Ayah bisa menyimpulkannya sendiri."
"Kenapa kurasa?" Gelombang di dahi Marcus tiba saat ucapan Lovani terdengar sangat ganjil di telinganya. "Kamu sebenarnya membicarakan dengannya atau tidak?"
Sshh! Lovani jadi rasanya ingin tiba-tiba menghilang saja. Kalau sudah digali mengenai dirinya sendiri, Lovani harus menjawab apa? Apa dia berbohong kalau keputusan itu sudah pasti?
Pasalnya, jawaban Anja belakangan tidak konsisten. Dia bilang dia menginap untuk satu minggu, tapi lima hari dia sudah kembali ke sini. Lalu kalau Anja mendadak bilang ikut, ia harus berkata apa pada Marcus?
"Lovani?"
"A-aku duluan, Ayah! Saverane sudah menjemputku. Sampai bertemu di sana!" pamit Lovani bersemangat. Semangat untuk menutup ponselnya duluan.
"Lovani-"
Namun, sesungguhnya alasan Lovani adalah sebuah kenyataan. Ada kendaraan yang masuk ke halaman rumahnya. Suaranya tertangkap di telinga Lovani yang terburu-buru memasukkan barang-barang kecilnya ke dalam sebuah slingbag dipenuhi kilau gemerlapan di setiap sisinya.
Selesai dengan semua aktivitasnya di lantai atas tadi, dress panjang dengan belahan kaki di sisinya ikut mengiringi setiap langkah di mana kaki Lovani menjejak. Mulus, putih, dan jenjang. Lovani cantik dalam pakaian apa pun, tapi ini benar-benar memamerkan pesonanya.
Rambut cokelat tuanya dikesampingkan di kiri. Telinga kanannya terpajang anting panjang berbentuk bintang dan bulan di sana. Menambah lagi nilai plus yang ada di dalam diri Lovani.
Malah, sempat mendiamkan orang yang berdiri di depan dapur. Tanpa sadar menguatkan cengkraman gelas kacanya melihat tampilannya. "Kamu mau ke mana, Lovani?"
Sudah Lovani katakan, bukan, alangkah lebih baiknya kalau Anja terus berada di rumah Angel saja. "Keluar. Bukan urusan kamu, Anja. Saya pergi dahulu."
"Bersama siapa?" cecar Anja. "Ke mana? Kirimkan saya alamatnya. Saya yang akan mengantar kamu."
"Tidak perlu." Lovani ikut bergabung di dapur. Menuangkan segelas minuman dinginnya agar kepalanya tidak ikut kepanasan. "Saya diantar Rane. Kamu tidak perlu ikut campur pada urusan saya. Minggir."
"Lovani! Saya suami kamu!"
"Baru sekarang kamu berperan sebagai suami?" sindir Lovani sarkas. Merasa tersulut lagi, Lovani mengokohkan tempatnya berdiri. Tak tanggung-tanggung membusungkan dadanya angkuh. Memberi tatapan merendahkan walaupun tingginya tidak seberapa ketimbang Anja. "Dari kemarin ke mana, huh?"
"Jadi kamu membawanya ke sini terus menerus?" tanya Anja tidak percaya. "Ini rumah saya, Lovani! Ini kuasa saya! Baru saya tinggal lima hari kamu sudah menjatuhkan martabat saya sebegininya?"
Sudah cukup. Sudah cukup sampai di sana. Lovani tidak mau lagi menambah beban pikiran untuk dibawa ke pesta pernikahan itu. Seharusnya hari ini adalah hari bahagianya. Akan berubah jadi hari menyedihkan jika terlibat lebih banyak dengan Anja.
Si pria brengsek yang tidak tahu diri. "Kamu yang salah, kamu juga yang menyalahkan saya. Saya sudah bilang jangan mengusik saya kalau kamu tidak mau diusik. Bercermin dulu sana! Dasar pria bajingan."
"Kalau saya tanya ingin setia pada siapa, kamu juga tidak bisa menjawab karena adanya dua hubungan! Kamu dan saya, juga kamu dan Angel! Kamu mengkhianati Angel, kamu tahu itu?!" sentak Lovani kesal. Menunjuk tepat di tengah wajah Anja. "Pria bajingan seperti kamu tidak pantas menerima cinta."