1. Air mata pernikahan

Air mata kembali mentes walau sudah ditahan berulang kali, percuma saja air mata itu tetap jatuh juga. Mata merah dan sembab akibat tangisan itu sangat tidak cocok dengan wajah cantik milik Agatha. Keputusan orangtuanya benar-benar sudah bulat.

Agatha mulai berjalan perlahan menuju ke arah Teja--orang yang sebentra lagi akan menjadi suaminya itu. Buket bunga ada di tangan kanannya, dan tanga sebelah kiri mengangkat sedikit gaun pernikahan mewah yang dia kenakan.

Beberapa orang di belakang mengangkat bagian belakang gaun pernikahan yang panjangnya sampai menyentuh lantai. Ketika sudah sampai di samping Teja, Agatha menggandeng tangan lelaki berkulit eksotis itu. Agatha tidak tau bagaimana ekspresi lelaki itu karena dia tidak sudi melihatnya.

Perlahan mereka mulai menuruni tangga menuju ke lantai bawah, para tamu undangan memandang ke arah mereka dengan senyuman. Ada juga yang berbisik-bisik, Agatha mengalihkan pandangan saat tidak sengaja bertatapan dengan manik mata Andre--ayahnya.

Setelah sampai di anak tangga terakhir para tamu undangan menyebarkan kelopak bunga ke udara, sedangkan fotografer mengabadikan pemandangan kelopak bunga yang jatuh ke lantai diantara sepasang pengantin itu.

Agatha dan Teja menuju ke arah Andre. Mereka sedikit membungkuk agar sejajar dengan Andre yang memakai kursi roda. Andre tersenyum kemudian mengelus rambut keduanya. "Semoga bahagia. Teja tolong jaga anak saya, Agatha jadilah istri yang patuh, semoga kalian bisa menjadi sepasang sayap yang saling melengkapi," harapnya, "ayah yakin ibumu pasti senang melihatmu dari atas sana." Andre memandang langit-langit sejenak sambil mengelus pipi Agatha.

Setelahnya mereka menuju ke arah kursi di mana pak penghulu sudah menunggu. Akad nikah pun di mulai, dengan lancar Teja mengulangi apa yang Andre katakan setelah dijelaskan oleh pak penghulu. Agatha menyalami suaminya, tapi saat Teja akan mencium puncak kepala Agatha, dia menghindar dan menatap Teja dengan tajam. Resmilah mereka menjadi sepasang suami istri.

"Aku harus cari cara menghentikan pesta pernikahan ini agar tidak berlanjut, pesta ini hanya memepermalukan aku saja!" umpat Agatha dalam hati, "dan ini terakhir kalinya aku menangis, lihat saja cowok kampung akan aku buat kamu menyesal sudah mau menikah denganku!" Agatha mengepalkan tangannya.

***

Teriakan histeris dari BiMin terdengar membuat semua tamu undangan terutama Teja dan Andre menuju ke arah suara. Suara teriakan itu berasal dari kamar mandi.

Saat mereka sampai di sana terlihat Agatha sudah tidak sadarkan diri dan sudah berlumuran darah, darah itu berasal dari urat nadi yang disayat.

Pisau yang digunakannya berada di tangan kanan Agatha. Gaun putih itu juga sudah berwarna merah bersama dengan genangan air di kamar mandi, tidak hanya itu mulutnya juga berbusa.

"Panggil ambulans!" teriak Andre lantang sekaligus khawatir, dengan sigap para asisten rumah tangga segera menelepon ambulans. Teja langsung mengangkat tubuh Agatha menuju ke sofa ditemani BiMin.

Dengan harap-harap cemas Teja terus memegangi tangan Agatha yang terasa dingin sambil berdoa agar istrinya itu baik-baik saja. Air mata sudah tidak bisa lagi dia tahan.

"Untunglah sayatan di nadi tangannya tidak terlalu dalam, dan juga racun tikus yang diminum hanya sedikit masuk ke dalam tubuh," jelas dokter setelah sampai di rumah sakit membuat semuanya bisa bernapas sedikit lega.

"Dasar anak bodoh!" seru Andre sambil menangis. Dia benar-benar tidak menyangka putri semata wayangnya itu akan berbuat nekat sampai sejauh ini, tapi tidak ada penyesalan dalam diri Andre untuk menikahkan Agatha dengan Teja karena dia punya alasan yang kuat.

Teja mendekat ke arah mertuanya itu dan mengusap bahunya lembut mencoba memberikan kekuatan. "Tuan tenang saja, saya pasti akan jaga Agatha," ungkap Teja dengan logat medok, "sebaikanya Tuan lebih memikirkan kesehatan, tho daripada ikut sakit kasian Agathanya nanti bisa sedih." Teja berlutut sambil menghapus air mata dari bawah mata lelaki berusia enam puluh satu tahun itu sambil tersenyum lembut. Dia jadi teringat bapaknya di kampung.

"Terima kasih, Teja. Memang gak salah saya pilih kamu, dan kamu gak usah panggil saya tuan panggil saja ayah," sahut Andre sambil memeluk Teja. Teja membalas pelukan itu. "Yasudah kalau begitu saya mau balik ke rumah untuk menemui para tamu dan bilang acaranya telah usai, nanti BiMin ke sini bawain pakaian dan semua kebutuhan kalian. Saya titip Agatha ya." Teja tersenyum sambil mengangguk kepada Andre, dengan isyarat BiMin langsung mendorong kursi roda Andre menuju ke luar bersamaan dengan beberapa penjaga di belakang mereka.

Setelah Andre pergi suasana menjadi sepi. Perlahan Teja berdiri dari posisi berlututnya dan duduk di samping tempat tidur Agatha. Dia menatap nanar nadi yang Agatha sayat.

***

Perlahan mata Agatha terbuka, dia melihat ke arah ruangan putih dengan infus di tangannya itu. Dia tersenyum senang, rencananya menggagalkan pesta pernikahan berhasil. Sekarang Agatha tidak perlu lagi melihat wajah para tamu undangan atau menyalami mereka satu per satu sambi berdiri di sisi lelaki kampung itu selama seharian.

Senyum Agatha langsung lenyap begitu melihat lelaki yang mengenakan tuksedo putih di sisinya, Teja tertidur di sana. "Cih," lirih Agatha tidak suka.

Teja perlahan membuka mata karena seperti mendengar suara sekilas dan juga tidurnya sudah cukup. Dia langsung berdiri begitu melihat Agatha sudah siuman, Teja tersenyum sangat lebar memperlihatkan lesung pipi di kedua pipinya itu.

"Sudah bangun, Tha," ujarnya senang.

"Apa-apaan loe panggil nama gue, enak aja panggil gue nona Agatha catet itu!" ketus Agatha.

Teja mengangguk sambil tersenyum "Baik, Non."

Badan Agatha sebenarnya masih lemas, tapi melihat suami yang dia benci itu benar-benar membuatnya darah tinggi.

"Oh, sebentar saya panggilkan dokter dulu." Teja segera menuju ke luar dan mencari dokter. Agatha kembali menatap langit-langit rumah sakit sambil berpikir kenapa nasibnya sial sekali. Jika orangtuanya menikahkan dia dengan lelaki tampan kaya raya dia tidak akan masalah, ini malah sebaliknya. Orangtuanya itu malah memilih lelaki kampung dan miskin sebagai pendamping anaknya, baru kali ini Agatha tau ada orangtua yang rela anaknya hidup miskin. Mana bisa dia hidup tanpa uang karena uang adalah segalanya bagi Agatha.

"Liat saja lelaki kampung, akan aku buat kamu menyesal sudah mau menikahi aku!" geram Agatha sambil mengepalkan tangannya.

Tidak lama lamunan Agatha dibuyarkan oleh kehadiran dokter yang masuk ke dalam bersama suster dan tentu saja Teja.

Dokter itu memeriksa Agatha, sang suster melihat infusnya. Sedangkan Teja hanya bisa berdiam diri sambil melihat.

"Syukurlah, kondisi Mbak sudah stabil. Lusa sudah boleh pulang," kata dokter. Teja tersenyum dia sangat senang jika Agatha bisa segera pulih, sedangkan yang sakit malah tidak senang sama sekali. Wajah cantiknya itu menjadi cemberut sambil menatap Teja tajam.

Agatha tidak mau pulang lusa kalau bisa dia ingin di rumah sakit sampai seminggu lebih karena tidak siap dengan yang namanya 'malam pertama.'